Oleh : Annas Muttaqin*
(Image Source : Google) |
Kali ini saya tak ingin membuka paragrafku dengan kata-kata metafora atau hiperbola yang indah, biar di pecahan lain saja nanti. Maklum, udaranya sangat panas. Hal ini secara tidak eksklusif mempengaruhi nafsuku untuk menyusun diksi yang bagus. Belum lagi lalat yang semenjak tadi terus saja mondar-mandir di hadapanku. Mereka menyerupai menantangku untuk menghajar mereka. Padahal saya sudah mandi lho!
Perlu kamu ketahui juga. Setelah kulihat-lihat, ternyata lalat di sini kalah lihai dengan lalat yang ada di kampungku. Jika dulu ketika di kampung, saya sangat jarang sanggup memukul lalat dengan tangan langsung, di sini tidak. Aku sangat sering menangkap lalat dengan tanganku. Bahkan menyentilnya kalau saya sedang jahat. Kasihan lalat di sini. Barangkali beliau harus mencar ilmu dari lalat di kampungku.
Sebenarnya bukan tingkah lalat saja yang berbeda, begitupun kucing dan anjing. Mereka juga punya tingkah yang berbeda dengan yang biasa ada di kampungku. Mulai dari cara memanggilnya hingga cara mereka hidup, sungguh berbeda. Kau bayangkan saja. Anjing di sini bagaikan kambing di kampungku. Berkeliaran bebas di gang-gang rumah, sambil mencari makan. Dan yang kuheran lagi, Selama saya di sini, saya belum pernah melihat anjing yang mengejar menusia, bahkan saya melihat sebaliknya.
Oh iya, di negeri ini pula saya tahu bahwa cerita kartun Tom and Jerry yang dulu sering kutonton, tak sepenuhnya benar. Buktinya anjing, kucing, dan tikus sanggup hidup berdampingan di sini. Bahkan beberapa bulan yang lalu, saya melihat anak kucing yang menyusu pada seekor anjing betina.
Kali ini mataku tertegun ke sudut ruangan dengan wajah iba.
“Kasihan kipas angin itu dari kemarin tak mati-mati.” Dengusku dalam pikiran.
Entah kenapa kali ini saya merasa iba melihat kipas angin, padahal ia tak pernah merasa iba terhadapku. Dasar aku. Barangkali sebab dulu ayahku pernah berkata :
“Sayangilah diri kita dan lingkungan sekitar kita”
Hmmm. Bisa jadi itu yang membuatku iba.
Hari ini, saya punya beberapa acara yang harus kuselesaikan. Mulai dari nyuci baju, setoran hafalan, makan Crepe Zone hingga ikutan rapat. Maklumlah, saya sudah dua tahun di sini. Tak lezat kalau terus menerima. Sebagai makhluk homososialis saya juga harus memberi. Dan berorganisasi ialah salah satu media yang menurutku sempurna untuk memberi, walaupun hanya sekedar memberi lawakan ketika rapat.
Tapakku sudah berada di mahattah bus. Dari kejauhan tampak bus pujian Masisir mulai memasuki area halte. Tentu para fans bus ini eksklusif mengambil ancang-ancang, supaya ketika bus tiba sanggup eksklusif naik dan mendapatkan dingklik duduk. Walaupun ujung-ujungnya nanti kadang harus pindah karena rasa iba pada ibu-ibu, ataupun bahkan ingin terlihat menjadi pahlawan di mata ukhti-ukhti fillah yang berdiri terombang-ambing sebab tak sanggup tempat duduk. Dasar lelaki.
Namun belakangan ini banyak yang kecewa dengan Bus ini. Lantaran tarifnya yang naik secara signifikan. Mulai dari awal saya tiba di Mesir hanya dengan harga 1,5 LE hingga kini 4 LE sekali naik. Sebenarnya sih, bukan salah busnya. Tapi harga BBM di sini juga sudah naik, mungkin itu jadi faktor utama kenapa sanggup tarif bus melonjak.
Karena bus masih terlihat kosong, saya lebih menentukan duduk di dingklik erat jendela. Memang di situ tempat duduk favoritku. Bagiku menikmati pemandangan Kairo di balik jendela bus mendatangkan ide tersendiri dalam hidupku. Walaupun tolong-menolong hanya kegaduhan klakson kendaraan beroda empat ataupun teriakan emak-emak yang saling beradu verbal atau bahkan sekedar memandangi masyarakat-masyarakat Mesir dengan banyak sekali lakon anehnya. Sungguh disayangkan kalau tak duduk di erat jendela dan tak sanggup menikmati insiden itu dalam perjalanan.
Seperti biasa, semenjak awal bus beranjak dari mahattah, ada saja ibu-ibu, kakek-kakek atau bahkan bawah umur yang menjajakan tisu ataupun selembaran kertas yang bertuliskan beberapa ayat Alquran. Khusus untuk dibaca ketika pagi dan petang atau ditimpa kemalangan (sakit). Sebenarnya mereka bukan hanya berjualan, namun mereka menuntut belas kasihan dari tangan-tangan pemurah supaya sudi kiranya membagi recehan geneh (uang) yang mereka miliki.
Tisu dan kertas-kertas itu, menjadi mediator mereka supaya tak terlalu terlihat meminta-minta, saya suka itu. Setidaknya mereka tak eksklusif meminta mengadahkan tangan sambil mengharapkan iba, tapi ada perjuangan yang mereka jajakan walau hanya dengan kantong-kantong tisu dan lembar-lembar ayat itu.
Memasuki daerah Tsamin seorang gadis umur belasan tahun dengan pakaian gamis hitam lusuh dan tas selempang masuk bus. Kemudian menjajakan seutas kertas ke setiap penumpang dingklik bis. Tertulis disana.
“Namaku Fatimah ayahku telah meninggal dalam sebuah peristiwa kecelakaan. Sekarang saya tinggal di sebuah rumah kecil bersama ibu dan adik-adikku. Ibuku sakit sedangkan adik-adikku masih kecil. Aku mengharapkan sedikit pemberian dari rizki yang telah Allah berikan pada kalian untuk membayar biaya pengobatan ibuk dan uang sewa rumahku. Semoga Allah membalas setiap kebaikan yang telah kalian perbuat dengan yang lebih baik”
Manusia mana yang tak iba kalau pertama kali membacanya. Namun bagi yang sudah terbiasa, mungkin tak ada lagi rasa iba. Bahkan ada yang menggapnya hanya bentuk bualan semata untuk mendapatkan uang. Ya, begitupun aku. Yang setiap menumpangi bus, mereka selalu saja hadir mengedarkan kertas yang sama, dengan goresan pena yang sama. Hanya saja nama mereka yang berubah.
Tak usang kemudian, ia kembali tiba mengambil kembali kertasnya satu persatu. Sembari berharap diselipkan lembaran uang di dalamnya. Bahkan tak segan-segan ia memaksa kalau tak diselipkan uang, terlebih kalau berhadapan dengan kami mahasiswa berparas asing. Tampaknya mereka lebih bersikeras supaya mendapat uang dari kami. Tak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka. Entah mereka mengganggap kami kaya, hidup berkecukupan, bergelimang harta karena berwajah asing atau apalah. Yang terperinci mereka selalu bersikeras mendapatkan geneh saat berhadapan dengan kami.
Sontak melihat sikapnya yang bersikeras itu pada beberapa mahasiswa asing, rasanya saya tak lagi berniat memberinya uang walau recehan sekalipun. Lantaran kesal ku tuliskan saja di belakang kertas itu.
“Sorry, if you want money, please study!” Tulisku singkat dengan bahasa Inggris. Berharap suatu ketika ia akan sadar ketika tahu artinya.
Tak usang kemudia ia tiba menghampiriku.
“Sa’id ni yaa hagg, hatt geneh!” (Bantu aku, tolong beri saya uang!), ucapnya ketika mengambil kembali kertas yang tak kuisi apa-apa. Ia sodorkan kertas itu kembali ke hadapanku, sembari menawarkan angka satu di jarinya.
“Ma’alesy ya Bint,” ucapku tak acuh, sembari meletakkan tangan di dada sebagai tanda maaf dan kembali lalai dalam lamunanku.
Sadar di belakang kertas itu kutuliskan sesuatu, ia menatapku kembali sambil bertanya
“Eih da?” (apa ini?)
Tentu saya tak ingin memberitahunya eksklusif arti kalimat tersebut. Biar saja ia mencarinya sendiri, hingga sadar atas apa yang ia lakukan kini tak sepenuhnya benar. Ia bersikeras bertanya padaku sambil menuntut saya memberi uang sebagai ganti dari kertas yang telah kucoret. Aku tak hirau saja dengan apa yang ia tuntut. Melihat saya tak hirau ia pergi ke beberapa penumpang di sampingku sembari bertanya
“Eih ma’na dah?” (Ini Artinya apa?)
“El rajul di biyaktub lii,” (pemuda itu yang menuliskannya untukku)
Penumpang lainpun tak acuh, hingga ia kembali lagi padaku sembari bertanya arti dan menuntut uang sebagai ganti ruginya. Namun kali ini ia mendesak lebih keras dengan bunyi yang tinggi. Hingga menciptakan sesisi bus sedikit riuh dan emosiku melambung.
“Kau mau apa?” Ucapku dengan nada yang tinggi, sembari sedikit berdiri dari tempat dudukku sebagai tanda bahwa saya sudah emosi. Ia hanya menjawab sembari kembali meninggikan nadanya tanpa rasa bersalah.
Melihat kondisi itu, seorang mahasiswa yang duduk tak jauh di depanku memanggilnya sembari meminta kertas yang kutuliskan di belakangnya. Setelah sejenak membaca, ia pun memberi tahu arti dari kata-kata yang kutuliskan tersebut, sekaligus memberinya uang. Aku membisu saja dengan sedikit kesal. Kulihat wajah wanita itu ketika mengetahui arti dari yang kutulis. Kemudian berkata lirih,
“Belajar? Bagaimana saya sanggup belajar?!” ucapnya lirih dengan paras sendu. Kemudian pergi meninggalkan lelaki tadi. Melewatiku dan tak menatapku lagi.
Perasaanku bergejolak, antara emosi dan rasa iba. Di satu sisi saya merasa kesal dengan mereka yang hanya mengada-ngada untuk mendapatkan bantuan, namun disisi lain saya merasa iba pada wanita tadi.
“Ah, sudahlah, tak pantas saya mengibakan tingkah-tingkah menyerupai itu. Toh beliau bohong kok, untuk apa perlu diibakan.” Berontakku dalam batin.
Bus terus melaju membelah kemacetan Kairo, sesekali ia mengaung membalas aungan mobil-mobil lainnya. Sesekali ia juga berhenti di pinggiran jalan, menjemput penumpang yang menunggunya.
Tepat satu jam dalam perjalanan. Sebentar lagi, saya akan hingga di tempat tujuanku. Mengikuti rapat, kemudian sehabis itu mengajak beberapa temanku makan Creap Zone sambil duduk minum ashab (air tebu), menghabiskan waktu sore.
***
Rapat usai. Setelah sedikit lagi berbincang sebagai basa-basi, kemudian saya pamit. Aku buru-buru mengajak beberapa temanku. Tak sabar ingin segera kulumat creap. Daging dan sayuran ditambah sedikit mushroom, dengan lelehan mayones, keju serta saus dibalut dalam satu campuran menyerupai kebab sembari menyeruput air tebu. Uhuy, “Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?”.
Kami hingga di Creap Zone. Tempat yang menjadi salah satu favorit tongkrongan kami. Seperti biasa sehabis memesan dan melaksanakan pembayaran, kami harus menunggu sebentar hingga nomor giliran dipanggil. Baru kemudian sanggup menikmati creap. Berbagai permasalan yang sedang viral baik hal yang berfaedah hingga hal-hal yang tak berfaedah sekalipun, menjadi topik pembicaraan kami. Sedang asyik-asyiknya berbincang, handphone-ku berdering sebentar. Dari Veri ternyata. Dua panggilan masuk dan satu pesan WA.
“Ja, tolong beli serai di situ ya, di kede dekat rumah udah habis serainya.”
“Oke,” balasku singkat.
Setelah cang panah (cincang buah nangka) alias ngomong-ngomong hal yang tak penting-penting amat. Kawan-kawanku kembali ke asal, saya tidak. Maksudnya, kembali ke rumah. Karena harus beli serai ke pasar. Maklum di sini serai langka. Cuma ada di beberapa tempat di kota-kota besar. Namun kali ini saya lebih menentukan jalan yang lebih jauh supaya sanggup menikmati suasana baru.
Kujejakkan kaki melewati flat-flat penuh debu, kedai-kedai, dan bengkel-bengkel. Seperti biasa wilayah ini memang sedikit kumuh. Namun yang kusuka, di sini udaranya lebih hirau taacuh dibandigkan di Darrasah tempat kutinggal. Jarak antara kedai Creap Zone dan kedai tempat dijual serai, memang tak terlalu jauh. Tujuh menit lah, kalau berjalan kaki lewat jalan biasa. Tapi sebab saya menentukan jalan yang luar biasa, mungkin sanggup hingga sepuluh atau lima belas menit.
Berjalan kaki mengitari jalanan Kairo, tolong-menolong ada keasyikan tersendiri bagiku. Aku bagaikan menikmati setiap detik dalam fase hidupku, mengeja setiap cerita yang kubuat sendiri sembari terkadang lalai dalam lakonan-lakonan aneh masyarakat Mesir. Tampak di depan sana kedai yang menjual serai. Tepat di depan salah satu warung nasi milik orang Indonesia. Bahkan kedai serai itu pun kedai orang Indonesia, dan khusus menjual barang-barang dari Indonesia. Tapi harganya mahal, sanggup hingga tiga kali lipat mahalnya.
“Assalamualaikum,” sapaku ketika masuk.
“waalaikum salam,” jawab yang jaga kedai singkat
“Serai ada Ustadz?” tanyaku langsung
“ada-ada, Ustadz, itu di freezer,” sembari menunjuk ke arah freezer.
Jangan heran kalau disini dipanggil ustadz. Bahkan hampir semua lelaki yang ada disini ini dipanggil ustadz, baik yang jaga warung makan, yang pangkas rambut, Sampai yang jualan jersey bolapun kami memanggilnya Ustadz. Bukan tanpa alasan, sebagai bentuk rasa hormat dikarenakan telah mencar ilmu ilmu agama.
Kubuka freezer, kulihat serainya masih segar-segar, walaupun sudah dibekukan.
“Berapa satu ikat Ustadz” tanyaku, jangan-jangan harganyapun melonjak karena harga BBM naik.
“Ikat Besar 15 LE, ikat kecil 7 LE, Ustadz,” jawabnya.
Kuambil dua ikat besar. Barang kali sanggup tahan untuk dua ahad masak.
“Saya ambil dua ikat Ustadz,” balasku.
Segera kuraba semua saku celanaku. Kemudian kukeluarkan uang 50 LE. Tapi tampaknya ada yang aneh, kurasa. Tadi saya meletakkan dompet di saku celana belakang. Tapi kali ini, saku belakangku tak lagi berisi. Sontak kuraba berulang kali semua saku celanaku, tak jua kudapatkan.
Walaupun saya tak pernah menyimpan uang dalam dompet, tapi di sana banyak kartu-kartu penting. Mulai dari KTP, ATM, Kartu Mahasiswa, SIM, bahkan pasporku juga kuletakkan di saku celana belakang. Ah, kamu tahulah, paspor merupakan nyawa bagi kami di perantauan, apalagi di Mesir ini. Bisa gawat kalau nanti ada pemeriksaan, dan saya tak mempunyai paspor, kalau dibentuk barupun pengurusannya sulit kalau dari sini.
“Innalillahi,” ucapku Lirih dibibir.
“Kenapa Ustadz?” Tanya penjual itu ketika mendengar ucapan lirihku.
“Tak apa Ustadz,” ucapku sambil mendapatkan uang kembalian.
Tatapanku kali ini kosong, kulangkahkan perlahan kakiku keluar kedai, dengan perasaan yang sangat tak enak. Perlahan kucoba mengira di mana kuletakkan dompet dan pasporku. Atau jangan-jangan ada yang mencopetnya.
Di depan kedai berdiri seorang bocah dengan pakaian lusuh. Bisa kuperkirakan usianya tak hingga Sembilan tahun. Tangannya menyerupai menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya. Kemudian menghampiriku.
“Hat geneh ya ‘Amm!” (Beri saya uang satu pound!). Ucapnya sambil tersenyum tak bersalah.
“Mafisy geneh,” (tak da uang). Ucapku kesal.
Kemudian disodorkannya dompet dan pasporku dari tangannya yang sedari tadi dibalik punggung.
Tentu saya kaget. Bagaimana ia sanggup mendapat dompet dan pasporku, sedangkan saya tak merasa seorangpun menyentuhku semenjak tadi. Aku resah antara murka dan iba. Marah karena kurasa ia yang sengaja mengambil dompetku, dan iba karena ia terlalu kecil untuk kumarahi. Kuambil uang 5 LE dari saku. Kuberikan, kemudian kudekatkan pendengaran ke mulutnya, kemudian kutanya.
“Di mana kamu dapatkan dompet dan pasporku ini?” sambil meraih dompet dan paspor darinya.
“Tadi kulihat kamu menjatuhkannya di depan Creap zone,” ucapnya sambil menggoyang-goyangkan badan, layaknya bocah biasa.
“Astaghfirullah,” ucapku lirih, dikarenakan telah berburuk sangka padanya.
Karena rasa iba, kutanya lagi.
“Ibumu mana? Kau tinggal di mana?”
“Di sana,” sambil menunjuk sebuah lorong di seberang jalan.
“Mari kuantar ke rumahmu,” ucapku sambil merangkulnya.
Dalam perjalanan menuju rumahnya, saya tak banyak bertanya hanya saja pikiranku bergejolak. Menerka kejadian yang hampir menimpaku tadi. Hingga sampailah kami di depan sebuah apartemen beringkat.
“Lantai berapa rumahmu?”
“Itu,” sambil menunjuk ke samping apartemen bertingkat tersebut. Ternyata rumahnya bukan berada di salah satu flat dari apartemen tersebut.
Sebuah gubuk kecil itu berdempetan dengan flat bertingkat yang dipenuhi oleh semak-semak. Satu sisinya berdidingkan sisi flat sedangkan sisi lain dari reruntuhan kayu. Terdapat satu jendela kecil dan satu pintu. Segera dipanggil ibunya. Namun betapa terkejut ketika kulihat yang membuka pintu ialah gadis yang membagikan kertas di dalam bus tadi. ketika melihatku, ia seakan ingin memasang wajah tak hirau dan berancang-ancang ingin memarahiku. Tapi kali ini, saya melemparkan senyum kikuk, kemudian bertanya pada bocah kecil yang mengembalikan dompetku tadi.
“Ini ibumu?” tanyaku singkat
“Itu kakakku,” jawabnya
“Ibumu mana”?
“Itu, yang sedang terbaring, sakit.” Jawabnya lagi, sambil menunjuk ibunya yang terbaring tak berdaya di dalam rumah.
Aku ternganga, tak sanggup berkata-kata.[]
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Syari'ah Islamiyah, Universitas Al- Azhar.
Baca juga Cerpen : Harapanku, Semalam di Krueng Daroy dan Permata yang retak.