Muhammad Saw. yakni nabi terakhir. Hal itu diimani muslim berdasarkan tuntunan agama yang tak terbantahkan. Rasulullah Saw. bersabda, “Pemisalan antara saya dan nabi-nabi yang tiba sebelum diriku yakni bagaikan seorang pria yang membangun bangunan, kemudian menghias dan menciptakan bangunan itu indah sempurna, kecuali (ia tinggalkan) sebuah lubang daerah sepotong watu bata di salah satu sudutnya. Orang-orang melihat sekeliling bangunan itu dan merasa takjub sampai-sampai (ketika melihat lubang itu) mereka berkata, ‘Duhai, mengapa lubang kecil itu tidak ditutup saja dengan sepotong watu bata?’ Maka, saya yakni watu bata terakhir itu, dan saya yakni nabi yang terakhir.” (Mutafaq ‘alaih).[1]
Jadi, berdasarkan hadis di atas, dakwah Rasulullah Saw. menguatkan dan menyempurnakan dakwah para nabi sebelumnya.
Hal ini sanggup lebih diperjelas lantaran dakwah semua nabi selalu dibangun di atas dua fondasi utama, yaitu:
1. Akidah
2. Syariat dan akhlak.
Dari segi akidah, semua fatwa yang dibawa para nabi, mulai dari Adam as. Sampai Muhammad Saw. yakni sama. Semua mengajarkan keimanan terhadap keesaan Allah, yaitu dengan membersihkan dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya. Selain itu, dogma juga mengajarkan keimanan terhadap malaikat, nabi-nabi, kita-kitab, hari akhir, perhitungan amal, surga-neraka dan qadha qadar-Nya. Jauh sebelum nubuwwah Nabi Muhammad, para nabi telah menyeru kaumnya untuk beriman kepada hal-hal tersebut. Selain membenarkan dakwah nabi yang datng sebelumnya, mereka membawa informasi bangga wacana kedatangan nabi yang akan tiba setelahnya. Para nabi itu diutus kepada kaum masing-masing untuk menjelaskan sebuah hakikat tunggal yang menjadi kiprah mereka biar insan tunduk kepada-Nya. Itulah ketundukan tunggal kepada Allah Swt. Hal ini dijelaskan Allah Swt. dalam firman-nya,
“Dia telah mensyariatkan kau wacana agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu Tegakkanlah agama dan janganlah kau berpecah belah tentangnya…,” (QS Al-Syûrâ [42]: 13).
Sulit dibayangkan bila duduk perkara keimanan yang didakwakan para nabi itu berbeda satu sama lain. Terlebih bila duduk perkara dogma masuk ke dalam ranah informasi dan pengabaran. Sebuah informasi yang diyakini kebenarannya dan berasal dari sumber yang satu tidaklah mungkin berbeda berdasarkan versi pembawa informasi yang satu dengan yang lain.
Jadi, sangat tidak masuk nalar bila ada seorang nabi yang diutus untuk memberikan kabar bahwa Allah Swt. itu termasuk salah satu oknum diantara tiga trinitas. Mahasuci Allah dari hal yang mereka katakan. Setelah itu, datanglah nabi lain yang diutus yang diutus Allah untuk memberikan bahwa Dia Maha Esa, tiada satu sekutu pun bagi-Nya. Selanjutnya, kedua-duanya dibenarkan sebagai utusan Allah Swt.
Begitulah yang menyangkut akidah. Adapun yang berkenaan dengan syariat yang mengatur kehidupan masyarakat dan individu, mungkin saja terdapat perbedaan muatan dan pelaksanaan antara satu nabi dengan nabi yang lain. Hal ini disebabkan, syariat termasuk ranah pelaksanaan, bukan pengabaran. Oleh lantaran itu, ketentuan ibarat yang berkenaan dengan dogma tidak berlaku. Lagi pula, perkembangan zaman dan perbedaan bangsa yang satu dengan lainnya turut memengaruhi perbedaan syariat mereka satu sama lain. Prinsip dasar penetapan syariat yakni untuk kemaslahatan hamba-hamba Allah di dunia dan akhirat. Itulah alasan semua nabi terdahulu hanya diutus kepada kaum mereka masing-masing, bukan untuk seluruh umat manusia. Syariat yang mereka ajarkan tentu berbeda dan miliki cakupan sebatas yang diperlukan kaum itu saja.
Sebagai contoh, nabi Musa as. Diutus Allah Swt. untuk Bani Israil. Syariat yang dibawanya terbilang keras. Sebagian besar didirikan di atas prinsip ketegasan, bukan dispensasi alasannya pada ketika itu, keadaan bani Israil menuntut ditegakkannya syariat yang keras ibarat itu. Akan tetapi, seiring bergulirnya waktu, diutusnya Nabi Isa as. Syariat yang dibawa Nabi Isa as. lebih gampang dan lebih ringan dibandingkan syariat yang dibawa Nabi Musa as.
Berkenaan dengan ini, mari kita lihat firman Allah Swt. yang memuat pernyataan Nabi Isa as. ketika mengembangkan dakwahnya kepada Bani Israil:
وَمُصَدِّقاً لِّماَ بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ, وَلَأُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِيْ حُرِّمَ عَلَيْكُمْ وَجِئْتُكُمْ بِأَيَةٍ مِنْ رَّبِّكُمْۗ فَاتَّقُوْا الَّلهَ وَ أَطِيْعُوْنَ
“Dan sebagai seorang yang membenarkan Taurat yang tiba sebelumku, dan biar saya menhalalkan bagi kau sebagian dari yang telah diharamkan untukmu. Dan saya tiba kepadamu membawa suatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.”[2]
Dalam ayat itu, Nabi Isa as. menjelaskan kepada Bani Israil bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan duduk perkara akidah, dirinya membenarkan dan menegaskan semua yang tercantum di dalam Taurat, bahkan, menjadi penyeru dakwah Taurat yang baru. Akan tetapi, berkenaan dengan duduk perkara syariat dan halal-haram, Nabi Isa as. menyatakan bahwa ia membawa beberapa perubahan berupa keringanan, bahkan peniadaan (naskh) sebagian syariat “keras” yang sebelumnya di bawa Nabi Musa as.
Atas dasar itu, kita mengetahui bahwa misi yang dibawa para rasul itu terdiri dari dogma dan syariat.
Berkenaan dengan akidah, kiprah para rasul sekadar untuk menegaskan dan memperkokoh dogma yang dibawa para rasul sebelumnya. Semua sama, tidak ada perubahan dan perbedaan.
Sementara itu, berkenaan dengan dengan syariat, yang dibawa seorang rasul sanggup menjadi penghapus (nasikh) bagi syariat yang dibawa rasul sebelumnya, mungkin saja melanjutkan syariat yang terdahulu. Hal ini sejalan dengan pernyataan mereka, “Syariat orang-orang sebelum kita yakni syariat kita juga bila tidak ada ketentuan yang berbeda.”
Jadi jelas, tidaklah mungkin ada beberapa agama samawi yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu hanya dalam lingkup syarat yaitu yang tiba belakangan menjadi penghapus (nasikh) bagi yang tiba sebelumnya, hingga diturunkan sebuah syariat pamungkas yang tepat dari Allah Swt. untuk disampaikan kepada umat insan oleh nabi terakhir, Muhammad Saw.
Agama yang benar hanyalah satu adanya. Semua nabi dan rasul diutus Allah untuk sama-sama menyeru kepada agama yang benar itu, yaitu mengajak umat insan untuk berpegang padanya, semenjak zaman Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad Saw. Agama dimaksud yakni Islam.
Untuk membawa agama itu, Allah Swt. telah mengutus Ibrahim, Ismail, dan Ya’qub. Allah Swt. berfirman,”Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri. Sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya ia di alam abadi benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Ketika tuhannya berifrman kepadanya, ‘Tunduk patuhlah! Ibrahim menjawab, ‘Aku tunduk patuh kepada Tuhan Semesta Alam.’ Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata,) ‘Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah menentukan agama ini bagimu. Maka, janganlah kau mati kecuali dalam memeluk agama Islam.”[3]
Selain itu, Allah Swt. juga mengutus Nabi Musa as. kepada Bani Israil untuk memberikan agama itu. Allah Swt. berfirman berkenaan dengan para andal sihir Fir’aun, “Ahli-ahli sihir itu menjawab, “Sesungguhnya kepada Tuhanlah kami kembali. Dan kau tidak menyalahkan kami, melainkan lantaran kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu tiba kepada kami.’ (mereka berdo’a,) ‘Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu.”[4]
Untuk membawanya pula, Allah Swt. mengutus Nabi Isa as. Allah Swt. berfirman, “Maka, tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israil) berkatalah dia, ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?’ Para hawariyyun (sahabat-sahabat setia) menjawab, ‘Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah, bahwa sesungguhnya kami yakni orang-orang yang berserah diri.”[5]
Jika ada yang bertanya, mengapa orang-orang yang mengklaim sebagai pengikut setia Nabi Musa as. kini berpegang pada dogma yang bukan tauhid, ibarat dibawa para nabi dan rasul? Mengapa orang-orang yang mengklaim sebagai pengikut Nabi Isa as. kini berpegang pada dogma yang lain juga?
Menjawab pertanyaan tersebut, Allah Swt. berfirman di dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali setelah tiba pengetahuan kepada mereka, lantaran kedengkian (yang ada) diantara mereka…,”.[6]
Dalam surat Al-Syura, Allah Swt. juga berfirman,”Dia telah mensyariatkan kau wacana agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kau berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik, agama yang kau seru kepada mereka. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah melainkan setelah datangnya pengetahuan kepada mereka lantaran kedengkian antara mereka. Kalau tidaklah lantaran sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) hingga kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang mengguncangkan wacana kitab itu,”.[7]
Jadi, semua nabi dan rasul diutus untuk membawa Islam, satu-satunya agama yang diridhai Allah Swt. Kalangan andal kitab bergotong-royong mengetahui ketunggalan agama ini, sebagaimana mereka juga mengetahui bahwa semua nabi dan rasul diutus untuk saling membenarkan agama yang mereka bawa. Tak ada perselisihan mencolok dalam duduk perkara akidah. Perselisihan itu muncul lantaran mereka bersilang pendapat soal hal-hal yang justru tidak pernah dikatakan nabi mereka disebabkan “karena mereka dengki antara mereka sendiri”. Begitulah sebagaimana ditegaskan oleh Allah Swt.[]
Muhammad Syukran
[1]Hadîts Muttafaq ‘alaih wa Al-Lafdzhu lilmuslim.
[2]QS Ali Imran [3]: 50).
[3]QS Al-Baqarah [2]: 130-133).
[4]QS Al-A’râf [7]: 126-127).
[5]QS Ali Imran [3]: 52).
[6]QS Ali Imran [3]: 19).
[7]QS Al-Syura [42]: 13-14).
Perang Belum Berakhir