Tuesday, 19 November 2019

Khalid Muddatstsir, Ketua Keluarga Mahasiswa Aceh Mesir 2017-2018

Khalid Muddatstsir
Husein, sentra sejarah Islam klasik kota Kairo. Suara Al-Quran menyeruak dari ruangan sederhana melalui jendela lantai atas sebuah apartemen. Wajah-wajah perjaka dari banyak sekali negara begitu khusyuk melantunkan ayat-ayat cinta tuhan, Al-Quran.




Seorang bertubuh mungil dengan wajah melayu terlihat tengah khusyuk dalam lantunan Al-Quran. Ia sedang menunggu Syekh Abdul Qadir, guru tahsin dan tahfizh Al-Quran. Banyak mahasiwa Al-Azhar terdaftar di daurah tahsin dan tahfizh Syekh asal Djibauti ini, salah satunya Khalid Muddatstsir


Sebentar-sebentar perjaka kecil itu menghentikan bacaan Al-Quran dan melirik ke arah pintu masuk, wajahnya menyerupai menyiratkan rasa bersalah. Dua ahad ia bolos dari daurah tahsin. Khalid sibuk dengan banyak sekali acara di ikatan kekeluargaan asal Aceh. 

“Apa Syekh Abdul Qadir tiba hari ini...?” Ia bertanya pada seseorang disampingnya.

“Datang insya Allah. Mungkin agak telat.”

“Saya ingin minta maaf kerana tidak pernah tiba hampir dua ahad lalu, sekaligus ingin minta izin, mungkin ke depan saya akan jarang masuk daurah tahsin.”

Khalid gres saja dikukuhkan sebagai ketua Keluarga Mahasiswa Aceh Mesir periode 2017-2018. Daurah tahsin yang diikuti bersama Syekh Abdul Qadir hampir selesai, namun nampaknya menjabat ketua Keluarga Mahasiswa Aceh akan sedikit membuatnya final lebih lama.

Syekh Abdul Qadir yang populer cukup tegas. Ia tidak mentolerir siswa yang tidak disiplin dan setengah hati mengikuti daurah. Syekh Abdul Qadir tidak segan-segan mengeluarkan siswa yang melanggar tata tertib daurah. Satu mitra Khalid pernah dikeluarkan.

“Tidak apa-apa, tidak masalah. Yang penting jangan tinggalkan Al-Quran. Datanglah kapan bisa, yang penting jangan berhenti,” pesan Syekh.

Khalid tidak menyangka, Syekh Abdul Qadir memberinya izin. Ia boleh pulang dengan perasaan lega, namun tugasnya sebagai ketua gres Keluarga Mahasiswa Aceh masih di garis start.


***

Desember 2010. Matahari gres saja ditelan kegelapan langit-langit Kairo ketika Khalid menjejakkan langkah pertamanya di sebuah flat kawasan Madinat Nasr. Ia dan rombongan bawah umur gres yang akan melanjutkan kuliah di Al-Azhar di sambut dengan meriah di Meuligoe Keluarga Mahasiswa Aceh. Kenduri makan besar digelar. Khalid tak pernah menyangka, enam tahun lebih sehabis itu ia dipercaya menjadi ketua ikatan mahasiswa Aceh Kairo. 

Saat itu azan magrib gres saja final menggema di seantero kota yang digelari negerinya para nabi itu. Air wudhu’ menyentuh kulitnya. Dingin. Tubuhnya yang kurus itu menggigil. Kota Kairo sedang dalam masa puncak trend dingin. Suhu minus 10 derajat menusuk badan mungil Khalid yang hanya terbiasa dengan iklim tropis menyengat khas wilayah pesisir Indonesia. Ia belum terbiasa.

Khalid hanya anak biasa dari keluarga sederhana. Ia lahir tahun 1991 dari pasangan Bapak Abdullah Abidin dan Ibu Nurmiar. Khalid dididik dalam keluarga islamis. Sejak menamatkan Madrasah Ibtidaiyah Negeri Tungkop, ia melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren Darul Ihsan selama enam tahun. 

Di Darul Ihsan inilah ia mulai menanamkan hasrat untuk kuliah ke Mesir. Khalid ingin mengecap aura ilmu keislaman di negeri Imam Syafi’i hidup dan meninggal dunia. Tahun 2009 ia mengikuti tes masuk Universitas Al-Azhar yang dilaksanakan di Banda Aceh. Saat itu dibuka dua jalur, beasiswa dan non-beasiswa. Khalid menentukan jalur beasiswa. 

Pengumuman keluar. Teman-temannya yang menentukan jalur nonbeasiswa semua lulus seleksi, namun Khalid gagal. 

Ia lantas menentukan mendaftar di kampus Islam terbesar di Aceh, UIN Ar-Raniry. Ia lulus dengan predikat nilai cukup memuaskan di jurusan Bahasa dan Sastra Arab. 

Tekad Khalid untuk sanggup berkuliah di Universitas Al-Azhar Kairo belum sirna. Ia tidak berputus asa. Sambil berguru di UIN Ar-Raniry, ia terus mengasah ilmu agama dan bahasa Arab semoga sanggup secepatnya berkuliah di Al-Azhar.

Setahun kemudian Khalid mengikuti tes lagi. Kali ini tes tidak dibuka di Banda Aceh, tes dilaksanakan di Medan. Orang tuanya mendukung langkah Khalid untuk mengikuti seleksi lagi. Ia eksklusif berangkat ke Medan. Usaha dan doa orang bau tanah membuatnya lulus tahun itu juga.

Cita-citanya berangkat berguru di Universitas tertua di dunia terwujud.

Khalid mendaftar di Fakultas Ushuluddin dan menentukan jurusan Aqidah Filsafat. Kebenciannya pada kelompok radikal, mujassimah dan takfiriyah sudah mengakar di dalam hati. Ia berpendapat, kelompok radikal dan takfiriyah ini muncul sebab kesalahan dalam memahami dalil-dalil agama terkait aqidah dan tauhid. Khalid ingin mendalami aqidah Islam yang benar dengan tujuan menangkal paham radikal yang sangat meresahkan dunia ketika ini.

Selama kuliah di Al-Azhar, Khalid aktif mengikuti pengajian talaqqi khususnya yang berkaitan dengan aqidah dan tauhid. Sebelum begitu aktif di Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA), belajaar di banyak sekali mesjid dan madhiafah tempat talaqqi menjadi rutinitas hari-hari baginya.

Pemuda yang dilahirkan di Aceh Besar itu anak yang berilmu dan berbakat. Ia menjadi murid kesayangan Syekh Ayyub al-Jazairy. Khalid bahkan menerima legalitas eksklusif dari Syekh asal Aljazair itu untuk mengajar kitab Kharidah—kitab tauhid yang menjadi pegangan ahlussunnah wal jamaah— di Keluarga Mahasiswa Aceh. 

“Kamu itu unik! Kuliah di jurusan Aqidah Filsafat, anti takfirisme, tapi doyan musik Barat. Lebih baik Kamu itu mengasihi produk Cina daripada produk Barat,” guyon temannya ketika mendengar bunyi grup band dari negeri Barat menggema di ruangan KMA. Grup menyerupai One Direction dan Cold Play dipaksa menyanyi dengan volume tinggi. Selera musik Khalid tidak mengecewakan tinggi, ia tidak begitu menyukai lagu-lagu lokal.

“Bagiku, musik itu problem selera, selera itu sulit dimengerti. Yang jangan kau menganggapku melaksanakan amalan bid’ah atau kafir,” balas Khalid.

Pemuda langsing yang mengaku tidak menyukai ikan ini aktif hampir di seluruh acara KMA, khususnya berkaitan dengan dunia tulis menulis. Khalid aktif menulis sekaligus menjadi editor di website Kmamesir.com dan buletin el-Asyi. Ia juga menjadi penggalan utama dalam kru KMA TV.

***

Hampir tengah Malam. Sekelompok perjaka terdengar riuh di luar Meuligoe KMA, wajah mereka tampak letih. Khalid, Thaiburrifqi dan pengurus harian KMA gres saja pulang bersilaturrahmi. Silaturrahmi menjadi fokus utama Khalid untuk saat-saat ini. 

“Untuk ketika ini, kita belum punya jadwal besar. Sementara ini, KMA hanya menjalankan jadwal lanjutan Publik Speaking dan kita juga sedang membuka registrasi gres sekolah menulis.” Ujar Khalid ketika ditanya jadwal yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

Khalid dan Badan Pengurus Harian sedang ulet menjalin silaturrahmi ke rumah orang-orang yang dituakan di KMA. Hampir setiap hari sehabis shalat Ashar mereka bergerilya. Ia ingin memperkenalkan pengurus yang baru, sekaligus untuk membina jalinan komunikasi yang baik. 

“Silaturrahmi ini problem rasa. Dan rasa kekeluargaan dan silaturrahmi ini harus benar-benar dijaga. Agar rasa mempunyai KMA sanggup dirasakan semua warga KMA. Nilai kekeluargaanlah yang membedakan KMA dan organisasi lain. KMA harus selalu menyerupai keluarga, ” ungkapnya. 

Khalid menghela nafas panjang. Besok, ia dan pengurus harian masih akan disibukkan dengan kunjungan silaturrahmi. Khalid berjiwa sosial tinggi, ia tidak ingin ada satu rumah pun yang luput. Baginya, ini langkah awal yang mesti dilakukan untuk membangun rasa kekeluargaan dan rasa sosial dalam badan Keluarga Mahasiswa Aceh. Khalid menyebut ini sebagai kunjungan kenegaraan.[]

Farhan Jihadi


banner

Related Posts: