Sedangkan untuk mengetahui apakah suatu masalah itu dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala adalah jikalau dalam dalil terdapat:
- Pujian Allah Ta’ala terhadap pelaku suatu perbuatan.
- Kabar ihwal kecintaan atau keridhaan Allah terhadap suatu perbuatan atau pelakunya.
- Perintah Allah terhadap suatu perbuatan.
- Kabar ihwal pahala bagi pelaku suatu perbuatan.
- Larangan mempersembahkan suatu perbuatan kepada selain Allah Ta’ala
- Wajibnya mempersembahkan suatu perbuatan kepada Allah Ta’ala.
Sehingga jikalau masalah tersebut telah terbukti sebagai masalah yang dicintai dan diridhai oleh Allah, maka berarti masalah tersebut yaitu ibadah, alasannya yaitu terpenuhi definisi ibadah.
Catatan:
Bahwa vonis musyrik kafir dalam konteks ini, bukanlah Takfir Mu’ayyan, namun maksudnya adalah Takfir Muthlak.
Takfir Mutlak adalah vonis aturan kafir dalam syari’at Islam untuk suatu ucapan atau perbuatan atau keyakinan (ucapan hati atau perbuatannya2) dan untuk pelaku perkara-perkara tersebut, dalam bentuk umum (tanpa sebut nama orang tertentu). Dengan demikian, berarti Takfir Mutlak itu berkaitan dengan klarifikasi aturan Syar’i yang umum (tanpa sebut nama orang tertentu) ihwal vonis kafir.
Contoh Takfir Mutlak adalah barangsiapa yang meyakini bahwa Allah tidak Esa maka ia kafir atau barangsiapa yang menghina Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia kafir. Ahlus sunnah wal jama’ah pun membedakan antara Takfir Mutlak (Vonis kafir dengan lafaz umum) dan Takfir Mu’ayyan (Vonis kafir terhadap orang tertentu). Perbedaan keduanya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu’ Al-Fatawa (35/165):
فقد يكون الفعل أو المقالة كفراً، ويطلق القول بتكفير من قال تلك المقالة، أو فعل ذلك الفعل، ويقال: من قال كذا، فهو كافر، أو من فعل ذلك، فهو كافر. لكن الشخص المعين الذي قال ذلك القول أو فعل ذلك الفعل لا يحكم بكفره حتى تقوم عليه الحجة التي يكفر تاركها. وهذا الأمر مطرد في نصوص الوعيد عند أهل السنة والجماعة، فلا يشهد على معين من أهل القبلة بأنه من أهل النار، لجواز أن لا يلحقه، لفوات شرط أو لثبوت مانع
“Terkadang suatu perbuatan ataupun ucapan itu yaitu kekafiran dan orang yang mengucapkannya atau orang yang melakukannyapun dikatakan kafir, (seperti) ucapan barangsiapa yang mengucapkan demikian, maka ia kafir atau barangsiapa yang melaksanakan demikian, maka ia kafir. Namun, orang tertentu yang mengucapkan ucapan itu atau melaksanakan perbuatan itu, tidaklah dihukumi kafir sampai tegak hujjah yang menjadikan kekafiran orang yang menelantarkan hujjah tersebut. Ini yaitu masalah yang berlaku dalam dalil-dalil ihwal bahaya berdasarkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Maka tidaklah dipersaksikan seorangpun dari kaum muslimin (Ahlul Kiblah) bahwa ia termasuk penduduk neraka, alasannya yaitu kemungkinan ia memang tidak sanggup digolongkan kedalamnya, dengan alasan tidak adanya suatu syarat ataupun adanya suatu penghalang pengkafiran”3.
___
- Al-‘Ubudiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 4 atau silahkan baca : https://muslim.or.id/27050-hidup-tak-sekedar-hidup-2.html
- Tafsir “keyakinan” berupa “ucapan hati atau perbuatannya” ini, terisyaratkan dari klarifikasi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah saat menjelaskan duduk masalah akidah dalam Majmu’ Fatawa 7/506
- Sumber: http://www.dorar.net/enc/aqadia/3462
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id