Monday, 6 January 2020

Ambuba (Tabung Gas) [Bagian Ii-Tamat]

Oleh: Muhammad Daud Farma
Mahasiswa tingkat 1, Jurusan Lughah 'Arabiyah, Universitas Al-Azhar Mesir.

Aku segera berdiri kemudian ku ambil tabung gas yang kosong kemudian kumasukkan ke dalam koper. Koper milik abang senior, alasannya kopernya mempunyai gagang yang sangat kuat. Lalu kuturunkan tabung gas itu dari rumah kami yang berada di lantai tiga hingga pintu gerbang masuk di bawah. Kututup kembali pintu gerbangnya kemudian saya bergegas pergi dengan sedikit berlari, ku tarik koper yang berisi tabung gas itu.

Sementara di samping kiri-kananku semua mata terbelalak dan tertuju kepadaku, mereka tersenyum, tertawa, heran dan bertanya-tanya. Senyum melihat kelakuanku yang lugu, heran melihat perbuatanku yang ganjil, tertawa atas tingkahku yang mereka anggap konyol dan bertanya-tanya atas sikapku menyerupai orang hendak pulang ke Negeriku Indonesia.

Bahkan dari mereka ada yang bertanya, “Hal satusaafir ilaa balaadik?” (Apakah kau akan pulang ke negaramu?). Dengan bahasa Arab Fushah yang digunakannya, alasannya dia tahu bahwa diriku ini wajah baru.

Aku membuatkan senyum kepadanya dan menjawab “Thab’an Laa!” (Tentu tidak!)

Dia pun resah dengan menggelengkan kepalanya. Aku tidak memedulikan apa yang orang bilang terhadapku. Aku hanya memikirkan tanggung jawabku sebagai kepala rumah tangga hari ini, saya khawatir atas keluarga kecilku ini. Keluarga yang tidak akan bisa makan nasi lagi hari ini jikalau saya tidak mendapat tabung gas yang jadi kebutuhan rumah tangga kami.

Tujuh menit kemudian saya hingga di markas tabung gas. Ternyata benar saya sudah dinantikan oleh abang senior, yang semenjak sepuluh menit kemudian hingga di markas. Aku mendapati betapa banyaknya orang-orang yang sudah mengantre terlebih dulu, antrean yang sangat panjang demi mendapat gas.

Setibanya diriku di markas, mereka yang sedang mengantre mengalihkan pandangannya kepadaku, tersenyum melihat tingkahku yang mereka anggap lucu. Mereka menertawaiku. Aku juga membalas dengan tersenyum manis kepada mereka. Tiba-tiba saja saya teringat bahwa senyum itu yakni sedekah.

Kemudian ku jelaskan kepada mereka dengan bahasa Arab semampuku yang artinya, “Sungguh saya tidak berpengaruh ya Mama, makanya saya membawa tabung ini dengan menggunakan koper.” Dengan mimik wajahku yang tersenyum palsu.

Sebenarnya mereka juga sudah tahu tanpa harus saya jelaskan bahwa kami tidak mempunyai gerobak atau alat dorong. Tempat pembeliannya yang tidak mengecewakan jauh menciptakan diriku tidak kuasa untuk menggendong tabung gas yang seberat itu. Akhirnya rasa kesal di dalam hati, memintaku untuk mengungkapkannya.

Antrean yang sangat panjang membuatku hampir saja frustasi ingin membawa kembali tabung gas ke rumah. Karena sudah satu jam menunggu belum juga datang, sementara kami yang menunggu sudah kewalahan.

Aku kagum dan merasa simpati kepada ibu-ibu itu, walau sempat menciptakan jengkel hatiku. Ibu-ibu yang rela menunggu demi mendapat gas. Demi memasak untuk suami dan anak-anaknya di rumah. Ibu-ibu yang sudah lanjut usia itu juga mengantre. Hatiku bertanya sedikit berbisik bahwa, “Bukankah mereka mempunyai suami dan anak laki-laki?” Lalu kenapa tidak menyuruh suami atau anak laki-lakinya yang antri di sini, kenapa malah ibu ini yang antre?

Sungguh saya kagum dan simpati atas usaha dan keikhlasan ibu-ibu itu. Aku rapuh, batinku menangis, saya teringat dengan ibuku. Sedang apakah ibuku di Indonesia? Sedang bekerjakah beliau? Secara tidak sadar, air mataku menetes di tengah antrean panjang itu.

Baru saja lima menit yang kemudian saya terkagum dan simpati kepada ibu-ibu tadi, sekarang diriku dikejutkan kembali dengan sosok seorang kakek yang sudah tua. Kakek yang berbaring di pinggir dinding mengenakan selimut yang tipis ketika isu terkini hirau taacuh menyerupai ini.

Kelihatannya ia sedang beristirahat dari kelelahannya, tubuhnya menggigil kedinginan dan terbangun alasannya bunyi bising dari orang-orang yang sedang antre. Alangkah malangnya kakek itu. Dia tidak mempunyai daerah tinggal. Jangankan daerah tinggal, mungkin untuk mendapat makan saja sangat susah dan mesti meminta kepada yang mau memberi.

Hari ini diriku diingatkan untuk bersabar dan bersyukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Bersabar alasannya bukan hanya saya saja yang antre untuk mendapat gas. Toh di sana juga ada ibu-ibu yang sudah lanjut usia sangat bersemangat untuk antre. Ibu-ibu yang sudah berkali-kali mengantre untuk mendapat gas, sementara diriku gres kali ini.

Aku bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan kepadaku, alasannya saya bisa tinggal di rumah yang glamor dan hanya tinggal memasak saja jikalau mau makan, itu juga seminggu sekal. Di sana ada seorang kakek renta yang tidak mempunyai rumah ataupun daerah tinggal.

Tiba-tiba saja arah pandangku menoleh seakan ada yang menggerakkan, menoleh ke atas dinding daerah kakek itu beristirahat, kemudian ku baca dengan seksama, “Asshabru miftaahul faraj.” (Sabar yakni kunci kebahagiaan).

Hatiku tersentuh dan terpukul oleh goresan pena itu, saya disadarkan oleh goresan pena itu. Diriku yang tidak sabar, diriku yang kurang bersyukur dan diriku yang memikirkan ego diri sendiri. Hari ini, Allah menyadarkanku dengan tiga hal tersebut.

Satu setengah jam sudah kami menunggu kedatangan yang di tunggu yaitu tabung gas. Akhirnya ia tiba juga dengan truk yang besar. Truk itu dipenuhi dengan tabung gas yang masih penuh. Truk itu pun berhenti sempurna di depan kami. Dengan menawarkan kartu yang sudah diberikan kepada kami lima belas menit sebelum tabung gas datang, kami pun dipersilakan satu persatu untuk mengambil sesuai degan pesanan, saya memesan hanya satu tabung.

Karena jumlah kami tinggal di dalam satu rumah hanya tujuh orang saja, jadi tidak mengecewakan tahan usang walaupun hanya menggunakan satu tabung gas. Selain untuk masak, kami hanya menggunakan gas dua kali sehari yaitu ketika siang dan sore harinya. Kami menggunakan untuk masak nasi dan lauk pauk saja.

Aku dan abang senior segera kami masukkan tabung gas yang sudah berisi, sekarang tabungnya bertambah berat. Maklum, orang kurus menyerupai diriku dan abang senior akan merasa ngilu di punggung jikalau tabung gasnya digendong, alasannya eksklusif kena tulang. Beda dengan yang punggungnya berisi, mungkin tidak terasa apa-apa jikalau digendong.

Kami berdua menyeret tabung gas itu melewati jalan raya. Lagi-lagi mereka yang melihat tersenyum dan tertawa. Kami pun membalas dengan senyuman manis yang Indonesia punya, yaitu senyum Pepsodent.

Sepanjang jalan dari markas tabung gas menuju rumah, mereka tersenyum melihat kami yang membawa tabung gas menggunakan koper. Tujuh menit perjalanan kesannya kami hingga juga di rumah. Hari ini, Allah membukakan hatiku melalui proses membawa Ambuba.

Alhamdulillah, rumah kami sudah mempunyai Ambuba lagi. Keluarga serasi pun berjalan menyerupai biasa. Ingin menjadi keluarga yang hidup harmonis, maka perbanyaklah sabar, alasannya kunci kebahagiaan itu yakni sabar. Dan kuyakin ini yakni sebuah proses menuju kebahagiaan dan keberhasilan. Banyak bersabar dan bersyukur. (Tamat)

Cairo, 28 Februari 2015
banner

Related Posts: