Monday 23 December 2019

Fikih I’Tikaf (8)

Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al Fikih I’tikaf (8)


Al-Allamah Syaikh Syarafud Din Abun Naja Musa bin Ahmad Al-Hajjaawi rahimahullahdalam kitabnya Zadul Mustaqni’ fi ikhtishar Al-Muqni’ mengatakan,
وَيَلْزَمَانِ بِالنَّذْرِ
“Keduanya itu menjadi wajib sebab nazar”

Penjelasan

Perkataan penulis “Keduanya itu menjadi wajib sebab nadzar” maksudnya adalahi’tikaf dan puasa menjadi wajib bila seseorang bernazar, sedangkan nazar ialah mengharuskan seorang mukallaf untuk melaksanakan sesuatu yang tidak wajib sebab Allah.
Konsekuensi dari keterangan dalam matan
Pernyataan penulis di atas, berkonsekuensi hal-hal sebagai berikut:
  1. Barangsiapa yang bernazar untuk melaksanakan puasa  sehari, maka wajib baginya berpuasa sehari.
  2. Barangsiapa yang bernazar untuk i’tikaf sehari, maka wajib baginya beri’tikaf sehari.
  3. Barangsiapa yang bernazar untuk berpuasa dalam keadaan sedang beri’tikaf, maka wajib baginya melakukannya dengan cara beri’tikaf mulai sebelum terbit fajar hingga terbenam matahari sebab itulah waktu berpuasa, sedangkan isi nazarnya mengharuskan i’tikafnya meliputi waktu puasa.
  4. Barangsiapa yang bernazar untuk beri’tikaf dalam keadaan berpuasa, maka wajib ia melaksanakan nazarnya. Nazar yang keempat ini bagi ulama yang beropini bahwa i’tikaf itu sah walaupun sesaat saja, maka nazar ini sudah dianggap tertunaikan bila i’tikaf dilakukan di siang hari ketika berpuasa walaupun hanya sesaat saja. Namun, pendapat yang terkuat ialah waktu minimal i’tikaf ialah sehari atau semalam.
Dalil  i’tikaf dan puasa  itu menjadi wajib sebab nazar
Jika ada orang yang bertanya, “Apa dalil dari perkataan penulis dalam matan di atas?”
Maka jawablah,
Dalil bahwa i’tikaf dan puasa itu menjadi wajib sebab nazar ialah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من نذر أن يطيع الله فليطعه
Barangsiapa yang bernazar untuk mentaati Allah, maka wajib mentaati Allah (HR. Al-Bukhari:8/177).
Sisi pendalilan:
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang bernadzar untuk melaksanakan ketaatan, biar memenuhi nadzarnya, sedangkan puasa dan i’tikaf ialah ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dan aturan asalnya, sebuah perintah dalam dalil itu bersifat wajib dilakukan, selama tidak ada dalil yang memalingkan dari aturan wajib. Adapun dalam konteks ini tidak terdapat dalil yang memalingkan dari aturan wajib.
Bukankah nadzar itu makruh?
Perlu diingat, bahwa nadzar ialah ibadah, sebab Allah berfirman,
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana” (QS. Al Insan:7)
Dalam ayat ini, Allah memuji orang-orang yang menunaikan nazar. Tidaklah Allah memuji kecuali sebab mereka melaksanakan sesuatu yang dicintai oleh Allah Ta’ala dan setiap yang dicintai oleh-Nya merupakan suatu ibadah.
Nazar itu ada dua, muthlaq dan muqoyyad.
Nazar mutlaq ialah mewajibkan diri untuk melaksanakan ketaatan tanpa syarat. Misalnya, “Saya bernadzar untuk i’tikaf 10 hari sebab Allah,” sedangkan nadzar muqayyad ialah mewajibkan diri untuk melaksanakan ketaatan dengan syarat bila permintaannya dipenuhi oleh Allah. Misalnya, ucapan seseorang, “Saya bernazar akan beri’tikaf sebab Allah bila saya sembuh.”
Nazar yang kedua inilah yang hukumnya makruh.  Nazar ini menyampaikan kebakhilan seseorang dalam melaksanakan ketaatan sebab seseorang yang bernazar muqayyadmensyaratkan keinginannya terpenuhi terlebih dahulu, barulah melaksanakan suatu ketaatan.
Renungan
Hendaknya seseorang mempertimbangkan dengan hati-hati sebelum bernazar dan tidak membiasakan diri bernadzar tanpa perhitungan, walaupun berbentuk mutlak, sebab dikhawatirkan tidak sanggup memenuhi atau ia melaksanakan pelanggaran dalam memenuhinya.
(Bersambung)
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post