Oleh : Muhammad Farhan*
(Image Source : Google) |
"Kita disini ialah pencari ilmu. Bukan penunggu ilmu. Carilah, gapailah, dan berusahalah. Mesir ialah daerah yang tepat dengan ilmu. Dia tak salah. hanya kita yang belum menemukan cinta dan keindahan negeri seribu menara ini.”
Menara tinggi tampak terperinci menghiasi. Dinding-dinding dipenuhi corak gesekan kaligrafi nan menarik. Keramik putih tertata rapi, begitu dingin dikala diinjak kaki. Bangunan ini terasa sangat kokoh. Bagaimana tidak, tiang-tiangnya berdiri nan tegak. Saling menguatkan acuan atap yang berat. Riuh tuturan ilmu dari lisan guru-guru terasa indah. Andai saja ku mengerti apa yang dimaksud.
5 bulan. Aku telah mengarungi samudera lautan nan melintang membelah Asia dan Afrika. Hidup di negeri pasir, yang belum tampak terperinci arah tujuan. Aku memberanikan diri merantau ke negeri orang dengan membawa segudang impian. Namun apa yang kudapatkan belum pernah sesuai dengan harapan.
Aku termangu dan bimbang. Negeri ini, ialah negeri yang dijuluki sentra peradaban dan kiblatnya ilmu pengetahuan Islam. Namun mengapa semuanya seakan terasa hambar. Aku tak mendapati ilmu yang sesuai.
Apa alasannya saya yang salah? Apa niatku yang masih bermasalah?
Aku termangu menyesali diri di sudut masjid. Tiba tiba …
“Ferdi!” Seseorang memanggilku.
“Ferdi… Oi,” ternyata Rayhan yang sedari tadi berdiri di sampingku. Ia ialah salah satu orang yang tidak mengecewakan akrab denganku, sejak saya menginjakkan kaki di negeri para nabi ini .
“Eh iya,ya. Kaifa Ray? Mau eksklusif balek ke rumah ya?” Tanyaku.
“Iya nih, saya harus beli materi belanja, untuk piket masak nanti malam”
“Oke. Tafaddhal”
“Kamu gak ikut, Fer ?” Ia kembali bertanya.
“Gak, saya mau disini dulu,” jawabku, kemudian membalikkan tubuh menyerupai semula, serta menunduk. Pikiranku buyar dan bimbang pun mulai merasuki diri.
“Udahlah Fer. Jangan terlalu dibebani. Jalani aja dulu.” Rayhan menenangkan sembari menepuk pundakku.
“Iya Ray. Anta pulang aja. Nanti ana nyusul. Oya, sekalian nitip tas ana ya...” ku sodorkan seutas senyuman termanisku, menerangkan saya akan baik-baik saja.
“Sip, Assalamualaikum…”
“Waalaikumussalam”
Aku kembali merenung dan bimbang. Kulihat jam menawarkan jam 5 petang. Semakin ramai yang mengunjungi masjid Al-Azhar. Riuh bunyi belum dewasa berlari sangat terperinci kudengarkan. Di luar sana juga ada beberapa turis yang mengenakan kerudung. Seri wajah kebarat-baratan terlihat sangat jelas.
Aku berusaha sedikit damai dengan merebahkan badan. Ku ambil nafas dalam-dalam. Ingatanku berputar mengingat diriku yang sangat naïf ini. ku tak akan mampu. Aku putus asa. Bagaimana bila saya pulang ke tanah air dan tak bisa menjawab persoalan-persoalan masyarakat.
Aku semakin tak karuan. Kepala terasa berkunang-kunang. Aku pusing. Aku lelah. Dan terlelap...
“Yaa Basya, Qum Enta. Mamnu’ Naum hena!” Seorang petugas membangunkanku. Kudapati diri yang sudah acak-acakan. Jubahku kusut dan tak rapi. Tak peduli, saya kembali merebahkan badan. Kepalaku masih terasa pening. Aku tak mau memikirkan apa-apa.
Petugas itu keheranan menatapku. Dia mencoba membangunkan lagi.
“Eh yaa Basya. Leeh enta? Dia mulai kesal dan sedikit mulai membesarkan suara, mempertanyakan ketidak acuhanku. Aku sadar. Tapi sengaja tidak menghiraukan.
“Yaaa Basyaaa!” Suaranya semakin keras. Semua orang di masjid melihat ke arahku. Mereka sangat heran melihat diriku yang sontoloyo dan pekak. Mungkin mereka juga merasa terganggu. Ingin rasanya ku berikan sebuah hadiah gumpalan pukulan untuk si petugas ini. Namun saya lebih menentukan berdasarkan dan bangun.
“Tamam yaa ‘Ammu, syuwayya.” Aku berdiri dan merapikan kerah baju jubahku. Kepalaku masih berdenyut. Ku lirik jam tangan. Pukul 5.47.
Usai berada di luar masjid. Ku putuskan untuk tidak kembali ke rumah. Ingin rasanya berkeliling. Terkadang, sedikit jalan-jalan membuatku nyaman dan tenang. Namun, pikiran tak pernah tenang. Aku kembali memikirkan bagaimana nasib. Apakah saya akan tetap bertahan di sini atau pulang ke Indonesia. Aku terus berjalan menelusuri beberapa daerah yang belum pernah kudapati. Suasana sumpek dan pengap. Kepalaku semakin pusing.
“Ah... kalau begini terus saya akan pulang saja ke Indonesia,” bisikku dalam hati.
Langkah demi langkah membawaku ke sebuah daerah yang sangat asing. Tak ku temui satu orang pun mahasiwa aneh sepertiku. Pikiranku buyar. Tak sadar saya tersesat. Kuarahkan pandangan keberbagai tempat, sayangnya daerah ini tetap asing.
“Tenang,” bujukku dalam hati. Aku mencoba untuk berpikir sejenak. Pasti ada jalan keluar.
“Yups, google maps”.
Kucoba merogoh kantong kanan celana. Tak ada. Kupalingkan sebelah kiri kantong celana. Tak ada juga. Diriku semakin panik. Tak tau apa yang harus dilakukan. Dan kemana androidku? Apakah sudah dicopet sama haromi? Bahkan saya tak menyadari hal sepele itu?
Kepalaku semakin berkunang. Pening dan terasa sangat berat. Apakah saya harus bertanya? Bahkan belum mengerti bahasa arab ammiyah? Atau terus berjalan sesuka hatiku? Ah, kurasa kali ini harus berani bertanya. Hanya itu jalan keluarnya.
Aku mencoba mendekati beberapa orang Mesir. Dua bahkan tiga orang pertama, saya tak bisa memahaminya. Bahkan mereka cuek, seakan tak tau apa-apa. Aku terus bertanya.
Akhirnya...
“Hayya, Ana saazhab ma’ak ya akhi” Seorang cowok bersedia menuntunku pulang.
Betapa senangnya aku. Jauh dalam hati, saya ingin bersorak ria. Ingin meloncat-loncat dan meronta-ronta. Diriku kolam ditimpali derita haus yang seakan menemukan air di gurun fatamorgana.
“Syukran yaa Akhi,” Ucapku. Seutas senyuman lapang dada kemudian terpancar dari rindang wajahnya. Aku telah hingga di Masjid Al-Azhar.
Dia berlalu. Aku tak tau ke mana yang akan dituju. Seakan hati lega dan raga terasa tegar. Ada sebuah perasaan damai dikala melihat sikapnya. Mungkin ini yang dinamakan menerima proteksi lapang dada dari seseorang.
Waktu telah menawarkan jam 18.45 Clt. Adzan berkumandang. Baiknya, ku singgah dan menunaikan shalat Maghrib dahulu. Rasa cinta dan lapang dada dari cowok tadi masih membekas. Tak kusadari rasa tersebut merasuki jiwa, bahkan menentramkan shalat.
Usai shalat. Kuarahkan pandangan ke kanan. Ku dapati seseorang tak aneh di mata. Ku coba menelusuri ingatan. Ah, Ustadz Putra. Beliau gres saja menuntaskan S3-nya kemarin. Aku masih penasaran, apa yang membuatnya betah hingga 15 tahun di sini. Kucoba menghampirinya.
“Assalamualaikum Ustadz” Kusodorkan tangan kananku untuk menyalami dengan sedikit menundukkan kepala, sebagai hormatku kepadanya.
“Waalaikumsalam, Iya ada apa, Ustadz”
“Ustadz, nama ana Ferdi. Mahasiswa gres yang tiba kemarin”
“Oh, ahlan Ustadz Ferdi. Ada yang bisa saya bantu ?” Tanya Ustadz Putra.
“Susah mau memulai dari mana, namun pada dasarnya saya ga betah di Mesir. Semua hal yang ana ingin capai dan bayangkan, tak pernah sesuai harapan. Hambar. Katanya Mesir penuh dengan ilmu, tapi mana? kotor, jorok, masyarakatnya kasar. Apa ini yang dinamakan Negara Kiblat Ilmu Pengetahuan?” Nada tanyaku tinggi. Tak kusadari, padahal saya sedang berhadapan dengan seorang intelektual yang luar biasa.
“Kamu pernah tersesat?” Beliau bertanya dengan iringan senyum.
“Ya, gres saja, tadi ana tersesat. Dan hilang hp.” Jawabku sambil menawarkan wajah yang murung.
“Kenapa kau bisa kembali? Tanya ia kembali.
“Tak sengaja saya berjumpa dengan orang Mesir yang baik, kemudian dia menawarkan arah pulang.” Jawabku ringkas.
“Itulah dirimu sekarang. Kamu tersesat di jalan yang benar. Tentunya, sebelum kau berangkat dan untuk jalan-jalan, kau sudah putuskan dan siap mendapatkan apapun resiko. Begitu juga kau di sini. Hanya kau belum cinta dengan Mesir. Sangat banyak para pelajar di Indonesia ingin kemari untuk belajar, namun Allah tak menghendaki. Kamu harus bersabar dan tidak banyak mengeluh.
Ketika tersesat tadi, akankah orang menghampirimu untuk menawarkan arah? Tentu tidakkan? Kita disini ialah pencari ilmu. Bukan penunggu ilmu. Carilah, gapailah, dan berusahalah. Mesir ialah daerah yang tepat dengan ilmu. Dia tak salah. hanya kita yang belum menemukan cinta dan keindahan negeri seribu menara ini.”
Aku tersentak. Dengan kalimat-kalimat indah yang keluar dari ekspresi seorang Doktor alumni Al-Azhar tersebut. Aku merasa hina dan terpukul dengan kalimat. “Kita pencari ilmu, bukan penunggu ilmu.” Akhirnya, saya sadar. Aku lah yang salah. Aku hanya terus menerus mengeluh dan tak berusaha.
“Kenapa tersesat di jalan yang benar, Ustadz?” Tanyaku.
“Seperti yang sudah saya katakan. Tentu kau tetapkan untuk berjalan bukan untuk tersesat kan?”
“Iya, ana tetapkan untuk menghilangkan penat dan lelah pikiran,” tukasku.
“Tersesat di jalan yang benar. Sungguh niatmu sangat baik. Apalagi niat kau ke Mesir untuk mencar ilmu kan? menggapai semua coretan impian. Saya yakin kau bisa,” tambahnya.
“Syukran Ustadz. Alfu syukran.” Jawabku, tak ada kata yang sanggup mewakili, kecuali kata “Terimakasih”, seakan kini saya telah menemukan kunci yang selama ini hilang.
“Afwan, ingatlah. Kita akan menjadi pengganti dan penerus orang yang selama ini mengurus dan membimbing kita, baik itu Ustadz, atau siapapun itu. Oleh alasannya itu, jangan pernah berharap diurus lagi. Mulai kini kita akan mengurus dan memimpin diri sendiri. Sebelum mengurus orang lain. Mengurus generasi ke depannya.” Tambahnya sambil berdiri dari duduknya.
“Iya Ustadz. Sekarang ana paham.” Jawabku, mengikutinya bangun. Sepertinya ia ingin beranjak keluar dari Masjid. Aku berulang kali bertasbih dan memuji-Nya. Aku telah dipertemukan dengan seorang yang sangat menginspirasi.
Beliau pamit. Sedangkan saya berdiri dan memfokuskan diri untuk menghadapnya. Shalat dua rakaat ba’diyah Maghrib. Sekaligus puji syukurku. Aku tak menyangka. Tersesat, hilang smartphone, berjumpa dengan orang baik Mesir serta dipertemukan dengan orang yang sangat menginspirasi.
Setelah menunaikan shalat. Dengan sigap, saya melangkahkan kaki keluar Masjid. Aku ingin pulang dan beristirahat di rumah. Menenangkan jiwa. Aku masih belum sanggup mengikhlaskan smartphone-ku yang hilang. Kenapa saya tak mencicipi apa-apa.
Aku tiba dirumah.
“Assalamualaikum.” Memberi salam sunnah untuk di ucapkan. Dan wajib untuk dijawab.
“Waalaikumsalam.” Seseorang menjawab dan keluar dari kamar. Ternyata Rayhan.
“Eh, kemana aja? Tuh orang bau tanah anta nelpon, ana gak berani ngangkat.” Timpalnya.
“Eh, smartphone-ku sama anta? kok bisa?” saya heran, tapi saya juga merasa senang.
“Lah, kan anta nitip tas tadi. Waktu saya pulang dari masjid, gimana sih?”
“Oh, iya, aduh saya lupa.” Kujawab penuh penyesalan sekaligus menampar wajah, tak disengaja. Diriku juga merasa bersalah. Telah menuduh orang mesir yang mencuri smartphone. Ku ingin menghilangkan penat dengan merebahkan tubuh mungil nan kusut sesudah mengalami beberapa peristiwa. Aku kembali mengingat-ingat pesan yang tersirat hari ini. semua terjawab dengan insiden yang dialami. Merasa di sini tak ada ilmu! terjawab dengan perjalanan tersesat dan bertemu seorang Doktor. Firasat mengira orang mesir bergairah dan suka mencuri, teratasi sudah.
Ah, saya semakin bersemangat. Aku akan kembali mengatur dan berusaha serta tak gampang mengeluh. Aku harus mencari dan mewujudkan impian. Sekarang, saya akan merencanakan kehidupanku lima tahun ke depan. Dan saya tak mau diurus, saya sudah dewasa. Semua yang diinginkan tak akan tiba dengan sendirinya. Namun, butuh perjuangan berpengaruh untuk mengambil dan membuat sejarah dalam kehidupan. []
*Penulis merupakan mahasiswa Daurah Lughah Universitas Al-Azhar.
Baca juga Cerpen : Shubuh Amat dan Pintaku di Atas Jabal Musa
Baca juga Cerpen : Shubuh Amat dan Pintaku di Atas Jabal Musa