Tuesday, 7 January 2020

Bijaksana Dalam Berdoa

Oleh: Mulyadi M. Nur*

Seorang murid bertanya pada sang guru dalam sebuah majelis:
"Ya Syekh, bukankah doa orang yang terdhalimi itu tidak ada hijab? Kami sering mendengar dalam khutbah-khutbah pada hari jum'at, sebagian khatib mendo'akan kehancuran, mendo'akan kebinasaan, dan mencaci Bashar Assad atau presiden-presiden diktator negara lainnya."

Terlihat dari raut wajah syeikh perasaan kecewa ketika mendengar pertanyaan tersebut dari muridnya, tapi apalah guna seorang guru jikalau bukan untuk membimbing muridnya. Beliau menjawab, "Wahai anak-anakku, biarkan mereka dengan apa yang mereka katakan, kau tidak bisa jikalau hendak mengubah para khatib itu. Tapi ubahlah cara kita menyikapi dan memahami makna hadis Rasulullah bahwa doa orang terdhalimi tidak ada hijab sehingga ketika nantinya kau jadi khatib kau tidak ceroboh dalam berkata dan berucap. Bukankah sebaiknya kita doakan supaya Allah memperlihatkan hidayah-Nya kepada mereka sehingga kediktatorannya dipakai kepada penerapan syariat Allah? Mendoakan supaya sifat keras dan bengisnya dipakai untuk merobohkan setiap benteng musuh islam. Mendoakan supaya sifat tiraninya dipakai untuk mendapat kembali tanah haram kita yang ketiga, Al-Quds. Bijaksanalah dalam bersikap wahai anak-anakku.”

Bukankah ini lebih baik ketimbang kita mencaci dan melaknat diatas mimbar yang dimana disana berdirinya sang pembawa Risalah Ilahi, yang memangku jabatan sebagai utusan Tuhan, memikul beban umat sepanjang zaman, menjadi guru untuk seluruh insan hitam atau putih warna mereka. 

Beliau seorang panglima yang dari lisannya menyadarkan pemilik kekaisaran Romawi bahwa mereka tidak akan berdaya jikalau berhadapan dengannya. Beliau juga seorang pemimpin yang dilindungi bukan sebab takut akan kekejamannya tapi sebab dari pembawaannya yang tenang dihiasi untaian senyum dibibirnya sehingga dicintai oleh para sahabat melebihi kecintaan terhadap diri mereka sendiri. Beliau sang pemimpin yang setiap tetes keringatnya menjadi kasturi umatnya, sang raja yang selalu mengakibatkan yang berpengaruh pelindung bagi lemah dan yang lemah selalu mendapat haknya. Beliau yaitu Muhammad Rasulullah Shallahu alaihi wasallam.

Pernahkah kita dengar dari verbal ia sebuah kata cacian? laknat? Jika tidak, kenapa kita yang diberikan nikmat verbal para Nabi (khatib) menyimpang dari risalah yang ia bawa? Bukankah ia selalu bertutur kata lembut? Kenapa kita menafsirkan hadis Rasulullah bukan menyerupai yang ia inginkan? Bukankah kita para pembawa panji Rasulullah merupakan pewaris dari para sahabatnya? Karena itu ubahlah perilaku sombong kita menjadi penolong dan penabur kedamaian. Setidaknya angkatlah tangan kita dan menengadahlah ke langit dengan rendah diri dengan berkata :
"Ya Allah, berikanlah kepada kami hidayah dan orang-orang yang hidup dengan kami walau berbeda ras dan kulit, berpisah jarak lautan atau daratan, berbeda tingkatan dan derajat, tinggikanlah derajat kami di dunia dan akhirat. Ya Allah, tuntunlah pemimpin kami yang telah engkau berikan kepadanya kerajaan-Mu di bumi kepada kebaikan dan integritas yang tinggi, sebab Engkau memperlihatkan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan mencabutnya dari siapa yang Engkau kehendaki. Janganlah Engkau binasakan kami sebab buruknya budpekerti orang-orang di sekitar kami. Berikanlah hidayah-Mu kepada mereka dan kami. Ya Allah Engkau kuasa atas segalanya. Qudrah-Mu di atas segala qudrah, tidak ada daerah berlindung kecuali dibawah payung-Mu dan payung Nabi-Mu. Jika Engkau tidak melindungi kami sungguh kami berada pada golongan yang merugi. Kepada-Mu kami bertawakal ya Allah Sang Pengasih dan Penyayang di dunia dan akhirat."

Lantas adakah alasan lagi bagi kita kecuali sama-sama bermuhasabah dan berdoa yang baik-baik? Kadang kita merasa benar padahal pada hakikatnya salah. Kemudian ketika mendapat teguran dari orang lain yang kita anggap rendah dan sedikit pengetahuan agamanya, kita enggan untuk bertaubat sebab sombong dan angkuh. Dimana posisi kita jikalau dibandingkan dengan Sayyidina Umar Ibnu Khattab yang setiap waktu selalu menitikkan air mata hanya sebab kekhilafan yang ia lakukan. Padahal khilaf ia sebab ijtihad yang ia lakukan. Jika ijtihadnya salah mendapat satu pahala dan jikalau benar mendapat dua pahala (satu pahala sebab melaksanakan dengan metode yang benar (manhaj islami), dua pahala sebab melengkapinya dengan pedoman Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah).

Cukuplah satu hadis ini untuk menciptakan kita sadar kenapa Islam bisa menaklukkan kekaisaran Roma dan Persia pada masa sahabat Radhiallahu ‘anhum. Sedangkan kita tidak melaksanakan apa-apa kecuali saling menghujat yang tiada akhir. Jangan menyalahkan orang lain tapi salahkan diri kita yang tidak bisa melaksanakan apa-apa disaat musuh agama tiba dari segala penjuru. 

Rasulullah bersabar dan melarang malaikat menghancurkan penduduk Thaif ketika mereka melempari ia dengan batu. Beliau berkata, "Aku berharap semoga Allah memperlihatkan hidayah dan mengakibatkan dari keturunan mereka orang-orang yang selalu mengingat-Nya. Ya Allah tunjukkanlah hidayah kepada kaumku. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui."

Masihkah kita ragu untuk berdoa dengan doa yang baik? Rasulullah mendoakan yang baik-baik kepada penduduk Thaif yang masa itu masih dalam keadaan kafir. Sedangkan yang kita doakan dengan keburukan sekarang adalah saudara kita sesama Muslim. Sungguh Rasulullah tidaklah di utus kecuali untuk menyempurnakan akhlak. Mari kita bijaksana dalam berdoa dan jangan sia-siakan doa kita dengan keburukan. 

Ya Allah hanya ini yang mampu di jangkau oleh budi pikiranku atas perkataan ulama-Mu. Ini yang saya lihat dari pendirian serta keyakinan mereka yang hingga pada pengetahuanku. Bimbinglah kami selalu! Aamiin. Waallahua'lam. 1)

*Penulis yaitu mahasiswa tingkat akhir Fakultas Bahasa Arab, Universitas al Azhar.



1) Inti sari dari perilaku bijak ulama Rabbani Syekh Sa'id Ramadhan Al-Buty dalam menyikapi situasi zaman fitnah. Juga paparan syekh Hisyam kamil supaya selalu mendokan orang dengan kebaikan.
banner

Related Posts: