Monday 9 March 2020

Aceh Di Mata Tetangga

MANAKALA kita hidup dan tinggal sesama orang Aceh, mungkin suasana Aceh yang sangat kritis ini mirip biasa saja. Kita mengikuti kemana arah angin berhembus. Namun lain halnya ketika kita berhadapan pribadi dengan orang-orang luar Aceh yang sangat antusias menanti perkembangan Aceh. Mereka terus bertanya-tanya ada apa dengan Aceh? Apa yang terjadi dengan Aceh hari ini? Mereka menginginkan Aceh berkembang dan sanggup memeberikan teladan untuk provinsi lainnya, terutama soal pelaksanaan syariat Islam-nya.

Tidak sanggup dipungkiri lagi, Aceh yang dulunya sebagai teladan bagi Provinsi lain, kini sejatinya harus instropeksi diri. Mengulas sedikit sejarah, sehabis damai, Aceh menyerupai bayi yang gres lahir dari rahim ibunya. Masyarakat Serambi Mekkah kembali merekonstruksi tatanan sosial, struktur budaya yang telah pudar, perekonomian yang karut-marut, pendidikan tertinggal jauh dengan kawasan lain. Padahal, pada kurun 1496-1903 Aceh dikenal sebagai ladang ilmu pengetahuan, mempunyai pemerintahan yang teratur dan sistematik, menjalin kekerabatan diplomatik dengan negara lain, membuatkan pola dan sistem pendidikan militer untuk menentang imperialisme bangsa Eropa, Aceh juga dijadikan sebagai kiblat ilmu agama di Nusantara.

Tak lagi teladan

Namun sekarang, Aceh bukan lagi tempat orang untuk mengambil teladan yang baik, tapi sudah menjadi tontonan orang-orang dengan isu kontroversinya. Saya sempat ditanya oleh teman tetangga Aceh; Ada isu kontroversi apa lagi yang hot ihwal Aceh? Pertanyaan yang menyakitkan, tetapi terperinci adanya. Fine, kalau saja kontroversinya hal yang positif mirip ngangkang style, tapi coba kalau yang negatif mirip tuntutan ALA dan ABAS untuk berpisah dari Aceh. Ini menjadi bukti bahwa Aceh kini sedang sakit.

Aceh terus saja dipantau oleh warga tetangga, banyak dari mereka yang mengambil pelajaran ihwal konsep Perjanjian Damai, juga mempelajari tata cara pelaksanaan syariat Islam di Tanah Rencong ini. Mestinya Aceh menjadi ‘imam’ dan ‘lokomotif’ untuk mengajak provinsi lain menerapkan syariat Islam. Tetapi bertahap keinginan mereka terhadap Aceh mulai pudar ditelan oleh kontroversi yang memenuhi pemberitaan media Nusantara.

Aceh dikenal sebagai kawasan yang menjalankan Syariat Islam, namun bagaimana ini sanggup berjalan secara kaffah, kalau untuk mengesahkan Qanun Jinayat --sampai dua periode gubernur-- saja sulit. Lambat laun anggapan orang-orang ihwal Aceh yang menerapkan syariah Islam akan hilang. Memang anggapan itu bukan prioritas, tetapi bukannya Aceh mempunyai rencana yang besar, ingin membangun Universitas Syariah yang menjadi referensi ihwal agama Islam di Indonesia maupun di Asia Tenggara. Kalau Qanun Jinayat saja dianggap rumit, maka Universitas Syariah itu akan semakin sulit.

Yang jadi pertanyaan sekarang, kenapa sanggup takut dengan Qanun Jinayat. Menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam (DPP FPI), Habib Rizieq, Kenapa pelaksanaan syariat Islam di Aceh penting, alasannya yaitu Aceh menjadi teladan dalam penerapan syariah di tingkat nasional. Kalau Aceh saja gagal, maka menjadi modal bagi kelompok antisyariat Islam untuk menyampaikan pada kawasan lain, bahwa tidak perlunya penerapan syariat Islam.

Hukum Islam sangatlah adil, Islam tidak menghukum pelaku kriminal semena-mena, tetapi Islam mempunyai cara tersendiri yang sangat adil dalam menindak pelaku kriminal. Sebut saja zina muhshan yang hukumannya rajam, untuk menghukum seorang yang berzina harus sanggup menghadirkan minimal empat orang saksi yang menyaksikan dan harus memenuhi syarat saksi lainnya. Dan itu tidak mudah, jadi apalagi yang ditakutkan, takut dieksekusi jikalau sewaktu-waktu tertuduh? Sama sekali bukan alasan, dan ini tidaklah melanggar HAM sebagaimana alasan yang dilontarkan oleh mereka.

Lambang dan Bendera Aceh

Demikian juga dengan lambang dan bendera Aceh, ini isu yang hampir diikuti oleh seluruh media di Indonesia. Jangankan warga Aceh, mereka warga non-Aceh juga selalu menanti-nanti kelanjutan isu ini. Disamping lambang dan bendera Aceh merupakan bukti faktual bahwa Aceh mempunyai kekhususan dari provinsi lain, namun mereka juga memandang negatif, kenapa sesama warga Aceh sendiri terjadi pro-kontra ihwal qanun ini.

Seyogyanya, bendera dan lambang diperlukan sanggup menjadi pemersatu semua etnis yang ada di Aceh. Melihat kondisi Aceh hari ini, tanda tanya besar timbul di benak kita. Apa makna sebuah simbol jikalau terjadi perpecahan di Aceh? Jika kita melihat di lapangan, sudah tidak mengecewakan banyak kita dapati bendera ini berkibar menghiasi langit Aceh. Ini warga yang sepihak terhadap bendera. Tetapi di antara para warga yang pro bendera, ternyata ada warga yang kontra terhadap lambang.

Mereka tidak baiklah lambang yang sedemikian rupa dengan banyak sekali kontroversi yang telah banyak dibahas pada opini terdahulu. Lain halnya jikalau kita melihat warga yang kontra, mereka melaksanakan konvoi bendera merah putih dan memperabukan bendera bintang bulan. Di satu sisi, ini merupakan perbuatan yang tidak baik, tetapi apa boleh buat mereka tidak mempunyai cara lain untuk menolak. Kejadian ini semakin memperkuat anggapan mereka warga tetangga Provinsi bahwa Aceh sedang sakit.

Begitu juga halnya pemekaran ALA ABAS. Awalnya hanya alasannya yaitu Qanun Wali Nanggroe yang mereka nilai diskriminatif dan menafikan keberadaan subetnis minoritas mirip Gayo dan Aneuk Jamee. Belakangan, sehabis DPRA mengesahkan 22 Maret kemudian Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang content-nya berbau separatis, maka “ketidak-sukaan” tokoh-tokoh ABAS dan ALA terhadap Aceh semakin menguat.

Mereka semakin berpengaruh mendesak pemerintah sentra untuk mengesahkan provinsi mereka dengan beberapa faktor tersebut. Jika keadaan sudah mirip ini, alasan apa lagi nantinya yang akan menjadi benteng pemerintah Aceh untuk menghentikan gerakan ALA-ABAS ini. Dari semua ini munculah pertanyaan dari orang luar; Apakah arti perjanjian tenang pada 15 Agustus 2005 antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI) mirip ini adanya. Lucu memang, ketika orang-orang provinsi lain bahagia terhadap perdamaian di Aceh, namun yang dihasilkan yaitu perpecahan di dalam Aceh itu sendiri.

Intropeksi diri

Ketika kita memberi kritikan kepada pemerintah, berarti kita harus siap untuk dikritik, mungkin dikala ini cara yang mungkin untuk mengkritik diri sendiri dengan intropeksi diri. Jangan cuma melaksanakan aksi-aksi semoga disahkan Qanun Jinayat sedangkan keseharian masih melanggar aturan Syariat Islam. Jangan cuma mengritik Lambang dan Bendera sedangkan kesatuan dan kerukunan sesama tidak dijaga.

Janganlah sorotan Mereka warga luar terhadap Aceh semakin miring dan serba negatif, sudah saatnya Aceh memulihkan segala hal yang berbau kontroversi. Marilah kini sama-sama kita menghilangkan perilaku egoisme dan sinisme antara satu sama lain. Aceh yaitu milik seluruh rakyat yang bermukim di tanah Serambi Mekkah dari Barat, Timur, Utara, Selatan, Tengah, dan Tenggara, alasannya yaitu Aceh bukan hanya milik segelintir orang. Kalaupun ada kebijakan yang sanggup memicu konflik untuk memecah belah bangsa Aceh dan ada pihak-pihak lain yang coba mengusik perdamaian di Aceh, sebaiknya pemerintah segera meredamnya semoga semua kepentingan terakomodir dengan baik.

Menjadi isu bangga bagi kita semua ketika mendengar dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh yang akan membahas Rancangan Qanun (Raqan) Jinayat dan Acara Jinayat. Aceh mulai membuka ruang kembali untuk membahas Raqan Jinayat, semoga ini bukan hanya rekayasa tetapi benar-benar menjadi momentum untuk terealisasinya syariat Islam secara kaffah di Aceh yang kita cintai ini.

Oleh : Musyari Aulia
Mahasiswa Fakultas Syariah Wal Qanun, Jurusan Syariah Islamiyah, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Email: musyariaulia@gmail.com

banner
Previous Post
Next Post