Thursday, 7 November 2019

Mengulas Kode Tauhid Dalam Surat Al-Baqarah (Bagian I)

*Oleh: Khalid Muddatstsir, Lc.

Image:Google
Tauhid merupakan perkara yang sangat urgen bagi kehidupan Muslim. Bagaimana tidak, keselamatan seorang Muslim di alam abadi kelak sangat tergantung kepada keabsahan tauhidnya. Fakta dakwah Sayyidina Muhammad Saw. periode Mekah yang sangat menekankan kepada kepercayaan Islam serta membumikan Laa ilaaha illa Allah menjadi bukti vitalnya tugas tauhid.

Al-Quran sebagai kitab suci ajaran hidup insan dipenuhi dengan ayat-ayat tauhid. Ketika mentadabburi Al-Quran akan didapati ayat-ayat yang mengindikasikan perihal keesaan Allah. Indikator yang mengetuk kebijaksanaan dan hati secara bersamaan yang membuat insan semakin sadar akan keagungan Tuhan Yang Esa dan kelemahan dirinya selaku hamba.

Tak terkecuali Surat Al-Baqarah, surat terpanjang dalam Al-Quran berisi isyarat-isyarat besar lengan berkuasa yang menegaskan perihal ketauhidan. Surat Al-Baqarah yaitu surat Madaniyah yang ayatnya berjumlah 286. Rasulullah Saw. pernah mengabarkan perihal keutamaan surat Al-Baqarah, dia berkata, “Janganlah kau jadikan rumahmu menyerupai kuburan, bahu-membahu setan akan lari jikalau dibacakan surat Al-Baqarah.” (H.R. Muslim)



Penciptaan Semesta

Allah Swt. Berfirman dalam Al-Baqarah ayat 21-22:
“Wahai manusia, sembahlah Tuhan yang membuat kau dan orang-orang sebelum kau semoga kau bertakwa (21). Dialah yang mengakibatkan bumi sebagai hamparan bagimu, dan langit sebagai atapnya. Dan dia menurunkan hujan dari langit, kemudian dia menghasilkan buah-buahan sebagai rezeki bagimu, maka janganlah kau mengakibatkan sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui (22).”

Allah Swt. Memulai ayat di atas dengan menyeru kepada semua insan tanpa terkecuali. Mengajak mereka untuk menyembah-Nya yang membuat segala sesuatu. Juga mengajak mereka untuk tidak menyekutukan-Nya. 

Kenapa demikian? Allahlah yang telah membuat mereka dari ketiadaan. Alah yang mengatur semuanya sehingga kemudian menjadi sebuah formasi insan dari generasi ke generasi. Tidak ada insan yang mengklaim punya andil terhadap penciptaan dirinya sendiri atau insan lainnya. Tidak satu makhlukpun yang mengaku membuat semesta, lantaran yang demikian memang sebuah kemustahilan. Terus kenapa masih ada yang ingkar? Apakah mereka kehilangan kemampuan untuk memaksimalkan fungsi kebijaksanaan mereka? Wal ‘iyazu billah. 

Selanjutnya, jikalau insan tidak menyia-nyiakan potensi kebijaksanaan yang dianugerahi Allah, mereka akan hingga pada kesimpulan bahwa Allah yaitu al-Mubdi’ (Pencipta sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya). Sehingga jikalau dilanjutkan, akan hingga pada titik bahwa Allah itu Esa. Faktanya tidak terbantahkan kecuali mereka yang sudah tertutup mata hati dan tersumbat kebijaksanaan pikirannya. 

Jika insan mau melihat sekelilingnya mereka akan mendapati bumi yang terhampar luas, langit tanpa tiang yang tinggi menjulang. Juga awan yang menumpahkan air secara terukur dan teratur yang mengakibatkan hamparan tanah bumi menjadi subur. Makhluk hidup sanggup mencicipi banyak sekali kenikmatan duniawi dari buah-buahan dan bermacam-macam jenis makanan. 

Sungguh yang demikian tidak mungkin diatur dan dilakukan oleh manusia. Karena jikalau itu yaitu ulah manusia, sudah barang tentu insan lain juga bisa (berpotensi) melakukannya disebabkan adanya persamaan unsur dan komponen yang menyusun mereka. Akal sehat insan akan menafikan seluruh klaim demikian. Seluruh keajaiban semesta kembali ke satu muara, Allah Swt. Sang Pencipta. 

Kekuasaan Mutlak

Allah berfirman dalam Al-Baqarah ayat 107:
“Tidakkah kau tahu bahwa Allah mempunyai kerajaan langit dan bumi? Dan tidak ada bagimu pelindung dan penolong selain Allah.”

Ayat ini menyadarkan insan akan posisinya sebagai hamba. Allah Swt. menegaskan bahwa tidak ada penolong bagi hamba selain-Nya. Semua kekuasaan yaitu milik Allah. Allah yaitu pemilik timur dan barat (Q.S. Al-Baqarah; 115). Kemanapun insan berpaling baik dengan mata maupun dengan hati, maka ia akan mendapat Allah. Allah yang berbeda dengan Makhluk-Nya. Laisa Kamislihi Syai’un.

Adalah sebuah kebodohan mereka yang menuduh bahwa Allah mempunyai anak (Q.S. Al-Baqarah; 116), Maha Suci Allah dari yang mereka sangkakan. Kenyataannya seluruh makhluk yaitu hamba Allah, tunduk kepada keagungan-Nya, patuh lantaran kesempurnaan-Nya, berada di bawah kekuasaan-Nya 

Tuduhan bahwa Tuhan mempunyai keturunan sangat bertolak belakang dengan keabsolutan dan kesucian Zat Allah dari perkara yang tidak layak bagi-Nya Subhanah. Selain juga berbenturan dengan kebijaksanaan sehat. Adalah sebuah keanehan berpikir dikala di satu sisi mengakui-Nya sebagai tuhan, tapi di sisi lain menyamakan Ia dengan makhluk fana yang serba terbatas. Ini yaitu kesesatan yang nyata. 

Bagaimana tidak, anak secara manusiawi membantu dan mengangkat martabat orang tuanya, menjadi penerus gen mereka supaya tidak terputus. Orang bau tanah niscaya membutuhkan kepada si anak di hari bau tanah mereka, di masa uzur mereka. Apakah hal demikian yang akan disandarkan pada Zat Tuhan Yang Agung? Sungguh tidak layak. Allah Swt. lebih andal dari hal tersebut. Itu yaitu sebuah kekurangan yang tidak mungkin dimiliki oleh Zat Allah. 

Al-Iftiqar Alamatu Adh-Dha’fi, membutuhkan kepada sesuatu yaitu tanda kelemahan, begitu kata ulama tauhid. Manusia membutuhkan yang lain lantaran mereka lemah. Makhluk lemah tidak layak jadi tuhan, lantaran Zat Tuhan pastinya Maha Kuasa dan tidak membutuhkan kepada siapapun. 

Nah, Jika demikian, sanggup disimpulkan bahwa Allah tidak mungkin mempunyai anak (Maha Suci Allah dari sangkaan mereka). Karena jikalau itu terjadi, akan menghilangkan marwah ketuhanan-Nya. Berketurunan yaitu ciri makhluk. Sedangkan Allah berbeda dengan makhluk. Sungguh sebuah kemustahilan sangkaan cacat tersebut. Wallahu A’lam.[]

*Alumni Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat Universitas Al-Azhar Mesir. 
banner
Previous Post
Next Post