Monday, 4 November 2019

Saya Masih Berhusnudhan

Oleh: Muhammad Syukran*
dailymail.com

Aku sudah terbiasa berdiri pagi di trend dingin. Keluar dari flat lantai tiga menuju Madhyafah Syekh Ali Jum’ah berselimutkan jaket tebal. Berjalan manis layak pragawati menuju halte kecil di perempatan jalan. Tilawah Ustad Muammar ZA salah satu favorit ketika hati ini sepi dan kosong. Aku sangat ingin menjadi penerusnya, bukannya ingin populer tapi rasa ingin menumbuhkan cinta kepada Allah Swt. dengan melantunkan ayat-Nya sebuah kemuliaan yg tak ternilai. Bukan sedikit mereka yang masuk Islam alasannya ialah bacaan Al-Quran, bahkan Umar yang dulunya berhati serigala menjadi lembut sesudah disiram lewat bacaan Al-Quran.

Bus merah yang ditunggu-tunggu pun datang. Aku masuk dan menyerupai biasa tidak kebagian satu dingklik pun untukku. 

Aku berdiri sambil menggantungkan tangan kanan, terkadang terayun bersama alunan bus yang bergoyang. Bus berhenti di Hay Sadis menunggu penumpang yang sudah usang menunggu. Seorang laki-laki bertubuh kurus menatapku dari jauh kemudian bergegas menyambut pintu bus yang hendak pergi.

Dia menggunakan jaket kulit kecokelatan, berdiri sempurna di hadapanku. Sesekali dia melirik dari sepatu hingga ujung kepala, seakan-akan gres melihat alien. Aku tidak merasa risih, mungkin dia orang kampung yang gres saja tiba di Kairo merasa aneh ketika mendapat pengalaman gres bertemu orang asing. Tapi semakin usang gerak-geriknya mulai aneh, dia mulai mendekat ke arahku. Aku rasa dia ingin mengajakku mengobrol atau semacamnya. Aku ingin menyapanya tapi agak canggung, kemudian saya mengalihkan pandangan darinya.

Di pertigaan penumpang bertambah lagi mengisi kekosongan dalam bus. Pria tadi sudah bersampingan denganku, dia mulai menendang-nendang kakiku. Aku rasa dia hendak bercanda atau bersikap ramah, tapi dari raut wajahnya tak memperlihatkan gejala ramah. Aku mulai tak peduli, tendangan kakinya mulai mengeras. Aku mulai kesal dibuatnya. Aku menoleh ke arahnya, dia mulai melotot alisnya menurun, seketika dia mengambil langkah menuju pintu untuk keluar. Dari kejauhan dia menatapku lagi untuk terakhir kalinya. 

Bus pun melaju hingga pemberhentian final di Mahaththah Darrasah. Semua penumpang turun, saya memasukkan tangan ke dalam saku jaket alasannya ialah kedinginan tanpa sarung tangan yang tertinggal di flat. Ada hal aneh yang sedang terjadi padaku, handphone dalam saku menghilang secara tiba-tiba. Ini bukan hal mistik pikirku, saya kecopetan untuk yang kedua kalinya. Perasaan bimbang mulai menyapa, apa dosa yang kuperbuat kemarin dan hari ini sehingga terjadi hal buruk? Apakah saya lupa bersyukur semalam? Atau rasa syukurku yang terlalu sedikit? Atau mungkin saja ini ujian kenaikan derajat seorang hamba?

Baca juga: Cerpen: Downtown

Aku tidak kecewa atas hilangnya barang berharga, rasa gundah mulai menghantui. Teringat saya belum sempat beramal pagi ini alasannya ialah mengejar dars bersama Syekh Muhanna. Sepanjang jalan menuju Madhyafah pikiran ini mulai kacau, saya ingat laki-laki dalam bus tadi, gelagatnya yang aneh membuatku yakin dia pelakunya. Dalam keadaan menyerupai ini tak ada gunanya mencaci-maki tak ada guna melapor ke polisi tak ada guna menghakimi. Sebuah keajaiban jikalau barang hilang di Mesir bisa ditemukan lagi. 

Abdurrahman sahabat dekatku menghampiri, dia tau saya sedang mengalami kesusahan. 

“Kamu kenapa?”

“Ini, HP-ku hilang.”

“Astaghfirullah, kok bisa?”

“Iya, saya tadi lengah hingga lupa waspada.”

“Sabar ya, bener memang kata orang, semua orang Mesir itu pencuri kecuali ulama-ulama Al-Azhar.”

“Huss, jangan gitu, gak baik loh. Mungkin dia memang sedang butuh uang, siapa tau istrinya sakit atau anaknya butuh ini dan itu sehingga mendorong dia berbuat jahat. Lagian saya sudah tulus kok, hening saja.”

“Jangan aneh gitu dong, jelas-jelas dia yang salah.”

“Ya sudah kita doakan saja semoga dia bertaubat.”

Aku hingga di Madhyafah. Suasana sudah ramai tapi syekh belum datang, tidak menyerupai biasanya. Syekh sangat menghargai waktu, tidak pernah sekalipun dia telat apalagi tidak hadir. Faddhal duduk di samping membuka percakapan.

“Aku tahu kenapa syekh tidak hadir.”

“Kenapa?”

“Beliau ada keperluan lain yang lebih besar dari pengajian kita. Kita cuma orang biasa dari kampung, dia niscaya lebih menentukan bertemu dengan pejabat.”

“Menurutku tidak, mungkin dia sedang ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan. Wajar saja, jikalau dia lebih menentukan keluarga dibanding muridnya. Memang ada mahasiswa yang sudah selesai menuntut ilmu di Al-Azhar mengundang Syekhnya ke Indonesia atau memperlihatkan hadiah atas jasa-jasanya?” Tanyaku.

Sudah waktunya masuk kuliah, saya pun memangkul ransel meninggalkan Madhyafah. Menuju ruangan kuliah yang penuh debu, bubuk yang seiring tiba kemudian pergi. Menyisakan kebencian di hati, kenapa Mesir begitu berdebu? Katanya luar negeri, kok masih kotor. Aku tak melihat sampah berceceran di jalanan dan tak satupun bubuk mengotori dinding-dinding bangunan di Mekah dan Madinah. Selain alasannya ialah daerah suci nan mulia, gunung-gunung di sana senantiasa menjaga kota dari angin yang membawa bedebuan. Mesir sendiri sebuah kota yang subur tapi sayang gunungnya sudah tak sanggup menjaga sendiri angin kencang pasir yang datang.

Duktur Abdurrahman Fahmi tiba membuka pelajaran. Hasbi tiba dari jauh menghampiri, dia sahabat mencar ilmu di Madhyafah.

“Akhi, antum tau tidak kalau Syekh Muhanna sakit.”

Innalilahi, sakit apa beliau?”

“Katanya stamina tubuhnya sangat lemah alasannya ialah kurang istirahat dan sibuk memikirkan pengajian.”

Innalilahi... Aku turut prihatin. Kapan kita bisa mengunjungi beliau?”

“Nanti dulu, kini dia masih dalam perawatan di rumah sakit Thantha. Kita bisa mengunjunginya Minggu depan insyaAllah.” Kami mendoakan dia supaya cepat sembuh.

Kuliah hari ini berakhir hingga azan shalat Ashar berkumandang. Duktur menutup kuliahnya dengan doa dan salam. Semua mahasiswa berhamburan menuju mesjid, ada juga yang mendatangi meja duktur untuk bertanya-tanya. 

“Lihat tuh, mereka pada cari muka sama duktur biar dikenal dan sanggup nilai bagus,” serempet Firdaus. Dia memang mahasiswa yang tidak mengecewakan kritis dengan pendidikan. Aku mengajaknya menuju Mesjid Al-Azhar untuk shalat. 

Aku dan Firdaus bergerak menuju Mahathah Darrasah. Seorang Ibu duduk di pinggir jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Aku mengeluarkan sejumlah uang untuknya kemudian pergi.

“Eh, jangan keseringan kasih uang ke peminta-minta bisa jadi mereka akan malas dan tidak mau bekerja lagi.”

“Tenang saja Firdaus, saya sudah kenal dengan beliau.”

“Nah, kau lebih tau soal itu. Kalau sudah kenal kok masih diberi?”

Begini, saya memperlihatkan itu alasannya ialah saya yakin dia sangat kesusahan. Biasanya dia berdua dengan anak perempuannya, sebulan yang kemudian saya melihat anaknya sudah bisa bersekolah. Aku bukan seorang pahlawan, selaku saudara seiman saya punya tanggung jawab membantu orang lain semampuku.”

“Iya, kau benar.”

Bus 80 Coret lewat di depan kami. Aku dan Firdaus naik, kemudian duduk di dingklik tengah berdua. Sepanjang jalan Aku hanya merenungkan hari yang sungguh melelahkan. Bus berhenti di Awal Sabi', banyak mahasiswi Al-Azhar yang naik. Aku melihat seorang mahasiswi bercadar naik dari pintu depan bus yang tampaknya saya kenal. 

“Fir, kau kenal akhwat yang bercadar hitam itu?”

“Iya, dia Putri Aisyah, Kamu kenal juga?”

“Iya, dia shalehah, baik, sopan, juga pintar. Iya, Kamu suka ya?”

“Siapa yang tidak suka sama Putri?” Sahutku.

“Aku, tidak suka lagi sama dia. Dulu dia menjadi primadona di mata ikhwan, tapi sesudah saya dengar ternyata dia tak tertutup menyerupai cadarnya. Dia terbuka sama semua ikhwan dan saya dengar dia juga pacaran,” jawab Firdaus.

“Wah, kok Kamu tau?”

“Iya, saya tanya sama orang-orang terdekatnya.”

“Begini Fir, jaman sekarang, kan lagi booming generasi hoax. Kok Kamu percaya pribadi tanpa tanya ke orangnya langsung? Siapa tau Kamu dan orang lain salah menilainya.”

“Ini saran saya lah ya, kalau Kamu mau jadiin dia sebagai istri lebih baik jangan, dia sangat terbuka sama orang-orang.”

“Kenapa memangnya? Toh Kamu juga belum dengar pribadi dari dia.”

“Ya sudahlah, kalau kau gak percaya, saya hanya mengingatkan sahabatku supaya tidak kecewa nantinya.”

Pikiranku mulai bergerak memikirkan Putri, tidak mungkin Putri itu pacaran, dia niscaya paham pacaran bukan perbuatan baik. Masa seorang Azhari berpacaran, pantas untuk apa dia menuntut ilmu agama jikalau dibarengi dengan maksiat. Apa sebaiknya Aku bertanya langsung. 

Malam harinya sesudah mengulang hafalan Aku beranikan diri bertanya pribadi pada Putri memalui via WhatsApp.

Assalamualaikum Putri, ini ana Musthafa, kaif haluk?

Waalaikum salam Akhi, alhamdulillah ana sehat.”

“Lagi sibuk gak?”

“Gak juga, ini gres aja dari luar. Ada apa ini, tumben.”

“Mau nanya-nanya boleh gak?”

“Jangan serius amat, tanya aja.”

“Gak tau mau mulai dari mana, ini dibawa santai aja, ana cuma mau tau aja. Dulu ketika pertama kali kenal Putri banyak hal gres yang memotivasi ana dan orang-orang. Di mata orang-orang Putri sangat baik, apa lagi sesudah pakai cadar orang-orang makin salut. Namun, ana dengar warta belakangan ini dari teman-teman katanya Putri pacaran ya?” 

Astaghfirullah, sanggup info dari mana itu? Bisa-bisanya ana kena fitnah, padahal ana udah coba jaga batasan sama ikhwan. Tapi masih aja ada warta gak bagus. Begini Akhi, Ana gak pernah pacaran seumur hidup, baik dari SD, SMP, Sekolah Menengan Atas apa lagi sesudah kuliah di Al-Azhar. Ana paham agama kok, gak mungkin ana seburuk itu. Mungkin ada kesalahpahaman sehingga orang-orang menuduh ana yang bukan-bukan.”

“Oiya… Alhamdulillah alhasil ana gak sempat su'udhon sama Putri. Ana percaya mahasiswi Al-Azhar semuanya baik-baik. Kita tidak pernah meminta sebuah problem datang, terkadang ia muncul dengan sendirinya. Saran ana yang sabar semoga peristiwa alam ini gak berlanjut, dan tetap semangat.” 


Kebesaran hati sangat diharapkan dalam hidup. Terkadang kita meminta pada Allah supaya diberikan kekuatan, tapi Allah memperlihatkan ujian dan problem supaya kita lebih kuat. Bersihkan hati ini dengan terus berhusnuzhan kepada sesama, alasannya ialah tidak semua yang disaksikan mata benar adanya. Kebenaran hanya milik Allah semata, nilai dan predikat insan tidak berarti apa-apa dibanding aturan Allah Swt yang Maha Adil dan Bijaksana.[]

*Penulis ialah mahasiswa Al-Azhar asal Aceh.
banner
Previous Post
Next Post