Monday, 6 January 2020

Semalam Di Krueng Daroy

 

Oleh: Hendri Julian*
*Mahasiswa Pascasarjana di Institute of Arab Risearch and Studies
Suatu malam menjelang final tahun 1615, ketika bulan purnama masih melemparkan senyuman ke arah langit-langit istana, seorang sultan ditemani permaisurinya sedang memadu kasih di bab belakang Istana Cahaya Keumala yang menghadap Krueng Daroy dalam keraton Darud Dunia. Seakan, heningnya malam dan sepoinya angin, menjadi saksi kemesraan mereka.

Sang Sultan hendak memberikan dengan resmi kepada permaisuri akan niatnya untuk menyerang imperialis Portugis di Melaka, yang berarti ia hendak membebaskan rakyat di semenanjung tanah Melayu dari penjajahan asing.

Memang sengaja sang Sultan merahasiakan tujuan dari pelatihan armada yang sibuk ia siapkan setahun belakangan ini. Ia khawatir nantinya sang Permaisuri akan bingung dengan keadaan dan kesehatan dirinya. Iya takut bila hati pasangannya menjadi gundah gulana tak karuan.

Sultan sendiri mempunyai dua orang permaisuri, satu yang iya nikahi ketika umurnya masih 17 tahun berjulukan Puteri Sani; putri dari Maharaja Lela Daeng Mansur Teungku Chik di Reubee. Dan satunya lagi dinikahi sesaat sesudah menaklukkan kerajaan Pahang yang bersekutu dengan imperialis Portugis.

Dengan tutur kata yang lembut sang Sultan memberikan maksudnya kepada permaisuri yang dulu ia bawa dari kerajaan Pahang.

Bersabda baginda merayu adinda:

“Di mana gerangan ratuku tuan,
Semayam di mana kemala Negara,
Marilah berperi puteri rupawan!”

Tuan puteri menjawab peri:
“Kami di sini daulat mahkota,
Mengapa tuanku memanggil kami,
Gerangan apa salah adinda?”

“Tiada biasa mengajak bicara
Kini begini mengapa gerangan,
Takdir terjadi apa kiranya,
Dipanggil kami puteri buangan?”

 
“Kakanda memanggil adindaku sayang,
Hasrat jiwa memberikan berita:

Andai izin Allah Penyayang,
Akan mara ke Johor Lama.
Kalau takdir umurku panjang,
Akan menyerang Si Ujut celaka”

“Baru kini diajak bicara,
Hina kira Puteri Pahang...” 


Walau sang Permaisuri mendengarkan dengan penuh pandai dan bijaksana, ia tetaplah seorang perempuan, lembut perangai dan lemah jiwanya. Hati Permaisuri tergores, tanpa terasa bulir bening menetes di ujung matanya. Disekanya air mata itu semoga sang Sultan tak melihat.

Dipandangnya sang Sultan yang akan berpisah dalam satu dua hari mendatang. Hatinya meringis, jauh dari orangtua dan sanak saudara, jauh dari kawasan lahirnya, meratapi suaminya alasannya terlambat memusyawarahkan dengan dirinya.

Sang Sultan paham betul akan perasaan Permaisuri. Dijelaskannya bahwa ini yaitu belakang layar perang dan harus ditutup rapat-rapat, lebih-lebih pada masa dilaksanakannya persiapan.

Selain berwawasan luas, bijak memahami perasaan, sang Sultan juga alim dalam banyak sekali cabang ilmu. Dahulunya Ia menerima pendidikan khusus di dalam istana ketika usianya beranjak mukallaf.

Ia mencar ilmu dasar; mengaji, ilmu hisab dan adat-istiadat dari Patih Raja Indra Abdussalam Makhdum Sani Maharaja Jeumpa. Belajar bahasa Arab, Turki, Portugis, Belanda dan Inggris dari Khuja Manaseh (Guru besar dari Turki), mencar ilmu hukum; aturan islam dan aturan internasional dari Hakim Mahmud Hukama Indra, mencar ilmu seni budaya dari Meugat Daila Syah.

Tak sebatas itu, ketangkasan militer dipelajarinya dari banyak sekali fatwa pendekar. Pendekar Saiful Muluk (menguasai senjata tajam), Sida Umar Mansur Khan (menunggang kuda), Tun Khuja Manai (menunggang gajah), serta Laksamana Maharaja Gurah dengan pembantu-pembantunya Kapitan Moer Daver Karwal (Inggris), Kapitan Tjaul (Gujarat), Kapitan Koetji (Malabar) untuk bidang kemiliteran laut.

Sang Permaisuri tetap gundah dan resah. Tapi takzimnya kepada sang Sultan melebihi cintanya kepada dirinya sendiri. Permaisuri tak sekalipun membantah apa yang Sultan titahkan.

"Andai tuanku jadi berangkat,
Tinggalkan di mana puteri yang hina,
Sebelum niscaya kami bertempat,
Tuanku pergi rela tiada.

Di mana kami tuanku tinggalkan,
Kakanda pergi memerangi Melaka,

Ampun tuanku daulat syah alam,
Kupegang tangan lepas tiada.
Bila kami tiada pasti,
Menyesal nanti wahai mahkota.” 


Sang Sultan menjawab dengan penuh wibawa membesarkan hati kekasihnya ini.

"Adik kutitip kepada Allah,
Ke bawah lindungan Maha kuasa,
Kepada Tuhan Puteri terserah,

Sejak kita hidup bersama.
Adik bertakhta dalam istana,
Tuhan Esa pelindung utama." 


Hati sang Permaisuri pun tenang, setenang fatwa sungai Krueng Daroy malam itu. Serasa ingin tumpah, haru dari bulir matanya seakan ingin menyatu ke muara sungai, tapi ditahannya itu semua di depan sang Sultan.

Berkata manja puteri andalan,
Bijak bestari tutur merayu:
"Kalau Allah kawasan menyerah,
Rela tuanku berangkat pergi,

Andai bukan kepada Allah,
Kami tak rela wahai mahkota!
Andai tuanku jadi berjalan,
Izinkan di kuala kami lepaskan...!" 


Sang Sultan hanya tersenyum melihat tingkah kekasihnya ini. Walau impian Permaisuri sangatlah besar untuk mengantarnya hingga ke dermaga. Tak diberikannya izin, takut-takut nantinya Permaisuri tak bisa menahan rasa untuk saling berpisah.

Menjawab haru raja perkasa:
"Janganlah puteri bersusah diri,
Di pintu istana berpisah kita,
Selamat tinggal puteri Jauhari!”*


*Disarikan dari Buku “Iskandar Muda Mekuta Alam” karangan Aly Hasyimi, 1975.
Disadur oleh : H.J. Ibrahim
banner

Related Posts: