Tuesday, 31 December 2019

Ketika Cinta Berdalih

ilustrasi/google image
Oleh : Tamhar el-Isybily*

“Aku tahu nama lengkapnya. Bahkan saya tahu no.Hp-nya! Nomor keramaaat!” Ujar Amin sambil tersenyum lebar.

“Nih, baca keras-keras!” Responku sambil menyodorkan Nokia N70 milikku.

Penuh rasa ingin tahu, Amin segera menyambar benda persegi panjang dari tanganku, kemudian membaca dengan dahi berkerut ”Waalaikum salam. Ya, ni no.Hp saya. Insya Allah saya ikut”. “Ini kan no. Cinta” Ujar Amin dengan muka lesu.

“Hahaha..kamu gres tahu no. Hp-nya, ketinggalan! tuh, tengok, SMS saya dah dibalasnya. Hahaha” Pekikku nyaring. Amin membisu saja, celingukan sambil mencocokkan nomor pengirim dengan no. HP keramat yang dibangga-banggakannya tadi. Setelah itu hampir saja saya tertawa lebih keras melihat muka memelas penuh kekalahan, bila saja tidak terdengar bunyi dari kamar sebelah “Din..., Din... Jangan ribut! Aku nggak sanggup konsentrasi nih” Kata Imran, si perfeksionis rumahku. 

“Ya Bang, sori…sori…” Jawabku pendek.

“Ohya Din. Kemari kamu!” Katanya lagi.

Bergegas saya menuju kamarnya, meninggalkan Amin yang kelihatannya masih belum sanggup mendapatkan kekalahan. 

“Ada apa bang?” Tanyaku selembut mungkin. Sedikit wacana Imran, kini ia tingkat empat Ushuluddin Universitas Al-Azhar. Lelaki yang kuanggap perfeksionis dan masbodoh sama cewek ini, meraih predikat imtiyaz tiga tahun berturut-turut. Di samping itu, ia juga aktif di KMA sebagai sekretaris I. Sebenarnya saya sangat kagum. Hanya saja menurutku hidupnya terlalu formal dan monoton. Kegiatannya hanya itu-itu saja, ke KMA, kuliah, talaqi, latihan bola dan menulis artikel. 

“Daftar nama yang ikut rihlah sudah ada sama kau Din?” Tanya Imran sambil menerusi kegiatannya di atas keyboard. 

“Udah Bang, saya ambilin?”

“Ya, tolong cepat ya. Suruh si Amin juga kesini.”

Kurang dari satu menit kemudian saya dan Amin telah berada di kamar Imran dengan data-data yang diinginkannya.

“Ni bang...ada 42 semuanya, kurang 3 orang lagi.”

Imran membaca data-data tersebut sambil membetulkan letak kacamatanya.

“Cut Nacinta Fonna...cewek yang kalian ributkan tadi ikut juga?”

“Bah...ketahuan bang Imran! Sialan, niscaya gara-gara bunyi Amin yang meringkik kayak keledai tadi. Aku membisu saja. Pasti kena ceramah ni” Batinku. 

“Tajuddin, Amin...rasanya Abang dah terlalu sering nasihatin kalian.” 

“Tuh dah mulai muqaddimah ceramahnya” bisikku dalam hati.

“Kita ini talibul ‘ilm, kiprah kita belajar. Untuk apa ngabisin waktu untuk mikirin yang nggak berguna. Memang betul kini lagi libur ekspresi dominan panas, nggak ada kuliah, tapi daerah talaqi kan banyak, jangan kayak pengangguran gini la…” Aku dan Amin mendengar ceramah yang sudah sering kami dengar selama 2 tahun ini. 

“Ngerti kalian?” Suara penuh kharisma Imran mengejutkanku.

“I..iya bang, ngerti.”Jawabku polos menyerupai anak TK. Sebenarnya akal-akalan polos. 

“Ya sudah, balik ke kamar sekarang. Sebelum tidur jangan lupa baca tasbih fatimah”

“Ya bang.” Jawab kami serentak sembari berlalu meninggalkan Imran yang geleng-geleng kepala.

Sampai di kamar, saya segera duduk menghadap meja belajarku sambil meraih sebuah buku. Ini ia salah satu diktat kuliah yang akan kuhabiskan malam ini. Kutatap lagi sampul buku yang indah itu dengan senyum. 10 LANGKAH MEMIKAT WANITA. Demikian kira-kira goresan pena di sampul yang tidak pernah membosankan mataku. He he, Si Cinta, cewek Aceh kelahiran Malaysia itu niscaya sanggup kupikat. Bukan tanpa alasan, saya yakin sekali akan talenta “kebuayaanku”. Meski sudah banyak yang menjadi mangsa. Tapi kali ini beda, si Cinta memang betul-betul istimewa. Makcek Malaysia ini lebih bagus dari Siti Nurhaliza. 

Tiga bulan yang lalu, Cinta tiba ke Kairo sebagai mahasiswi gres di Al-Azhar. Karena kedua orangtuanya orisinil Aceh, ia menjadi anggota KMA. Sejak orientasi MABA namanya mulai dikenal dan disebut ramai mahasiswa. Cantik, aktif, supel dan tidak sombong. Tapi yang paling menawan ialah senyumannya. Aku pernah melihatnya sekali, dan senyuman itulah yang membuatku harus menggunakan taktik super jitu untuk menakhlukkannya walaupun banyak saingan.

Satu jam kemudian, saya menarik nafas, tersenyum, meraih si N70, kemudian mulai menulis :

Burung pinguin pake sepatu

Lagi ngapain yang di situ?

***

“Hm...awak serius?”Tanya Cinta sungguh-sungguh. Terlihat bola matanya yang bundar semakin bulat. 

“Ya, saya serius. Saya sudah fikir masak-masak. Awak bagi aje nombor talipon mak ayah awak.”

“ Waah, saya nak sangat sangat!” Pekiknya bersemangat, penuh antusiasme. 

Perlahan, saya meraih ponsel setiaku, kemudian bertanya dengan mantap “Berapa nomornya?”

“Wooiii!! Bangun!!” Teriakan Amin mengejutkanku. 

“Berapa nomornya..berapa nomornya! Kamu mimpi menang togel ya?” Cerocos Amin menjemput kesadaranku. Aku membisu saja, masih berusaha melawan kantuk. Sialan Amin, padahal sedikit lagi saya hampir mendapatkan no.HP balon mertuaku. 

“Dah sampe ya Min? Kog busnya nggak jalan?” Tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan. Malu juga bila tertangkap berair mimpi begitu. Pasti saya mengigau tadi.

“Dah sampe apanya! Tu, supirnya kena tilang. Rupanya ia pake rukhsah muzawwarah. SIM palsu. Sudah setengah jam ditahan polisi. Kita disuruh tunggu disini. Dasar orang Mesir! Sebelum berangkat tadi katanya semua beres, surat-surat lengkap semua. Nggak tahunya...bah!” Aku mendengar ocehan Amin sambil menatap keluar jendela bus. Tampak beberapa penerima rihlah duduk di maqha pinggir jalan sambil berdialog.

“Min, turun yuk. Gabung sama kawan-kawan” Ajakku.

“Malas ah, kau turun duluan. Entar saya nyusul” Sahutnya. 

Segera kugerakkan tubuhku menuju pintu sambil celingukan kiri kanan. Ramai kawan-kawan yang sudah turun. Tinggal beberapa orang saja yang kelihatannya lebih suka tinggal di dalam. Kulihat Imran terlelap sambil mendekap sebuah buku. Monoton, lagi-lagi kata itu terlintas di benakku waktu melihat lelaki itu. Sedangkan Cinta, oh..dimana dikau? Kog nggak ada di dalam? Mungkinkah dikau di luar? Dengan mantap segera kulangkahkan kaki ke luar pintu bus mencarinya. Mana tahu nanti jumpa, sanggup melihatnya dan ia tersenyum padaku...ouuhhh, senangnya. 

“Ayo Din, duduk sama kita-kita. Masak wakil panitia rihlah asyik ngorok aja di dalam bus.” Suara Izzat diikuti ketawa kawan-kawan menyambutku. Aku hanya tersenyum dan segera meraih salah satu dingklik di maqha itu. Aku malas meladeni mereka. Yang menari-nari dalam kepalaku hanyalah bayangan Cinta. Mataku liar mencari-carinya diantara beberapa cewek yang duduk di ujung maqha sebelah sana. Tidak ada, kemanakah ia? Kulayangkan pandangan ke segala arah, nihil. Mungkin tadi saya terlepas pandang waktu di dalam bus. 

Kutatap bus bertuliskan spanduk KMA SUMMER TOUR 2010 itu lekat-lekat. Tidak ada yang istimewa, hampir saja kuputuskan untuk balik ke dalam bus. Tiba-tiba pemandangan di belakang maqha ternyata mengubah niatku. Sambil berjalan ke belakang, kembali saya teringat Cut Nacinta Fonna, si burung merak negeri jiran. Aku sangat yakin sanggup mendapatkannya dengan beberapa seni administrasi berikut:

Pertama, modal tampang yang tidak mengecewakan dan talenta alami playboy yang kumiliki. Kedua, saya punya “orang dalam”, Hafiza namanya, mitra sekamarnya Cinta. Ketiga, saya sudah muraja’ah empat kali buku 10 LANGKAH MEMIKAT WANITA. Dan yang terakhir saya punya Izzat. Ohya, Izzat juga mitra serumahku. Seperti Bang Imran, menurutku Izzat juga termasuk makhluk aneh. Nggak tertarik ama perempuan. Mungkin kekurangan hormon testoteron. Cuma “sedikit” berbeda dengan Bang Imran, minat Izzat cuma ada di game, komik dan ngejailin orang. Nah, si Izzat ini pernah sekolah dua tahun di Malaysia. Makanya, saya memanfaatkannya untuk mengajariku beberapa kosakata bahasa Malaysia yang akan kugunakan untuk memikat Cinta. 

Pemandangan didepan membuyarkan lamunanku. Dua makhluk berjilbab duduk sambil komat-kamit mengemukakan sesuatu. Satu diantaranya menyadari kehadiranku dan menoleh kepadaku. Hafiza rupanya. Kalau begitu yang satu lagi niscaya Cinta. Hatiku mulai berdebar tak karuan.

“Assalamualaikum…” Sapaku dengan nada seindah mungkin.

”Waalaikumsalam…” Keduanya menjawab serentak. 

“Eh, ada Tajuddin. Busnya mau jalan ya?” Tanya Hafiza. 

“Enggak tahu, kayaknya belum.” Jawabku polos. Seperti biasa, akal-akalan polos.

“Coba saya cek dulu ya!” sambung Hafiza sambil beringsut meninggalkan kami berdua. Luar biasa, Hafiza memang orang dalam yang sanggup diandalkan! Ini niscaya strateginya untuk meninggalkan kami berdua saja.

“Dah usang awak duduk kat sini?” Tanyaku mengawali pembicaraan sambil mencoba tersenyum semanis madu Yaman. Sesuai muqarrar, halaman 43, langkah 6: REBUT HATINYA DENGAN SENYUMAN.

“Takde lah, gres 20 minit je...”Ya tuhan, bunyi burung merak ini ternyata sebening asfour.

Cinta berkata lagi, kali ini sambil tersenyum ”Kalau awak nak cakap ngan bahasa Aceh, saya boleh paham. Mak ngan Abah kat umah cakap bahasa Aceh.” Hampir saja saya terbuai terbang ke langit ke tujuh melihat senyuman legendaris itu. Untung saya teringat halaman 70, JENIS LAKI-LAKI YANG DISUKAI WANITA, no. 2: Wanita kagum pada lelaki yang sanggup mengusai diri. 

“Tak ape-ape, saye bise cakap Malaysie, mitra saye ramai budak Malaysie. Bahkan saye pernah chatting dengan anak menteri semak beluke Malaysie. Waktu itu die cakap gres pulang dengan maknye dari rumah sakit korban lelaki .” Jawabku mantap. Kutekankan karakter “e” di setiap final kata semoga tampak lebih terlihat Malaysia-nya. Aku yakin niscaya Cinta terkagum-kagum dengan kefasihan bahasa Malaysiaku. Terima kasih Izzat, terima kasih! Kulihat Cinta menyerupai ingin tertawa, niscaya itu tawa kekaguman. 

Selanjutnya halaman 20, langkah 3: TUNJUKKAN BAHWA ANDA PENUH PERHATIAN.

“Pasti Cinte, eh..Cinta, anak pertame kan?” Tanyaku diplomatis.

”Macam mana awak boleh tau?”

“Kan name awak ade Fonna-nya, artinye dalam bahase Aceh: yang pertame ade.” 

“Ooo..macam tu ke..Hmm, Fiza mana ya, apasal lambat sangat?” 

“Mungkin die pergi ke bilik termangu .”Jawabku. 

Terlihat Cinta akan tertawa kagum lagi bila saja saya tidak mulai berkhotbah “Saya cukup geram dengan polis. Gare-gare mereke perjalanan kite dah tertunde satu jam”

Langkah 2, halaman 15 : TUNJUKKAN BAHWA ANDA BERWAWASAN LUAS. Yes, kebetulan kemarin gres saja saya membaca artikel wacana kriminalitas. Seorang anggota polisi terlibat. “Polis, seharusnya menjadi pelindung masyarakat. Sangat disayangkan, di kala kini ini polis malah menjadi persoalan bagi masyarakat. Polis yang menahan bus kite niscaya kerane cume mau uang.” Kataku lagi.

Aku melihat Cinta mengernyitkan dahinya, dan ketika terlihat ia ingin menyampaikan sesuatu..Ups, halaman 71, JENIS LAKI-LAKI YANG DISUKAI WANITA, no. 5: Wanita suka lelaki yang berbuat sesuatu dengan sempurna. Aku belum selesai dengan sempurna, maka kulanjutkan:

“Dunia sogok-menyogok begitu dekat dengan yang namanye polis. Di seluruh dunie, polis same saje. Di Burkina Faso, bila tampak orang buncit, niscaya itu polis. Suka makan sogok dan risywah. Saya paling benci polis. Bahkan dalam beberapa kasus kriminaliti, banyak polis yang terlibat. Misalnya…”

”Hai, kalian berdua! Bus sudah mau jalan tuh!” Teriakan Hafiza mengakhiri khotbahku...

***

Sudah seminggu semenjak pertemuan bersejarah di belakang maqha itu. Menurut teori dari muqarrar, seharusnya saya sudah menjadi orang yang paling gembira kini ini. Tapi, ah..sialan! Aku malah galau memikirkannya, bahkan si burung merak itu tidak mau membalas SMS-ku. Kutelepon berulang kali juga tidak mau diangkat. Kutanya Hafiza, katanya Cinta kini mau konsentrasi belajar, mau menambah hafalan, serta 1001 macam dalih dan alasan yang lain. Oh..sungguh menyusahkan ketika Cinta berdalih. Atau jangan-jangan kosakata bahasa Malaysia dari Izzat...

“Kemari Din!” Suara Imran membuyarkan lamunanku. 

“Tolong kau ketik data-data ini! Komputer Abang bervirus, semua data hilang.” Kata Imran sambil menyodorkan kertas bertuliskan data-data pelajar baru. 

Kuraih kertas itu kemudian menuju ke kamar, duduk menghadap meja komputer. Kubaca sekilas nama-nama pelajar baru, hingga hingga ke sebuah nama yang selama ini mencuri selera makanku. Kubaca dengan cermat, Nama: Cut Nacinta Fonna, Alamat:....dan seterusnya hingga ke Pekerjaan Ayah: Polisi. Mataku terbeliak. HAH!! P-O-L-I-S-I...

***

“Apa ni Din?”Tanya Izzat ketika hendak masuk ke kamarku. Matanya lekat melihat poster di pintu yang gres saja kutempel kemarin. Gambar hati dipalang dan dilingkari warna merah. Mirip poster NO SMOKING di pintu kamar bang Imran, hanya saja posterku gambarnya bukan puntung rokok berasap, tapi gambar hati. Tidak kujawab pertanyaan Izzat. Masih geram rasanya dikerjain olehnya wacana terjemahan bahasa Malaysia bo-ongan itu.

“Wah, tumben kau rajin baca muqarrar” Sambungnya, sebab melihatku khusyuk membaca diktat kuliah. Kali ini betul-betul muqarrar.

“Aku lagi kena penyakit bang Imran” Jawabku datar, tanpa menolehnya.

”Hai, orang kayak kau mau jadi Bang Imran, mana mungkiiin..!”seloroh Izzat setengah tertawa.

Tanpa menggubris ocehannya, kuraih mp3 di samping foto ayah-ibuku kemudian menghidupkan musik yang gres ku-copy dari Bang Imran. Sesaat kemudian bunyi merdu nan syahdu Yasin Brother mengusap telingaku:

Masa muda dilalui hanya sekali

Pergunakan ia semoga kau tidak kesali

Di esok hari

Merasa dicuekin, Izzat salah tingkah. Dengan malas ia berjalan keluar dari kamarku, dan sekali lagi menatap poster di pintu kamar. Ia tersenyum membaca goresan pena di bawah gambar hati : DILARANG JATUH CINTA, INGAT ORANG TUA!

*Penulis ialah mahasiswa pasca sarjana,Fak. Syariah Islamiyah, Univ. Al-Azhar








banner
Previous Post
Next Post