Oleh; Husni Nazir, Lc.
Dahulu kala, hiduplah seorang pria dengan sepetak tanahnya. Tanahnya tersebut ingin diambil alih oleh raja untuk keperluan kerajaan, namun ia menolak.
Penolakannya menciptakan raja marah. Iapun ditangkap dan siksa berhari-hari, ia dipaksa untuk melepaskan hak milik tanahnya tersebut. Namun ia tetap bersikeras tidak mau memperlihatkan tanahnya. Berbagai jenis siksaan dilakukan, sampai-sampai iapun pingsan, sehabis sadar ia kembali disiksa dan begitulah seterusnya. Sampai pada karenanya raja tidak sanggup lagi menyiksanya dan iapun dilepaskan.
Lalu, pada suatu subuh di demam isu dingin, ia pun hendak melaksanakan shalat subuh, namun ia tidak mendapat air hangat yang sanggup dipakai untuknya mandi terlebih dahulu. Karena terpaksa, ia tetap mandi meski dengan air yang sangat dingin.
Kerabat yang melihat kelakuannya menegur dan mencela apa yang dilakukannya, "Kenapa engkau tidak ber-tayamum saja, apa kau mau bunuh diri?"
Iapun berkata, “Sesungguhnya saya aib kepada Allah. Bagaimana saya sanggup bersabar dari siksaan raja demi sepetak tanah, tetapi tidak sanggup bersabar dari dinginnya air ini untuk menunaikan hak Allah.
Ini yaitu sebuah kisah yang diceritakan oleh syeikh Salim Al Yamani saat mensyarah kitab Muqaddimah Al Hadhramiah, sebuah kitab dasar dalam mazhab Syafii. Kisah ini tidak di-nash-kan didalam kitab, namun sengaja dia ceritakan sebagai selingan belajar.
Dalam kesempatan lainnya, saat berbicara ihwal aturan dan syarat-syarat shalat , dia berpesan untuk tidak melaksanakan shalat asal sah saja, akan tetapi hendaklah dilakukan dengan tepat lengkap dengan sunah-sunahnya. Beliau mengatakan, “ Kalau shalat saja kita cukupkan dengan biasa-biasa saja, kemudian amalan apa yang akan kita banggakan dihadapan Allah.”
Lagi-lagi nasehat menyerupai ini tidak disebutkan didalam kitab, tetapi sengaja dia sisipkan untuk membangun ruhiah para murid.
Dalam hal ini penulis teringat akan pesan Syeikh Ramadhan Al Buthi, bahwa berguru ilmu agama tidak sehendaknya dipelajari menyerupai mempelajari ilmu lainnya. Belajar agama bukan hanya mengahafal kaidah dan aturan saja, tetapi harus ditenun dengan nilai-nilai ruhaniah yang mendekatkan hati kepada Allah.
Dalam kesempatan yang terpisah, syekh Buthi menjelaskan alasan pendapatnya tersebut. Beliau mengatakan, bahwa untuk menanamkan agama dalam diri seorang muslim ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama dengan mengajaknya untuk memakai akal, lantaran Islam yaitu agama yang meng-khitab akal. Kedua bagaimana maklumat yang telah diterima oleh logika tersebut sanggup hingga kedalam dada dalam bentuk al khauf (atau mencicipi keagungan islam). Kemudian ketiga, khauf tersebut dengan sendirinya akan menuntun kepada amal.
Menghafal aturan dan kaidah hanya sanggup memuaskan logika saja, tetapi ia sedikit sekali yang sanggup mewarisi al khauf. Disinilah tugas paran para masyaikh dan guru untuk memasukkan al khauf tersebut kedalam hati para muridnya. Tanpanya ilmu yang ada hanya akan terhenti pada batasan kumpulan-kumpulan maklumat saja.
Dari klarifikasi singkat syekh Buthi juga menekankan betapa pentingnya seorang guru dalam menimba ilmu agama.
Syurga penuntut ilmu
Apa yang telah penulis ceritakan ihwal metode syeikh Salim dalam mengajar, ia yaitu metode yang dipakai oleh ulama-ulama Azhar dalam memakmurkan seiap sudut-sudut mesjid Al Azhar. Mereka tidak hanya berdialog dengan akal, tetapi juga berbisik dengan hati. Dengan demikian berguru tidak lagu menjadi beban, akan tetapi ia yaitu kebutuhan jiwa, sebagaimana raga membutuhkan makan dan minum.
Jadi tak heren kalau ada mahasiswa yang telah pulang ke tanah air, jikalau ditanya apa yang paling dirindukan dari mesir, mereka akan menjawab, “ yang paling saya rindukan yaitu satu halaqah saja di mesjid Al Azhar As Syarif.”
Syeikh Amru Wardani, seorang ulama ushul Al Azhar dalam sebuah pengajian bercerita, bahwa ada salah serang ulama Al Azhar selama dua puluh tahun tidak pernah keluar dari mesjid Al Azhar (Al Azhar di masa dulu yaitu mesjid yang juga terdapat asrama untuk para pelajar yang berguru disana). Baginya Al Azhar yaitu menyerupai syurga, keluar dari Al Azhar bagaikan melangkah dari kebun syurga.
Sampai suatu hari dia keluar kemudian berjalan dipasar pinggiran mesjid Al Azhar. Disana dia melihat tumpukan buah-buahan yang berwarna hijau dan berisi merah. Beliaupun bertanya kepada si penjual, “Buah apakah ini?
Sang penjual menjawab, “Bitthikh.”
Dengan impulsif dia menyela, apa kata kamu, bittikh dengan mengakasrahkan baris ba?
Kebiasaan sehari-harinya selama dua puluh tahun yang bergelut dengan kitab-kitab turast membuatnya mempertanyakan baris kata bittikh tersebut.
Begitulah Al Azhar bagi mereka yang betul-betul menyayangi ilmu. Ia yaitu rumah dan kampung halam bagi mereka, bahkan ia yaitu syurga dunia, sebelum mendapat Syurga alam abadi kelak. Insya allah.
Penulis dan kawan-kawan seperjuangan, khususnya penulis yang masih merasa sangat aib untuk menyampaikan diri anak Al Azhar, hanya berharap Allah selalu menjaga Al Azhar dan para ulamanya, lantaran diwajah merekalah kami mengenal Islam yang sebenarnya. Berikut doa dan terimaksih untuk orang renta yang telah menjadi lantaran bagi kami untuk hingga diteras Al Azhar ini.
Amin ya rabbal alamin.