Friday 1 November 2019

Iskandaria, Saksi Bisu Puncak Peradaban Dunia

Ilustrasi Perpustakaan Iskandaria Lama (Sumber: Crystalinks)


Oleh: Teuku Rizki Maulana Utama*

Sejarah yakni hal yang menarik untuk diungkapkan. Berbagai misteri secara tidak pribadi menuaikan majemuk alur kotroversial yang mestinya kita telaah dan cari kebenarannya.

Terjadinya perang antara ilmu pengetahuan dan mitologi tentu yakni sebuah saksi sejarah dimana berbagai penyelewengan-penyelewengan yang terjadi, akan tetapi hanya sedikit dari sekian banyaknya penyelewengan tersebut yang sanggup diketahui.

Meski perang yang terjadi di antara dua kubu tersebut selalu dimenangkan oleh ilmu, tidak berarti bahwa konfrontasi antara kedua belah pihak tersebut selalu dimenangkan oleh ilmu pengetahuan. Carl Sagan, seorang ilmuwan dan astronom terkenal, menuturkan bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan telah tampil dengan kukuh sekitar tiga kala sebelum masehi di Iskandaria Mesir, sebuah kota yang didirikan oleh Iskandar Agung dari Macedonia. Berkat jiwa terbuka dari Iskandar Agung, kota yang memungut namanya itu segera menjadi sentra ilmu pengetahuan bagi umat manusia.

Kekayaan Iskandaria yang terpenting dan paling mengagumkan ialah perpustakaannya yang penuh dengan buku-buku ilmiah. Dalam perpustakaan itu untuk pertama kalinya umat insan mengumpulkan dengan penuh kesungguhan dan secara sistematis pengetahuan apapun di dunia ini.

Selain itu di Iskandaria tampil banyak ilmuwan yang masyhur. Seperti Hiparchus yang mencoba menciptakan peta konstelasi bintang-bintang dan mengukur tingkat cahaya bintang-bintang. Lalu Euclidus penemu sebetulnya ilmu ukur atau geometri. Kemudian Dionysius yang meneliti organ-organ bunyi insan dan meletakkan teori perihal bahasa. Dan Herophlius jago fisiologi yang menegaskan bahwa organ berfikir insan bukanlah jantung menyerupai yang diyakini dikala itu melainkan otak, dan masih banyak lainnya ahli-ahli ilmu yang muncul pada dikala itu.


Ada pula Hypatia, seorang perempuan jago matematika dan astronomi yang mati terbakar bersama perpustakaan dan segenap isinya berupa buku-buku ilmiah di atas papyrus bertulis tangan sebanyak sekitar setengah juta buah sesudah tujuh kala didirikan.

Peristiwa yang sangat tragis dan ironis. Siapakah dalang di balik semua itu? Tidak lain yakni orang-orang fanatik dari kalangan para penganut agama mitologis. Kalangan kaum Nasrani yang berdasarkan Ibnu Taimiyah mengubah agama al-Masih itu, sehingga penuh dengan cerita atau mitologi yang berwatak tidak ilmiah.

Hypatia lahir pada tahun 370 Masehi pada dikala masyarakat insan pada umumnya menganggap bahwa perempuan tak lebih berharga dari harta benda. Di masa hidupnya Iskandaria sedang di bawah kekuasaan penuh Romawi, dengan sistem perbudakannya yang mengancam kebebasan manusia. Saat itu Gereja Nasrani juga sedang mengkonsolidasi dirinya dan mencoba untuk mengikis habis imbas dan budaya pagan.

Hypatia bangun persis di sentra kekuatan sosial yang hebat itu, dan mulailah ia dituduh yang bukan-bukan. Namun Hypatia tetap bertahan dan tetap mengajar dan menulis, hingga pada tahun 415 M, dalam umur 45 tahun, ia dicegat oleh segerombolan kaum fanatik Nasrani kemudian dibakar bersama perpustakaan agung bersejarah itu.

Sama halnya menyerupai pada tahun 1543, Copernicus menerbitkan makalahnya perihal jagad yang berpusat pada matahari (heliosentris). Melawan pedoman Genesis bahwa jagad raya berpusat pada bumi (geosentris). Lalu muncul Galileo setengah kala kemudian dengan teleskopnya meneguhkan pandapat Copernicus dengan Heliosentrisnya. Dan pada tahun 1616 Galileo dieksekusi lantaran dianggap melawan pedoman yang benar.

Itulah teladan dari ketidakadilan dari menangnya mitologi atas ilmu pengetahuan. Kalau saja perpustakaan Iskandaria tidak menjadi korban fanatisme, maka barangkali Einstein sudah tampil lima kala yang lalu. Atau mungkin malah seorang Einstein tidak pernah ada, alasannya yakni perkembangan ilmu pengetahuan yang menyeluruh sudah terjadi. Dan mungkin saja pada kala kedua puluh Masehi, sedikit saja umat insan yang masih tinggal di bumi, lantaran sebagian besar telah menjelajah dan mengkoloni di bintang-bintang.


Bangunan Perpustakaan Iskandaria Baru, diresmikan April 2002.

Kalau pada tahap kini ini kita gres akan masuk era globalisasi dengan adanya fasilitas transportasi menyerupai pesawat jumbo, maka jikalau seandainya sentra ilmu di Mesir itu tidak dibakar kaum fanatik dan warisan ilmiahnya berkembang terus, kita kini sudah memasuki era antar bintang (instellar era).

Tapi itu hanyalah pengandaian yang sangat spekulatif, dan faktanya pengandaian itu tidak akan pernah terjadi. Perpustakaan Iskandaria telah habis dibakar. Waktu terus berlalu dan generasi telah berganti. Tentunya kita harus bersyukur dari apa yang sudah dibawa dan diwariskan oleh para pendahulu. Dan kini datang masa kita, mewujudkan apa yang telah tertunda.[]


Referensi:
 Islam Doktrin dan Peradaban, Dr. Nurchalish Madjid


*Mahasiswa tingkat I Universitas Al-Azhar, Fakultas Syari'ah wal Qanun.
banner
Previous Post
Next Post