Oleh: Maulana Rizqi*
![]() |
(Image Source : Instagram.com) |
Sejak dulu, perbudakan telah merajalela ke seluruh pelosok dunia sampai menjadi tradisi dan budaya. Hampir setiap konglomerat pada masa itu mempunyai budak-budak. Mereka bebas melaksanakan apa saja mulai dari menjualnya kolam barang dagangan sampai menggaulinya.
Sebelum datangnya Islam, faktor-faktor yang mengubah status seseorang dari insan merdeka menjadi hamba sahaya adalah;
1. Kemiskinan
2. Terjerat dalam hutang piutang
3. Penculikan
4. Hukuman atas jarimah tertentu
5. Tertawan dalam peperangan
Tatkala Islam hadir sebagai penerang, semua faktor-faktor perbudakan ini dihapuskan oleh syariat Islam kecuali satu. Yaitu perbudakan yang disebabkan oleh peperangan. Kebolehan perbudakan melalui jalur ini tentunya harus dengan syarat. Yaitu, hendaklah yang menjadi lawan perang saat itu ialah kafir harbi bukan kafir zimmi apalagi sesama umat Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab fikih.
Alasan kenapa faktor perbudakan yang satu ini tidak dihapuskan oleh Islam, diantaranya lantaran mereka yang tertawan jawaban perang seharusnya mendapat ganjaran yang lebih pedih dari perbudakan, yaitu kematian yang merupakan jawaban utama dari kekalahan dalam berperang. Oleh lantaran itu, Islam tidak menghapuskan alasannya perbudakan yang satu ini.
Namun begitu, tetap harus digaris bawahi. Bahwa seorang kafir harbi yang tertawan dalam peperangan tidak serta merta menjadi budak. Yang berhak memutuskan apakah yang tertawan akan dijadikan budak atau tidak hanyalah waliyul amri/pemerintah. Semua kebijakan yang berkaitan dengan tawanan perang saat itu, kembali kepada mereka (waliyul amri). Apakah kafir yang tertawan akan dieksekusi mati, atau dibebaskan tanpa syarat, atau dibebaskan dengan syarat tebusan uang/tawanan muslim yang ada di pihak kafir, ataupun dijadikan budak. Semua kembali kepada maslahat terbaik saat itu. Dan kebijakan ini hanya berlaku bila tawanan perang ialah lelaki dewasa. Adapun bila tawanan perang ialah perempuan yang memang dilarang dibunuh dalam peperangan maka kebijakan yang berlaku hanya dua. Dijadikan budak atau dibebaskan dengan tebusan.
Adapun demikian. Syariat Islam telah membuka pintu pembebasan budak selebar-lebarnya. Sehingga memerdekakan budak digolongkan dalam serpihan ibadah dan kafarat yang merupakan wasilah taqarrub kepada Allah ta'ala. Ini membuktikan, bahwa syariat Islam bekerjsama tidak menghendaki perbudakan. Yang dikehendaki oleh syariat Islam hanyalah memperkecil jumlah perbudakan di atas dunia, sebagaimana agama Islam juga tidak menghendaki perperangan tanpa alasan yang benar. Itu semua lantaran insan sejatinya diciptakan dengan derajat yang sama dalam keadaan hur (merdeka), sebagaimana yang diutarakan Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam Al-Mughni;
الأصل في الآدميين الحرية؛ فإن الله تعالى خلق آدم وذريته أحرارًا، وإنما الرق لعارض، فإذا لم يعلم ذلك العارض فله حكم الأصل
“Pada dasarnya anak Adam ialah seorang yang merdeka. Sesungguhnya Allah ta'ala membuat Nabi Adam dan keturunannya dalam keadaan merdeka. Sedangkan perbudakan muncul lantaran faktor luar. Jika faktor tersebut tidak diketahui maka derajat anak Adam kembali intinya (merdeka).”
Dalam Fikih Islam, pembahasan wacana perbudakan diistilahkan dengan beberapa istilah. Diantaranya ar-riqqu, al-isti'bad dan milkul yamin. Tentunya pembahasan ini sangat panjang dan mendalam, meliputi segala aturan yang berkenaan dengan budak. Mulai dari batasan-batasan aurat. Kadar dan ketentuan hudud yang diberlakukan saat melaksanakan jarimah dan banyak sekali permasalahan lainnya.
Terkait dengan pembahasan ar-riqqu atau milk al-yamin ini, ada satu tema yang menarik perhatian kami dan kami rasa patut untuk dibahas. Yaitu sebuah fatwa yang sedang diangkat baru-baru ini wacana kebolehan menggauli perempuan diluar nikah dengan syarat harus berlandaskan komitmen suka sama suka, yang kemudian digaungkan dengan tema; "Syariat Islam Melindungi Seks di luar Nikah".
Sekilas melihat temanya saja, fatwa ini cukup membuat hati umat Islam terenyuh. Terlebih masyarakat awam yang notabenenya hanya mempunyai pemahaman agama seadanya. Mereka sangat terkejut dan resah untuk menyikapi informasi tersebut. Bagaimana tidak, masyarakat yang semenjak kecil sudah ditanamkan pemahaman bahwa zina hukumnya haram bahkan mendekatinya saja dihukumi dengan aturan yang sama, tiba-tiba dihebohkan oleh fatwa semacam ini yang melegalkan seks di luar nikah. Di lain pihak, para penggemar seks bebas dan kaum liberal sangat kegirangan dengan munculnya fatwa ibarat ini yang mencoba melegalkan perzinaan dengan berlindung dibalik konsep milkul yamin.
Pemikiran ibarat ini bekerjsama bukan fatwa yang baru. Sebelumnya sudah pernah muncul pemaham yang sama di salah satu negara timur tengah yang ingin melegalkan perzinaan dengan mengandalkan konsep yang sama, yaitu ar-riqqu atau milkul yamin.
Diantara syubhat yang dilontarkan mereka adalah;
Jika seorang perempuan dengan suka rela menyampaikan dirinya kepada seorang lelaki dengan memakai kata “mallaktuka nafsi" dan si lelaki menerimanya dengan menyampaikan “qabiltu wa kaatabtuki ala surati kaza 'ala an takuna tsamanan lihurriyatiki” maka dengan kesepakatan semacam ini perempuan tersebut secara otomatis berubah statusnya menjadi budak si lelaki (dalam anggapan mereka) sehingga mereka berdua bebas melaksanakan korelasi intim walau tanpa di dahului ijab kabul yang sah. Dan bila keduanya sudah saling merasa bosan dan perempuan ingin terlepas dari status budaknya, ia hanya perlu menebus dirinya dengan tebusan yang sudah disepakati di muka kesepakatan ibarat membaca sejumlah surat-surat pendek atau membayar sejumlah uang.
Mereka juga menguatkan pendapat dengan mengutip ayat al-quran surah an-nisa ayat 3;
{فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡ}[النساء: 3]
Mereka berdalih bahwa pada ayat diatas terdapat tawaran untuk menikahi partner seks dalam jangka waktu tertentu, (seperti nikah mut'ah) atau kebolehan bekerjasama intim diluar kerangka pernikahan dengan perempuan tertentu disertai syarat, bahwa si perempuan dengan suka rela menghibahkan dirinya untuk lelaki tersebut sampai status derajatnya berkembang menjadi budak untuk sementara waktu (selama praktek seks/zina berlangsung).
Mereka juga menambahkan, bahwa dulu seorang perempuan pernah tiba kepada rasulullah untuk menyerahkan/menghibahkan dirinya secara suka rela sebagaimana disebutkan dalam riwayat;
أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قد جاءته امرأة ووهبت له نفسها فطلب بعض الصحابة الزواج منها، فقال له: ملكتكها بما معك من القرآن.
Mereka menyampaikan bahwa dalam riwayat ini perempuan yang tiba kepada Nabi tidak memakai redaksi zawwajtuka nafsi, akan tetapi memakai redaksi wahabtu laka nafsi. Sehingga sanggup disimpulkan bahwa, perempuan tersebut memperlihatkan dirinya kepada Rasulullah sebagai budak bukan sebagai Istri. Ini memperlihatkan bahwa, bila seorang perempuan secara suka rela melaksanakan korelasi intim dengan seorang lelaki diluar nikah maka boleh-boleh saja. Dengan syarat si perempuan dan lelaki tersebut melaksanakan kesepakatan perbudakan dengan bentuk yang telah disebutkan di atas.
Mereka juga menyampaikan bahwa ayat alquran dan riwayat di atas ialah dalil bahwa syariat Islam membolehkan perempuan menghibahkan dirinya kepada lelaki yang ia sukai demi memenuhi hasrat birahinya. Dan juga bisa menjadi dalil bahwa syariat Islam melindungi korelasi seks diluar nikah.
Sekilas begitulah argument-argument yang mereka lontarkan, sungguh penuh dengan tipu muslihat dan manipulasi. Pastinya, semua argument yang mereka paparkan tertolak secara syariat dan merupakan sebuah bentuk kegagalan dan keanehan dalam penafsiran nash syar'i dan pengistinbatan hukum.
Dalam Islam, seorang perempuan merdeka tidak dibolehkan menurunkan derajatnya sendiri sampai menjadi budak. Ditambah, status merdekanya seorang insan ialah haknya Allah. Mengapa? Karena pada diri insan merdeka menempel kewajiban-kewajiban dan hak-hak Allah ta'ala yang harus ditunaikan, yang tidak terdapat pada seorang hamba sahaya. Seperti kewajiban zakat, haji dan sebagainya. Dalam Durarul hukkam disebutkan;
الحرية حق الله تعالى، حتى لا يجوز استرقاق الحر برضاه
"Merdekanya seorang hamba ialah hak Allah. Sehingga tidak dibolehkan bagi seorang yang merdeka menimbulkan dirinya budak sekalipun dengan kerelaanya."
Oleh lantaran itu, seseorang tidak dibenarkan menimbulkan dirinya sebagai budak. Seperti menjual diri sendiri kepada orang lain atau menyerahkan dirinya secara suka rela tanpa bayaran apapun. Terlebih bila alasan ingin menjadi budak hanya sekedar memuaskan nafsu birahi dan melegalkan perzinaan dengan dalih meminimalisir perkara pelecehan seksual. Sebuah kaedah mengatakan;
الحر لا يدخل تحت اليد
"Seorang yang merdeka tidak berada dibawah kuasa tangan lain (menjadi budak orang lain)."
Adapun redaksi "wahabat nafsaha" yang dipakai dalam hadis di atas, tidak memperlihatkan kebolehan bagi perempuan merdeka untuk menurunkan statusnya menjadi budak. Karena makna "wahabat" di situ ialah tawaran dari seorang perempuan untuk menjadi Istri rasul dengan memakai kata hibah sehingga tidak perlu kepada mahar. Tentunya ini ialah salah satu kekususan bagi Nabi shallahu 'alaihi wasallam yang tidak berlaku bagi ummatnya sebagaimana disebutkan oleh imam al baihaqi dalam sunannya;
أخرج البيهقي في سننه عن ابن المسيب قال: لا تحل الهبة لأحد بعد رسول الله -صلى الله عليه وسلم
"Tidak dihalalkan bagi siapapun untuk mendapatkan hibah (wanita merdeka) sesudah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam".
Sedangkan ayat al quran yang mereka jadikan dasar pijakan syubhat, sama sekali bukan ibarat yang mereka pahami.
Surah an-nisa' ayat 3 tidak berbicara wacana tawaran untuk menikahi partner seks dalam jangka waktu tertentu atau wacana kebolehan bekerjasama intim diluar pernikahan dengan syarat si perempuan dengan suka rela menghibahkan dirinya pada lelaki sampai statusnya berkembang menjadi budak dalam jangka waktu tertentu. Tetapi ayat suci ini menjelaskan wacana kebolehan bagi seorang lelaki untuk menikahi maksimal empat orang perempuan yang halal bagi mereka, dengan syarat bisa berlaku adil. Jika tak bisa berlaku adil, maka seorang lelaki hanya dibolehkan menikahi satu perempuan saja sebagaimana dijelaskan oleh imam al-Qurtubiy saat mentafsirkan ayat ini.
Namun begitu, bila si lelaki juga tak bisa menikahi seorang perempuan dikarenakan faktor finansial, maka diperbolehkan baginya menggauli budak perempuan yang ia miliki. Yang perlu digaris bawahi disini ialah kalimat "yang ia miliki" atau dalam bahasa arabnya "ما ملكت أيمانكم". Sehingga sanggup dipahami bahwa ayat tersebut membolehkan menggauli budak perempuan yang telah dimiliki sebelumnya, bukan malah menimbulkan seorang perempuan merdeka sebagai budak hanya untuk melegalkan korelasi intim di luar nikah.
Perlu diketahui, terkadang harga beli budak perempuan bisa jauh lebih mahal dari harga mahar seorang perempuan merdeka. Bahkan tak jarang yang menjadi taruhannya ialah nyawa, bila jalur yang ditempuh untuk mendapatkan budak ialah perang. Maka masuk akal bila Islam membolehkan menggauli budak perempuan lantaran tak semua orang bisa memilikinya. Karena bisa jadi, mereka yang mempunyai budak perempuan tetapi tak bisa menikah secara finansial dengan perempuan merdeka ialah mereka yang mempunyai budak perempuan melalui jalur hadiah atau hibah dari orang-orang yang jauh lebih kaya dari mereka.
Oleh lantaran itu, syariat Islam tidak membenarkan segala bentuk korelasi intim diluar nikah dengan praktek miring ibarat yang diutarakan diatas. Sebuah kaidah berbunyi;
الأصل في الأبضاع التحريم
"Hukum dasar yang berlaku pada farj/kemaluan (hubungan intim) ialah haram".
Jika aturan dasar bekerjasama intim ialah haram dan siapa yang melakukannya di luar jalur yang dibenarkan syariat ialah penzina. Bagaimana bisa? korelasi intim melalui jalan yang salah yang sudah niscaya hukumnya haram, bisa berkembang menjadi mubah lantaran hanya didasari oleh komitmen suka sama suka atau kerelaan seorang perempuan untuk menyerahkan dirinya kepada seorang lelaki?! Bukankah ini cara berpikir yang terlalu mengedepankan hawa nafsu?
Saudaraku seiman, sungguh harga diri seorang perempuan terlalu mahal untuk digadaikan dengan fatwa rancu semacam ini. Memperbudak seorang perempuan bukanlah hal sepele yang bisa dilakukan sesuka hati, terlebih bila sekedar memuaskan nafsu birahi. Sungguh agama Islam agama yang tepat dengan segala batasan yang ditawarkannya. Semua itu demi menjaga kemuliaan wanita. Wallahu 'alam.[]
:المراجع:
-الجامع لأحكام القرآن للقرطبي
-تفسير القرآن العظيم لابن كثير
-معالم التنزيل للبغوي
-السنن البيهقي
-المغني لابن القدامة
-الموقع الرسمي لدار الإفتاء المصرية
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar.