Wednesday 25 September 2019

Bisakah Etika Diubah?

Sumber foto: Pixabay.com


Oleh: Muhammad Zulfa*


Manusia yakni makhluk Allah Swt. yang paling mulia. Mulianya insan lantaran Allah menganugerahkan insan logika yang tidak dimiliki oleh hewan, tumbuhan, dan makhluk mati lainnya. Allah juga menunjukkan kepada insan hawa nafsu yang tidak dimiliki oleh malaikat. Begitu pula Allah Swt. membuat insan dengan bentuk yang indah, sungguh sangat spesial. 

Kemudian Allah Swt. juga menghiasi insan dengan aneka macam sifat atau karakter, sebagai muslim kita menyebutnya “akhlak”. Akhlak yakni keadaan jiwa seseorang yang mewarnai tindakan dan prilakunya. Dengan adanya huruf insan nampak lebih sempurna. Karakter inilah yang membuat insan sanggup saling mengenal, memahami dan mendapatkan satu sama lain. Dengan budbahasa pula insan akan saling berselisih, menghina dan bertumpah darah satu sama lain. 

Secara umum budbahasa terbagi dua, budbahasa terpuji dan budbahasa tercela. Akhlak terpuji ibarat dermawan, rendah hati, sabar dan sebagainya. Sedangkan budbahasa tercela ibarat marah, aib pada kebaikan, rakus, dan sebagainya. Setiap insan niscaya mempunyai huruf masing-masing baik terpuji atau tercela. Terkadang sebagian dari kita ada yang pemarah, pemalu, rakus, banyak ketawa, keras kepala, terlalu lembut, dan sebagainya. Sifat-sifat ini telah menempel dalam diri setiap kita. Hanya saja, kurang dan lebihnya tergantung pada watak masing-masing. 

Karakter atau budbahasa terpuji yakni salah satu hal yang sangat diprioritaskan dalam agama Islam. Islam sangat menganjurkan penganutnya untuk mempunyai huruf terpuji dan sangat melarang berkarakter dengan budbahasa tercela. Karena itu, banyaknya karya para cendikiawan dan pemikir Islam yang membahas wacana akhlak, bahkan sampai berjilid-jilid. Seperti kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin juga punya Imam Ghazali, Risalah Qusyairiah goresan pena Imam Abdul Qasim Abdul karim Hawazin Al-Qusyairy, dan yang lainnya. Semua kitab ini bertujuan untuk memberi tahu pada insan ibarat apa sifat terpuji dan sifat tercela, apa ciri-cirinya? Bagaimana cara mengaplikasikan sifat yang baik dalam kehidupan? Dan bagaimana menjauhi sifat yang tercela? 

Namun, di masa modern ini banyak orang yang merasa frustasi dalam menjalankan perintah agama untuk mempunyai huruf yang baik. Terkadang seseorang yang mempunyai perangai jelek mencoba berkali-kali untuk menjadi baik, tapi tidak pernah berhasil. Sehingga lahirlah dogma dalam pikiran banyak orang bahwa sifat jelek yang dibawa semenjak lahir tidak sanggup diubah. “Bila kau lahir sebagai seorang pemalas, jangan pernah bermimpi ingin menjadi seorang yang rajin”. Beragam teladan sanggup kita lihat dalam kehidupan nyata. Maka timbullah pertanyaan dari sebagian kalangan, apakah benar watak jelek yang dibawa semenjak lahir tidak sanggup diubah atau diarahkan kepada kebaikan? 

Mengenai hal ini, para ulama telah membahasnya semenjak dulu. Di antaranya yakni seorang ulama besar asal Turki, Syekh Allamah Tasya Zadah (wafat 968 H) dalam bukunya Syarah Risalatul Akhlak. Beliau menjelaskan bahwa, intinya sifat (akhlak) insan terbagi dua. Pertama, sifat yang timbul dari watak insan itu sendiri (الجلبية). Dengan kata lain, ini yakni sifat alami insan yang ada semenjak ia dilahirkan. Seperti halnya orang Melayu yang berwatak lemah lembut, orang Mesir yang mempunyai watak keras dan tegas dan sebagainya. Sifat watak ini yakni sifat yang lazim dimiliki oleh setiap manusia. 

Kedua, sifat yang tumbuh secara perlahan lantaran perjuangan dari insan tersebut. Sehingga, lama-kelamaan sifat itu menempel akrab dalam jiwa. Sifat semacam ini dikenal dengan (عادي) dalam bahasa Arab. Seperti seorang anak baik yang berteman dengan anak nakal, lama-kelamaan ia niscaya akan menggandakan sifat badung temannya. Biasanya sifat ‘ady ini disebabkan oleh faktor lingkungan, pergaulan, didikan, fanatik, dan sebagainya. 

Dalam menanggapi budbahasa yang tumbuh dengan cara (عادى) para ulama setuju bahwa sifat ini sanggup diubah. Khususnya dikalangan ulama yang jago dalam membahas wacana hati. lantaran sifat ini sebagaimana tumbuhnya dari perjuangan manusia, beliau akan gampang untuk diubah menjadi sifat yang baik. 

Beda halnya dengan budbahasa yang dimiliki insan semenjak ia lahir (jalbiyah). Dalam menanggapi budbahasa yang satu ini, terjadi perbedaan pendapat antara para ulama. Sebagian filsuf beranggapan bahwa huruf yang tumbuh semenjak lahir tidak akan pernah sanggup diubah dan dijinakkan. 

pandangan ini ditolak mentah-mentah oleh Imam Al-Ghazali dalam bukunya Misykah Al Anwar Fi Mughalathah Al Humqa. Yaitu, pendapat sebagian ulama yang mengatakan, bahwa batin yang dipenuhi dengan sifat keji semenjak lahir mustahil sanggup untuk diperbaiki, lantaran beliau telah tercipta dengan sifat keji. Ini yakni pemahaman yang sungguh keliru. Pemaham ini timbul lantaran mereka menduga agama memerintahkan untuk mencabut budbahasa tersebut sampai akarnya. Padahal agama tidak pernah memerintahkan sedemikian. 

Agama hanya memerintahkan untuk mengarahkan semua sifat jalbiyah kepada hal yang sanggup mendatangkan manfaat. Jika saja budbahasa jalbiyah ini tidak sanggup diubah, tentulah tidak ada faedah tuntutan agama untuk menghiasi diri setiap insan dengan budbahasa terpuji. Bahkan, banyak kalam Baginda Nabi Muhammad Saw. yang menganjurkan insan untuk menghiasi diri dengan sifat mulia. Bukankah perintah itu akan menjadi sia-sia jikalau budbahasa jalbiyah tidak sanggup diperbaiki? 

Oleh lantaran itu, pernyataan kun anta (jadilah diri anda) sanggup dimaknai menjadi diri sendiri pada hal yang sudah baik. Sedangkan hal yang belum baik, tentu perlu isyarat dengan cara mengikuti orang lain yang memiki sifat baik. Agama mengarahkan semua sifat insan kepada pertengahan, lantaran sebaik-baik urusan yakni pertengahan. Bahkan, Imam Al-Ghazali berkata “terlalu cendekia juga tidak bagus, lantaran (الزيادة على تمام نقصان) lebih dari kesempurnaan yakni suatu kekurangan”. Anologinya jari tangan, seandainya jari tangan ini lebih dari 10. Itu bukan lagi suatu kelebihan, tapi akan menjadi sebuah kekurangan bagi insan tersebut. 

Al hasil, budbahasa jalbiyah yang dimiliki insan sanggup diubah dan diatur dengan cara-cara yang tercantum dalam buku-buku klasik Tasawuf. Khususnya kitab Ihya Ulumudin karya Imam Al-Ghazali. 

[1] Syarah Risalatul Akhlak.
[2] Arba'in Ghazali.

*Penulis yakni mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir.
banner
Previous Post
Next Post