Wednesday, 18 September 2019

Sang Ghazali Kecil Dari Suriah


Oleh: Annas Muttaqin*
Sumber foto: islami.co

Nama ia Muhammad Said ibn Mula Ramadhan ibn Umar al-Buthi. Lahir di  Jilka, sebuah desa kecil di Buthan,  Turki, pada tahun 1929 M/ 1347 H. Ayahanda ia Syekh Mula Ramadhan al-Buthi merupakan seorang ulama kondang di Turki dan Suriah. Namun, sayangnya ketika itu Kemal Pasya Attaturk memulai manuver politiknya sampai kemudian sanggup menggulingkan kerajaan Ottoman (Ustmani) yang ketika itu sudah mulai melemah. Keberhasilan  Kemal Pasya Attaturk dalam menggulingkan pemerintahan Ottoman tentu membawa efek negatif bagi umat Islam Turki ketika itu. Syari’at Islam yang mulanya dengan bebas ditegakkan bertahap digantikan dengan hukum-hukum sekuler. 

Melihat kondisi politik Turki yang simpang siur terhadap umat Islam, ayahanda Syekh Ramadhan al-Buthi menentukan menghindari adanya konflik, sampai kemudian tetapkan hijrah ke Suriah guna sanggup kembali berdakwah dengan kondusif dan damai. Dengan membawa Al-Buthi kecil serta keluarganya, di sana perjalanan hidup gres keluarga Kurdi ini dimulai. Ayahanda ia kembali mengumandangkan dakwah-dakwahnya yang sarat akan ketentraman hati. 

Di Suriah al-Buthi kecil dididik eksklusif oleh ayahanda beliau. Mulanya al-Buthi kecil diajarkan perihal iman sebagai pondasi iman, kemudian dilanjutkan dengan berguru sirah nabi, dan lagi dilanjutkan dengan ilmu alat mirip sharaf dan nahwu. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa ia sudah sanggup menghafal kitab Alfiyah ibn Malik pada usia empat tahun. Kitab tersebut merupakan salah satu kitab referensi dalam ilmu nahwu yang diringkas dalam syair yang berjumlah seribu bait. Dan pada usia enam tahun pula ayahanda  membawa ia pada seorang perempuan agung yang mengajarkan Al-Quran pada anak-anak. Di sana syekh Ramadhan al-Buthi menghafal serta mengkhatamkan Al Alquran kurang dari enam bulan.  

Selepas pendidikan ibtidaiyyah ayahandanya mengirim Ramadhan al-Buthi muda pada Syekh Hasan Habannakah Al-Maidani. Beliau merupakan sosok ulama yang menghabiskan sebagian besar kehidupannya untuk mengajar. Beliau juga dikenal sebagai Ulama yang pemberani dan penuh hikmah. Pada Syekh Hasan Habannakah-lah Syekh Ramadhan al-Buthi muda mendalami ilmu Islam. Kecerdasan dan kepiawannya terhadap ilmu pengetahuan menciptakan ia menjadi salah satu murid didik tersohor di antara murid Syekh Hasan Habannakah.Bak buah yang tak jatuh jauh dari pohonnya, al-Buthi pun lambat laun mulai mengikuti jejak dakwah ayahanda dan gurunya. Kalam-kalam serta pemikirannya pun tak jauh berbeda dari para guru-gurunya. 

Namun tak hanya berakhir di situ. Himmah al-Buthi dalam mendalami ilmu Islam membuatnya kembali ingin menyempurkanan pendidikan formal lebih tinggi. Mesir menjadi daya tarik tersendiri baginya dalam mendalami seluk beluk Islam. Nah, pada tahun 1954 ia pun meneguk muara ilmu di Al-Azhar. Fakultas Syariah Islamiyah menjadi gerbang utamanya yang ia pilih sebagai takhasus Ilmu Islam. Sembari menjadi Mahasiswa di Al-Azhar beliaupun ulet menulis artikel sastra dan problem sosial kemasyarakatan ke surat kabar Al-Ayyam. 

Di Al-Azhar Syekh Ramadhan al-Buthi menuntaskan pendidikan formal sarjananya. Disebutkan bahwa ia berhasil menuntaskan sarjananya dalam tempo dua tahun sebelum kembali melanjutkan diplomanya (S2) dalam bidang ilmu Bahasa Arab. Sastra merupakan salah satu bidang ilmu yang juga menjadi kesenangan tersendiri bagi beliau. Pada tahun 1965 Syekh Ramadhan al-Buthi menuntaskan agenda doktoralnya dengan predikat Mumtaz syaraf ula (Summa Cumlaude) dengan disertasi yang berjudul “Dhawabit Al-Mashlahah fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah” serta menerima rekomendasi dari Al-Azhar sebagai karya tulis yang sanggup dipublikasikan. 

Karena limpahan ilmu serta wawasan yang ia miliki, ia pernah beberapa kali menduduki jabatan penting di Suriah dan lembaga-lembaga Internasional. Dari dekan fakultas Syari’ah di Universitas Damaskus, anggota majelis tertinggi penasihat Yayasan Thabah Abu Dhabi, anggota penelitian kebudayaan Islam di Jordan, anggota majelis tinggi senat Universitas Oxford Britain sampai memimpin sebuah forum penyelidikan theologi dan agama-agama di universitas yang berpusat di Timur Tengah. Tak hanya itu wawasannya yang terbuka serta kemoderatan cara berpikir, ia juga sering mengisi dan mengikuti seminar serta persidangan peringkat antar bangsa baik di Timur Tengah, Amerika bahkan Eropa.  


Sumber foto: kabarislamia.com


Namun kendati demikian, Syekh Ramadhan al-Buthi tak pernah sesekali tinggi hati atas segala yang telah didapatkan. Beliau selalu menyampaikan bahwa semua yang ia dapatkan merupakan anugerah dari Allah. Ketinggian iImu dan limpahan wawasannya justru menciptakan ia menjadi pribadi yang zuhud dan rendah hati. Beliau tetap mengisi dan membimbing pengajian di masjid Dimsyiq (Damaskus) dan beberapa masjid lainnya di sekitar kota Dimsyiq di Suriah.  

Ilmu filsafat yang sering kali berat untuk dipahami dihasakannya dengan mudah. Bahkan setiap untai kata yang keluar dari mulutnya mengandung limpahan pesan tersirat yang sanggup membuncahkan air mata kalau dipahami mendalam terlebih yang mendengar eksklusif dari verbal ia sendiri. Oleh sebab itu halaqah yang ia isi tak pernah sepi dari penuntut ilmu dari banyak sekali belahan dunia. 

Selain berdakwah dengan lisan ia juga merupakan penulis yang produktif. Beliau sanggup menguasai banyak sekali disiplin ilmu. Karyanya mencapai lebih dari enam puluh buku, mencakup bidang Syari’ah, sastra, filsafat, sosial problem kebudayaan sampai masalah-masalah kontemporer yang belakangan ini muncul karena perkembangan zaman. Buku-buku ia termasuk karya-karya fenomenal Islam pada zaman ini. Kesederhanaan bahasa serta kedekatan pola dalam kehidupan sehari-hari yang diambil eksklusif dari insiden yang terjadi pada zaman ini merupakan keunggulan tersendiri dalam karya-karya beliau. Maka oleh sebab itu tak heran kalau ia dijuluki “Al-Ghazali Kecil dari Suriah”. 

Saat Suriah sedang dilanda konflik, banyak sekali macam fitnah tiba menghardik ia karena ia menolak untuk mendukung golongan kontra pemerintah yang mengatas namakan jihad Islam dengan menghidupkan api konflik sampai menumpahkan darah sesama saudara muslim. Bahkan sebagian dari mereka menghina dan menyampaikan ia telah sesat karena hal tersebut. Na’udzubillahu min dzalika, padahal seberapalah ilmu serta pengetahuan mereka terhadap situasi politik Suriah serta mashlahah dan mafsadah  perihal hal tersebut. 

Pada tahun tanggal 21 Maret 2013  sebuah ledakan bom dilakukan  oleh kelompok ekstrimis Islam radikal di masjid Al-Imam Damaskus, Suriah. Tepat di depan ia ketika sedang memberi kajian rutin tafsir malam Jumat. Dengan simbahan darah di kepala perlahan ia tumbang syahid sembari memeluk al-Quran yang berada di depannya bersama 50 muridnya dan satu cucunya tercinta, Ahmad. Kemudian muridnya yang selamat berbondong-bondong memangku ia yang perlahan tumbang dari daerah duduknya. Beliau syahid pada usia 84 tahun dalam keadaan mendakwahkan Islam. Argumen-argumen yang ia paparkan baik lisan maupun tulisan  dalam membendung paham radikal yaitu pemahaman yang anti dengan tradisi bermazhab, menyeru pada ijtihad, intoleran serta cenderung ekslusif dan menganggap kebenaran hanya ada pada kelompoknya menciptakan mereka marah sampai kemudian merenggut nyawa ia dengan cara yang keji. Sungguh hati mana yang tak tersayat, tercabik dengan tingkah keji yang dihasilkan dari kesalah pahaman dalam memahami Islam tersebut.  

Suatu hari ada seorang yang tiba menjumpai Syekh al-Buthi dan melaporkan bahwa ada sekelompok orang yang memperabukan buku-buku beliau. Sambil tersenyum ia menjawab, "Tak apa mereka memperabukan buku-bukuku, sebab dalam sejarah ulama yang dibakar bukunya yakni Al-Ghazali. Maka sangat tidak pantas orang sepertiku disandingkan dengannya". Begitulah sifat tawadhu yang ia praktekkan dalam kehidupan sehar-hari. Tapi dengan segenap jerih payah ia pada umat, berkhidmah dan mencerahkan umat insan ia sangat layak digelari Al-Ghazali di zaman modern ini.

Sekalipun ia telah wafat, namun jalan-jalan pikir serta semangat ia masih bersinar jelas diikuti oleh banyak sekali kalangan di dunia. Begitulah ibarat, kalau jalan yang dibangun dari keikhlasan dan kedamaian serta pancaran etika mulia, takkan menyakitkan yang melaluinya jua indah bagi siapa saja yang memandangnya. Hanya mereka yang menghiasi pandangannya dengan kebencian yang menjadikannya sendiri jalan tersebut tampak gelap. Wallahu a’la wa a’lam



Penulis yakni Mahasiswa Tingkat 2 Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar Kairo.
banner

Related Posts: