Friday, 3 January 2020

Tauhid 'Syubhat'; Telaah Kritis Fundamen Wahabiyah


Tgk. Amri Fatmi, MA dan Tgk. Rizky Syahputra, Lc
Salah satu tujuan diturukan Nabi Muhammad Saw. berikut syariah yang dibawakannya ialah untuk menyatukan insan dalam satu dewa dan satu sembahan, yaitu Allah. Namun kenyataannya kemudian, satu sembahan ini tidak serta merta menciptakan umatnya bersatu. 

Seiring perjalanan waktu, semenjak aqidah islamiyah diasaskan pada masa ke-7 Masehi, hingga masa ke-21 kini umat Islam telah terpecahkan dalam puluhan kelompok. Satu sama lain mengklaim dirinya yang benar. Walaupun ke semua kelompok itu masih bertuhan satu, yaitu Allah Swt.

Di antara sekian banyak kelompok yang muncul akhir-akhir ini ialah aliran Wahabiyah. Aliran ini, atau yang juga dikenal dengan Salafiah, menarik untuk dikaji melihat gerakan yang mereka bangkit selama ini sering terjadi benturan di lapangan dengan kolompok Sunni. Terutama bagi mereka panganut Wahabiyah yang ekstrim. Padahal dasar pelaksanaan Syariat Islam kedua kelompok ini sama-sama bersumber pada Al-Quran dan Hadis. 

Kebingungan generasi muslim terhadap benturan dan perselisihan itulah yang menjadi semangat lembaga kajian ilmiah mingguan Zawiyah untuk mendiskusikan lebih jauh perihal gerakan Wahabiyah.

Selasa, 31 Maret 2015 ialah hari yang dipilih oleh Zawiyah untuk mengupas tuntas secara kritis terhadap aliran yang semakin subur dakwahnya akhir-akhir ini. Lewat hasil olah pikir Tgk. Amri Fatmi, Lc., MA. maka dihadirkanlah sebuah makalah yang berjudul Tauhid Syubat; Telaah Kritis Fundamen Wahabiyah.

Sejarah Munculnya Wahabiyah
Aliran Wahabiyah didirikan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab (1115-1206 H/1703-1791 M) di Najd, Saudi Arabia, daerah di mana Syeikh dilahirkan. Nama Wahabiyah dinisbahkan pada nama orang renta pendirinya. Selain Wahabiyah kelompok ini juga dikenal dengan sebutan Salafiyah. Nama kedua ini merujuk pada istilah “salaf” yang dinisbahkan kepada para ulama yang hidup pada tiga masa pertama Islam, atau mereka para sahabt Nabi Saw., Tabi’in, dan Tabi’ tabi’in. 

Namun lalu kata ini dipakai menjadi nama lain bagi pengikut Wahabiyah. Sehingga pengikut Syeikh Muhammad diberi nama dengan Wahabiyah bila dipandang pada nama pelopor dakwah, dan disebut Salafiyah bila dipandang pada misi dakwah yang diajarkan.

Dasar Ajaran Wahabiyah
Wahabiyah bertujuan untuk memurnikan iman tauhid (tajridu at-tauhid), yang menjadi substansi Islam sesudah dikotori oleh tradisi takhayul, khurafat, bid'ah dan aroma kesyirikan paganis. Maka tauhid harus dimurnikan dengan merujuk pada al-Quran dan Sunnah. Karenanya Syeikh Ibnu Abdul Wahab mencoba untuk memahami Islam sebagaimana dipahami oleh para Salaf terdahulu sebagai jaminan orisinalitas. 

Muhammad bin Abdul Wahab mengakui bahwa dakwahnya ialah aliran Ahlussunnah wal Jamaah. Ajarannya ialah ekstensi dari iman murni para Salaf. Dengan melihat realitas muslimin pada masanya, Ia mendapati tauhid telah bersimbah paganisme. Maka penjernihan tauhid ialah titik sentral perjuangan, dalam konsep yang murni menurutnya.

Namun, kenapa Wahabiyah mengambil haluan pembaharuan dari segi akidah? Jawabannya bisa dicari dari kondisi umat Islam dikala itu di Najd, Saudi Arabia, daerah di mana Syeikh dilahirkan. Hussein bin Ghannam dalam Tarikh Najd menuturkan bahwa kesesatan di Najd dikala itu merebak. Kemusyrikan dan "penyembahan" kuburan orang shaleh ialah fenomena biasa. 

Banyak muslimin di sana percaya kalau para aulia yang telah meninggal dan yang masih hidup bisa memperlihatkan manfaat pada mereka atau berkekuatan menolak bala. Banyak yang berdatangan ke kuburan Zaid bin al-Khattab di al-Jubailah untuk maksud tersebut. Mereka—masa itu—juga bernazar dan berdoa kepada para aulia, salah satunya berjulukan Taj.

Selain itu, Ibnu Abdul Wahab dan pengikut setelahnya menolak takwil al-Quran dan Hadis. Ayat-ayat yang berbicara perihal zat Allah dan sifat-Nya harus dipahami secara lahir. Tidak memutarkan makna kata dari pemakaian aslinya.

Lalu Ibnu Abdul Wahab pun mengumumkan perang terhadap kesesatan menyerupai itu yang menurutnya ialah jelmaan paganisme jahiliyah. Ia berpikir bahwa Allah sajalah yang mensyariatkan iman serta berhak mengatur halal haram. Hanya Allah yang berhak disembah dan daerah meminta segala sesuatu. Bukan kuburan orang saleh atau aulia Allah.

Ia menunjukan bahwa umat Islam yang ziarah dan berdoa pada kuburan aulia atau orang saleh sama halnya apa yang dilakukan oleh para kafir Quraisy sebelum Nabi Muhammad memeranginya. 

Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan: Para musyrikin itu (kafir Quraisy) bersaksi bahwa Allah ialah Sang Pencipta, tiada sekutu bagi-Nya, Yang Memberi Rezeki, Menghidupkan, Mematikan, Mengatur. Semua di langit dan bumi yang tujuh berada di bawah aturan dan kekuasaa-Nya. ini sifat terpuji orang musyrikin Quraisy yang digambarkannya. 

Dengannya, terbayang bahwa kafir Quraisy sama dengan orang muslimin. Walau demikian, mereka tetap dieksekusi musyrik dan kafir tidak beriman. Kalaulah keimanan itu ada pada orang mukmin juga – kalau hendak disamakan – maka tidak ada halangan juga kalau dihukumi mereka dengan orang kafir dan musyrikin.

Pantaskah persamaan ini? Kafir Quraisy yang tidak ber-syahadah, tidak beriman dengan hari akhir, surga, neraka, menyembah berhala, berzina, membunuh, memakan riba, disamakan dengan mukminin yang beriman dengan segala itu dan menjauhi perkara yang dilarang? Bukankah sifat keji kafir Quraisy terang membedakan mereka dari orang mukminin? Sejatinya, kita tidak bisa menghukumkan mereka sebagai orang musyrikin sehingga wajib diperangi.

Penyamaan ini pula yang lalu menghalalkan umat Islam non-pengikutnya dibunuh, kuburan-kuburan sahabat yang bersejarah menyerupai makam Saidah Khadijah dihancurkan, dan mengkafirkan orang yang bertawasul di kuburan. Agar misinya ini berjalan mulus Wahabiyah mengambil konsep pembagian tauhid yang dilakukan oleh Ibnu Taimiah; tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah.

Tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah
Tauhid rububiyah mengakui Tuhan sebagai Rabb, yaitu Pencipta dan Pengatur. Sementara tauhid uluhiyah mengimani Tuhan ialah Allah yang wajib disembah. Menurut Wahabiyah bila seseorang mengakui Allah sebagai Pencipta, Pengatur, Pemberi rezeki, dan masih berdoa di kuburan-kuburan orang shalih, maka ia gres bertauhid rububiyah, belum bertuahid uluhiyah. Orang yang demikian dieksekusi sebagai musyrik, yakni syirik uluhiyah. Karena tauhid yang bahwasanya dan tepat ialah tauhid uluhiyah; menyembah Allah.

Dr Umar Abdullah Kamil menjelaskan: Pemisahan/pembagian ini bisa menghalalkan darah muslimin, menuduh mereka dengan syirik, penyembah kuburan. Bahkan mereka yang bersaksi tiada dewa selain Allah, Muhammmad Rasulullah, melakukan rukun Islam, tidak mengingkari perkara prinsipil dalam agama, bisa lebih syirik dan kafir dari pada musyrikin Quraisy. 

Lebih lanjut Dr. Muhammad al-Bahy mengatakan: Maka pemahaman berlebihan semacam ini telah membuka celah perbedaan dengan aliran lain dalam badan muslimin lainnya. Penganutnya menganggap bahwa mereka sajalah yang bertauhid, dan memandang orang lain—yang tidak berlebihan menyerupai mereka—sebagai musyrikin. Sedangkan orang lain melihat mereka sebagai kelompok yang ekstrim dan sempit pandangan dalam memahami dasar Islam.

Adanya pemisahan ini menjadi taktik bagi Wahabiyah untuk mensukseskan misinya menumpaskan bid’ah, kurafat dan bentuk kemusyrikan lainnya. Menggunakan pembagian tauhid ini untuk menghacurkan kesyirikan yang dipahaminya telah mengakibatkan tauhid itu sebagai sesuatu yang syubhat, atau tauhid syubhat. Artinya ada misi terselubung dari pembagian tauhid. Yaitu menjastifikasi apa yang hendak dijalankannya.

Sebenarnya, i’tikad rububiyah dan uluhiyyah tidak bisa dipisahkan. alasannya ialah al-Rabb dan al-Ilah itu ialah pengertian yang satu. Al-Ilah yang benar itu juga merupakan al-Rabb yang benar. Allah Swt. ialah al-Ilah, Ia pula al-Rabb. Maka dengan demikian konsep tauhid al-Quran menyatakan bahwa siapa yang musyrik pada ibadah (uluhiyyah) maka ia musyrik pula pada rububiyyah.Tidak sanggup dipisahkan, jadinya tauhid tidak dibagi.

Wahabiyah boleh dikategorikan dalam gerakan revivalisme Islam. Yang mencoba memurnikan Islam sesudah umat didera stagnasi dan dibaluri kesesatan. Namun metode pemurnian Islam Syeikh Ibnu Abdul Wahab, praktisnya tampak ekstrim dan literalis. Sehingga ada yang menganggap sebagai gerakan fundamentalis. Namun berbeda dengan fundamentalis Barat yang timbul sebagai reaksi anti-modernisme. Karena Wahabiyah timbul sebagai reaksi terhadap tradisi yang dianggap sesat merendahkan agama.

Pemikiran Syeikh Ibnu Abdul Wahab tampak terformulasi untuk mengkritisi tawassul, ziarah kubur, bernazar, menyembelih, sihir dan takwil dalam kepingan iman (ushuliyah) serta bid'ah dalam kepingan furu'iyah. Sehingga pemahaman tauhid serta syirik dirancang untuk kepentingan ini dengan mengadopsi pendapat Imam Ibnu Taimiyah. Dengan Penambahan dan ekspansi interpretasi serta penerapan secara ekstrim. Sehingga ada yang beropini bahwa Wahabiyah itu ialah aliran taqlid semata. Sedangkan problematika modern yang dihadapi umat dikala ini kurang diperhatikan. [asm]

Pemateri: Tgk. Amri Fatmi, Lc., MA.
Moderator: Tgk. Rizki Saputra, Lc.
banner
Previous Post
Next Post