Monday 23 December 2019

Rindu Kuliner Ibu

Foto Ilustrasi
Oleh: Muhammad Daud Farma



Sayup bunyi azan sudah mulai terdengar di seantero Kairo dan sekitarnya, menunjukan shalat akan segera didirikan. Kendaraan lalu-lalang silih berganti melewati jalan depan bangunan-bangunan kelabu bau tanah yang dipenuhi dengan debu-debu. Debu-debu itu kolam pasir yang bersinar di gurun sahara, disinari dengan pantulan mentari yang hendak ditelan bumi. Burung-burung merpati beterbangan di angkasa bagaikan layang-layangan di kala demam isu semi.

Mobil-mobil begitu teratur bagaikan anak catur, menelusuri jalanan yang senja sedikit gelap sebab mentari hendak menyembunyikan senyum hangatnya. Ada juga yang terparkir rapat menyerupai barisan perang yang siap menyerang.

Lampu-lampu jalanan sekarang sudah mulai bersinar, ikut unjuk gigi. Karena ia cemburu dengan lampu kendaraan yang begitu terang mengeluarkan sihirnya. Pohon kurma pun ikut bertasbih, mengagungkan Asma Allah Swt.

Pesona rona merah semangka segar sirna sudah, hanya tersisa kulitnya. Termos besar yang awalnya penuh dengan es buah, hanya menyisakan beberapa bongkah es batu. Ayam panggang dan aromanya yang tadinya bikin ngile, sudah dilahap ludes. Kini hanya tersisa tulang-belulang yang masih dengan angkuhnya berkuasa di piring-piring raksasa bekas hidangan buka bersama.

Jus buah mangga hirau taacuh yang tadinya memancing tenggorokkan kering menahan dahaga, sekarang sudah habis ditenggak, hanya tinggal bekas manisnya. Nasi uduk buatan anak Jawa Timur yang jarang dihidangkan bahkan susah didapatkan, tadi terbungkus dalam plastik yang bagus dan menarik, sekarang hanya tersisa sedikit butiran-butiran kecil di atas lantai.

Pohon yang sulit berbuah di ranah Nusantara itu, yang rasa buahnya manis dan legit melebihi gula, menyerupai buah sawit, sebelumnya eksis menyebarkan senyum dan menyapa aduhai di depan mata, sekarang hanya tersisa biji-bijinya yang keras dan mematahkan gigi untuk memecahkannya.

Setelah menyantap habis hidangan utama yang tersaji sore ini, mereka tampak teler dengan mata sayup liyer-liyer, perut membuncit, dan punggung bersandar ke tembok. Pemandangan yang sangat kontras dengan suasana beberapa menit sebelumnya, ketika mata masih waspada, lisan komat-komit membaca ayat suci Al-Quran, kerongkongan kering menahan dahaga, dan perut melilit menahan lapar. Kini sudah mencicipi betapa nikmatnya hidangan berbuka.

Hari raya Idhul Adha sudah tak usang lagi akan tiba, hanya menunggu beberapa ahad saja. Hewan qurban sudah banyak yang hadir dan disatukan dalam sangkar yang agak besar. Mulai dari unta, lembu atau sapi dan biri-biri. Lembu, sapi dan biri-biri, biasa kita saksikan di Nusantara. Tapi yang namanya unta hanya ada di negeri Arab, termasuk Mesir. Walaupun ada unta di Indonesia, bukan untuk di qurbankan melainkan untuk di pelihara dan ditempatkan di kebun binatang. Pemandangan semacam ini langka sekali di negri kita.

Di Indonesia, daging ialah kuliner mewah. Tak jarang orang hanya makan daging setahun dua kali, ketika Idul Fitri dan Idul Adha. Kecuali bagi orang-orang dengan pendapatan besar, mungkin daging bukanlah hal yang istimewa.

Sejak saya mulai sanggup mencicipi enaknya kuliner Ibu, favoritku ialah sup daging di hari raya Idul Fitri dan Idhul Adha. Tak cuma dagingnya, saya juga memakan sumsum yang ada di dalam tulang–belulang yang ikut karam di dalam kuah. Bukan hanya ibu saja yang memasak sup daging di waktu-waktu tertentu ini, melainkan semua rumah di desaku niscaya memasak sup, sebab masing-masing kepala rumah tangga mendapat satu tumpuk daging. Di dalam tumpukkan itu ada beberapa potong tulang yang ikut dibagikan oleh pembagi.

Sangat berbeda dengan yang saya lihat di Negeri Piramida ini, orang Mesir tidak tau nikmatnya sup tulang. Bukan tidak mau, mungkin mereka tidak tahu bagaimana menciptakan sup yang enak menyerupai yang dimasak oleh ibuku. Tulang unta, tulang sapi dan tulang biri-biri yang gede-gede dan di tulang itu masih ada daging yang menempel, mereka buang begitu saja. Mereka campakkan ke tong sampah, dimakan dan dijilati oleh kucing-kucing lapar.

Orang Arab berpengaruh sekali makan daging. Satu ekor ayam astronot yang warna merah, sanggup mereka habiskan sendiri dalam waktu sekali makan. Sekali lagi, mereka tidak mau makan sumsum yang ada di dalam tulang, mereka membuang tulangnya. Tulang unta saja mereka buang, apalagi tulang ayam?

Jujur, pertama kali melihat pemandangan menyerupai ini, nyesek rasanya deh melihat mereka membuang tulang-belulang itu. Pikiran egoisku pribadi berkata, “Oh betapa gendeng-nya orang ini membuang tulang-belulang begitu saja. Tak tahukah mereka betapa lezatnya makan sup tulang dan sumsum?” Aku berkata dalam hati sambil mengeleng-gelengkan kepala.

Waktu itu juga, saya pribadi teringat Ibu dan masakannya. Andaikan ibu melihat fenomena ini, dia mungkin lebih heran dariku. Sebab dia sangat andal memanfaatkan tulang itu untuk disajikan dan dinikmati. Mungkin ibuku akan berkata, “Mmm toh nae no he ngidah kendin no, kendin capak i kidah tulang-belulang ne, malet kin kadang kendin toh nu taboh ne khasene de ni sop ken? Ala he uwan!”. Yang artinya, (Mmm tak tau lagi lah lihat kalian ini, kalian buang kulihat tulang-belulangnya. Tidaklah kalian tahu betapa nikmat rasanya kalau di jadikan sup? Haduh bapak!).

Setiap kali saya melewati tukang potong daging di penduduk Darrosah-Hussein dan sekitarnya itu, saya ingin sekali menghampiri pemotong dagingnya dan bilang kepadanya, “Paman, daripada tulangnya dibuang, mending berikan padaku saja kenapa? Hitung-hitung jadi sedekah.” Sering sekali kata itu yang muncul di qalbuku untuk mengungkapkannya ke pemotong daging itu. namun setiap kali pula terhalangi dengan kata, “Nanti, apa saya gak dianggap orang asing ya? Memasak tulang?” Hihihi…

Rasa rinduku membara akan kuliner ibu, saya ingin sekali makan sup buatannya, akan tetapi sangat tidak mungkin rasanya kalau harus kembali ke Indonesia hanya ingin makan sup daging. Akhirnya kulaporkan ke abang senior perihal tingkah laris pemotong daging yang tidak enak dipandang oleh mataku. Tentunya abang senior jauh lebih mengerti perihal mereka. Aku pun menyatakan kegundahanku ke salah satu abang senior.

“Bang Jebe, kalak Mesir nde asing kidah da, masak capak i ne tualang-belunng kambing?, padahal let tong daging ne pe leket ni tulang ne e da, edi de seandene kite pido plin bante, khe ne ndak di bang Jebe?” Tanyaku pada abang senior dengan bahasa daerahku Kuta Cane pada abang senior yang sedang asyik menulis puisi-puisinya. Yang artinya kurang lebih, “Bang Jebe, orang Mesir ini asing kulihat, kok mereka buang tulang-belulang kambing? Padahal di tulang itu masih ada dagingnya yang tersisa loh. Itu kalau seandainya kita minta saja untuk kita, dikasihnya ndak itu bang Jebe?”

“Owh… Kalak di kin? Kalak di memang gedi di Farhan, malet ngin kalak di masak se tulang ne di. Tapi se de pido niscaya khe ne de, kae malet ngin ne. Capak i ne hamin, tapise de pet kamu pido kae Farhan.” Jawab bang Jebe. Bang Jebe memanggilku Farhan, sedangkan nama panjangku ialah Muhammad Farhan Al-Anshary. (Owhh… Orang itu? Ya mereka memang menyerupai itu Farhan, mereka tidak mau memasaknya. Mereka buang begitu saja, tapi kalau kamu mau minta saja Farhan.).

“Owh gedi kin bang Jebe, de gedi ku pido lah nahan di. Kite tasak i, kite jadiken sop. Yuh khampe taboh ne kalihen khasene. De gedi kusungkun lah me amekku cakhe mahani sop dan kae plin bumbune.” Sahutku kembali. (Owh gitu ya bang Jebe, kalau begitu kuminta lah nanti itu. Kita masak, kita jadikan sup. Wah niscaya enak banget rasanya itu. Kalau gitu, kutanya lah ke Ibuku cara bikin sup dan apa saja bumbunya).

Aku ambil handphone milkku yang sedang di cas. Ponselku harus di charger kalau hendak dipakai. Kalau tidak, satu menit akan mati total dan mati-hidup, mati-hidup. Maklum, baterainya sudah rusak dan gembung alias bengkak. Aku pribadi chat adikku Diana, dan kusuruh ia tanyakan ke ibu bagaimana cara menciptakan sup dan apa saja bumbunya. Serta saya ceritakan juga apa yang terjadi di Mesir perihal penggunaan tulang binatang sembelihan.

“Diana, cube sungkun me amek, tekhe cakhe bahani sop bage side e dan kae plin bumbune?!”. Kalak Mesir nde malet toh ne cakhe ngesopken tulang, capak i ne hamin tulang-tulang lembu, kambing, dan unte. Padahal tong let mbue daging ne nitulang e. Edi me, dakhi pade capak i ne, kami pido pelin bami. Hahaha.”

Kataku pada adikku lewat messenger. (Diana, coba tanya ke Ibu, bagaimana cara menciptakan sup menyerupai dia dan tanyakan apa saja bumbunya?! Orang Mesir ini tak tahu bikin sup tulang, mereka buang begitu saja tulang lembu, kambing dan unta, Padahal masih ada dagingnya di tulang itu. Itu lah, dari pada dibuangnya, kami minta saja untuk kami. Hahaha.).

“We timai be, saya sungkun be me Mae.” (Ya tunggu dulu, kutanya dulu ke Ibu.) Jawabnya. Lalu saya kirim cap jempol yang gede ke adikku Diana, dan menunggu akhir inbox darinya. Tidak usang menunggu, dia pun membalasnya.

“Bahing mentakh, merica, sekhe, lengkuas, bawang mentakh, bawang megakhe secukupne. Bali-bali materi gelatne sekhe khut lengkuas ge, giling halus. Gat buet ken sekhe lengkuas ge due gelat, pipik tule. Pul edi gat tumis ken gat ngketken awas ne ge tule de go gugukh lawe ne. Pul mengket awas ne ge, gat gelat daun sop khut tomat ne, ngketken.”

Isi inbox-nya menyebutkan satu-persatu bumbu-bumbu dan cara meraciknya. (Jahe putih, marica, serai, lengkuas, bawang putih, bawang merah secukupnya. Bikin dengan kepingan yang sama, serai dan lengkuas. Giling halus. Kemudian masukkan serai dan lengkuasnya, kemudian ambil lagi serai dan lengkuasnya dua batang dan ditumbuk lagi. Setelah itu ditumis dan masukkan bumbunya kemudian tunggu hingga mendidih. Setelah masuk bumbunya, kemudian iris daun sop dan tomatnya, gabungkan).

“Tekhe cakhe tumis ken se? Tulang ne ge digan ngket ken?”. Tanyaku kembali. (Bagaimana cara menumiskanya? Tulangnya tadi, kapan dimasukkan?”

“Khut minyak makan ye tumis ken se. Ngketken minyak makan ne, hangatken awas ne ge soh gugukh, si go giling halus ge. Jekhang lebe khut lawe ge tulang e, sikhe i ye.” (Ditumiskan pakai minyak goreng, masukkan minyak gorengnya, panaskan bumbu yang sudah digiling halus tadi. Masak terlebih dahulu tulangnya dengan air hangat yang ditumis, diberi garam”. Jawabnya menjelaskan.

Yuh bue ne pe da bage ne. Hehehe. We te.” (Yah banyak banget macamnya. Hehehe. Oke lah). Jawabku lesu sebab membaca aneka macam macam bumbunya, hingga saya pun pening memikirnya dan bertanya-tanya di hatiku, “Ada gak yah bumbu-bumbu itu di Mesir ini? Mesir kan padang pasir nan gersang?” Hatiku menjerit menanyakan itu.

Cairo, Gamalia.

Jum’at, 21 Agustus 2015




banner
Previous Post
Next Post