Thursday 10 October 2019

Nikah Muda, Masalah Gres Mahasiswa Milenial

Oleh: Farhan Jihadi* 
(Imange: theweddingscoop.com)
Saya duduk bersandar di dinding, terkadang tertawa bersama seratusan anak muda yang duduk menyimak dongeng hidup dan bahan yang disampaikan. Dalam cuaca dingin, dari sebuah ruangan yang menampung sekitar dua ratusan orang, tiga mahasiswa sedang membuatkan dongeng inspiratif dalam talk show bertema "Jomblo yang Inspiratif dan Produktif". Ruangan lantai satu di gedung jalan Ibrahim Naji, Madinat Nasr, malam itu sesak.

Saya bergabung bersama mahasiswa yang ingin melawan janji nikah sebagai sebuah solusi faktual atas setiap problematika anak muda. Namun, apakah program “Jomblo yang Inspiratif dan Produktif” kemudian melarang anak muda untuk menikah di usia muda? Tidak. Acara ini digagas sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam , untuk membuka wawasan dan merubah teladan pikir mahasiswa bahwa kiprah utama mereka dikala ini bukanlah menikah tapi belajar, dan bukannya menginspirasi orang lain untuk menikah di usia muda.

Baca juga: Talk Show Anak Muda Meriahkan Rangkaian HUT KMA ke-45

Masa mahasiswa yaitu masa produktif. Dalam usia ini kita dituntut untuk menjadi pribadi lebih baik, aktif, kreatif, bertanggung jawab, berilmu mengelola emosi dan mulai berpikir cerdas menata masa depan. Masa mahasiswa bukan masa silang sengkarut, yang hanya diliputi rasa galau, memikirkan pangeran atau bidadari masa depan. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, apalagi niat awal mereka menuntut ilmu, bukannya menikah. 

Hal sebaliknya terjadi dalam bulat kehidupan mahasiswa zaman now yang seharusnya fokus dalam dunia pendidikan. Mahasiswa kini malah sibuk menggalau manja dengan status di media umum seputar penghulu, pelaminan dan pertanyaan “kapan nikah?”. Seakan-seakan pertanyaan seputar nikah menjadi momok menakutkan, dianggap musuh bersama bagi seorang musafir ilmu. 

Dalam bus yang bergerak ke program talk show bertema jomlo ini, saya menyempatkan diri mengunggah sebuah status gurauan di Whatshap. 

"Sebelum datang di talk show jomblo inspiratif, saya sarankan untuk beristighfar 99 kali, bershalawat 99 kali, kemudian berdoalah 100 kali dengan menyebut nama orang kau cintai. Lakukan dengan khusyuk dan niat yang ikhlas. Setelah melaksanakan amalan ini dan pulang dari talk show itu, tapi Kamu masih jomlo, maka Kamu memang belum beruntung. Kamu memang ditakdirkan menjadi jomlo. Selamat menyambung hidup dalam kesepian," kataku dalam status. 

Dalam sekian menit, seseorang membalas status tersebut. "Istighfar, bershalawat, dan berdoalah supaya semakin tabah ketika di-bully," yang lain berkomentar "Menikah terus, tunggu apalagi" dengan menambahkan emoji tawa air mata. 

Kerap kali musuh kejam mahasiswa dan orang-orang yang tengah berkonsentrasi di pendidikan yaitu godaan berumah tangga yang dihembuskan oleh orang tak bertanggung jawab dengan bertanya "kok masih jomlo? kapan menikah? orang lain pada menikah tuh?" dan pertanyaan jahiliah lainnya. 

Orang-orang mempersepsikan bahwa menentukan menjadi jomlo dikala kuliah yaitu sebuah aib, sehingga boleh dihina dan direndahkan. Bagi mahasiswa absurd, definisi jomlo kemudian menjelma suatu penyakit yang harus dijauhi dan dibinasakan. Devinisi ini kemudian tersebar bagai penyakit menular, menyerupai kampanye yang menistakan jomlo yang rutin dilakukan kelompok Indonesia Tanpa Pacaran. Bagi akun ini, kesuksesan anak muda berbanding lurus dengan cepatnya ia menikah. Mahasiswa zaman kini seolah-olah dituntut perkara lain selain menuntaskan pendidikan dengan baik dan lancar, yaitu menikah.

Hal berbeda terjadi pada Maudy Ayunda. Ia mengunggah sebuah dilema indah. Aktris dan penyanyi ini sukses membikin publik Indonesia guncang dengan bisa menembus dua universitas terkemuka dunia sekaligus: Harvard dan Stanford University. 

Berbeda dengan Maudy, yang harus kebingungan menentukan kampus mana yang akan dipilih untuk melanjutkan studi S-2, kita malah gelisah memikirkan tanggapan atas pertanyaan "Kapan nikah?" Sungguh sebuah dilema yang sangat pahit. 

Dengan memposting hal itu di Instagram @maudyayunda, wanita yang juga menjadi pencetus pendidikan ini seakan sedang menertawai kegalauan tak penting wacana janji nikah di dunia maya. Bagi mahasiswa menyerupai Maudy, menuntaskan kuliah jauh lebih penting daripada menangis di media umum dengan status-status galau minta jodoh atau mengunggah foto-foto alay dengan wajah dimonyong-monyongin enggak jelas. 

Kita harus berterima kasih kepada Maudy, ia sudah berjuang menginspirasi anak muda, terutama perempuan, dengan menaikkan standar kesuksesan dalam masa pendidikan. Ia bisa membawa dirinya berbahagia dan membahagiakan negara. Maudy Ayunda berhasil menampar pipi Indonesia Tanpa Pacaran, akun kelompok penista jomlo. Di dikala akun ini beranggapan seolah-olah satu-satunya jalan menghindari zina di kalangan anak muda yaitu dengan nikah muda, Maudy malah mengejek mereka dengan cara berguru dan berprestasi. 

Bagi beberapa manusia, Maudy Ayunda bukanlah anak muda berprestasi, sebab tubuhnya tidak berhijab dan jauh dari nilai-nilai islami. Kata mereka, Maudy hanya sukses di dunia, di darul abadi ia belum tentu sesukses itu. Bisa jadi malah Maudy nanti dilemparkan ke neraka terkutuk. Mereka menyarankan Maudy mendaftar di pesantren, bukannya kampus menyerupai Harvard atau Stanford.

Untuk itu, kita pinggirkan dulu ikhtilaf pendapat wacana Maudy ini. Mari sejenak abaikan wanita manis yang tidak menutup aurat dan jauh dari hal-hal islami ini. Bagi muslim garis putih abu-abu menyerupai saya, Maudy tidak bisa menjadi role model anak muda muslim inspiratif. 

Dalam talk show "Jomblo yang Inspiratif dan Produktif" yang kuikuti malam itu, seorang pemateri sempat menyinggung kitab fenomenal, “Al-‘Ulama Al-‘Uzzab Allaziina Atsarul ‘Ilma ‘Ala Zawaj”. Penulis kitab ini mengupas biografi dan kisah-kisah inspiratif para ulama dan cendikiawan muslim yang tidak menikah hingga simpulan hayat. Mereka mengarungi khazanah keislaman, hingga mendahulukan ilmu daripada pernikahan. Ulama-ulama yang menentukan menikahi ilmu, hingga lupa mempersunting seorang wanita shalehah. 

Para ulama yang disinggung dalam kitab ini dengan kecintaan yang luar biasa kepada ilmu pengetahuan, telah rela meninggalkan salah satu fitrah insan dan sunah Rasulullah Saw. kemudian menentukan wafat dengan tetap setia berkhitmat kepada umat dengan mengasihi ilmu hingga ajal menjemput. 

Sebagai mahasiswa yang tengah sibuk belajar, kita tidak perlu galau dan khawatir dengan pertanyaan “Kapan nikah?”. Jika para ulama terdahulu, menyerupai Imam Nawawi misalnya, hanya sibuk memikirkan omongan tetangga bandel dengan pertanyaan itu, kita tidak pernah mengenal Imam Nawawi yang kita kenal kini sebagai salah satu ulama tersohor dalam mazhab Imam Syafii. 

Kita tentu bukan menyerupai ulama-ulama besar dalam kitab itu yang berkhidmat kepada umat hingga lebih mementingkan darul abadi daripada dunia mereka sendiri. Namun, setidaknya kita bisa berkaca pada dongeng mereka yang menimbulkan masa muda sebagai masa penuh inspiratif, dan bahwa nikah bukan satu-satunya jalan kesuksesan, apalagi dikala status kita masih sebagai mahasiswa. 

Saya sangat oke kepada pemateri yang menyebutkan bahwa janji nikah bukanlah ajang perlombaan sehingga harus dilakukan dengan buru-buru. Kita semua punya fase dan pertimbangan sendiri dalam menilai hidup. Jangan hingga sebab godaan berumah tangga yang dihembuskan dengan liar, kita melupakan tujuan penting sebagai mahasiswa yaitu berguru sebaik mungkin. 

Selagi masih muda, terlalu banyak hal positif yang bisa lakukan sebagai mahasiswa, hingga karenanya kita bisa menjawab pertanyaan “kapan nikah?” dengan baik. Untuk sementara kita bisa menjawab dengan berguru dengan tekun atau dengan karya-karya inspiratif menyerupai para ulama dalam kitab “Al-‘Ulama Al-‘Uzzab Allaziina Atsarul ‘Ilma ‘Ala Zawaj” atau mungkin juga menyerupai Maudy Ayunda, itu pun jikalau kita menganggapnya pantas menjadi inspirator. 

Malam itu, 4 Mei 2019, saya mengamati ruangan KMA Mesir dipenuhi seratusan anak muda yang begitu bersemangat mengikuti talk show bertema jomlo inspiratif. Seperti saya, mereka menyimak baik-baik bahan yang disampaikan dengan penuh antusias, kemudian mengajukan pertanyaan menarik dan serius, walau sebagian terlihat malu-malu bertanya. 

Acara ini cukup bermanfaat bagi mahasiswa yang tengah fokus belajar, supaya mereka sanggup memaksimalkan potensi diri dan tidak larut dalam rayuan apa pun yang bisa merusak konsentrasi belajar. Siapa yang akan tahu, mereka yang hadir malam itu akan menjadi anak muda inspiratif yang kemudian dongeng hidup mereka dicatat dalam buku fenomenal, menyerupai kitab “Al-‘Ulama Al-‘Uzzab Allaziina Atsarul ‘Ilma ‘Ala Zawaj”. Siapa tahu kan? 

Mahasiswa zaman dulu, berperang melawan penjajahan menggunakan bambu runcing, sebagian lagi melawan propaganda kolonialis dengan goresan pena dan pemikiran. Di usia muda, mereka mempunyai ghirah dan semangat tinggi untuk berjuang demi agama dan bangsa. Kita ini, jangankan berperang pakai bambu runcing, melihat ajakan nikah mitra satu angkatan saja, sudah cukup bikin galau dan berurai air mata. Sayangnya, terkadang kita tak pernah menangisi nilai ujian yang buruk. Betapa mirisnya kehidupan mahasiswa kita.

Nah, tanpa mengesampingkan kawan-kawan yang sudah menikah, tapi tetap bisa menuntaskan kuliah dengan baik, saya ingin memberikan bahwa ukuran sukses seorang mahasiswa yaitu dikala ia berhasil mengkhatamkan studinya dengan baik dan lancar, bukan pernikahan. 


Walaupun begitu dan cukup jarang terjadi, jikalau siapa pun memang bisa menuntaskan kuliah sempurna waktu plus menikah, itu pun juga sebuah prestasi luar biasa. Namun, dengan aneka macam kondisi dan alasan, selalu saja ada orang-orang kurang beruntung. Kuliah tidak selesai, tidak berprestasi, dan sialnya nikah pun tidak. Sayang sekali. Saya pun takut. Semoga saya dan kita semua, tidak termasuk dalam katagori terakhir ini.[] 

*Mahasiswa Universitas Duwal ‘Arabiyah
banner
Previous Post
Next Post