Image by Google |
Oleh : Zahrul Bawady, Lc.
Kita tentu masih teringat bagaimana Sultan Abdul Hamid II menolak penjualan secual tanah Palestina untuk yahudi.
Sebenarnya, mulai dari 1892 yahudi dari Rusia meminta ijin tinggal di wilayah Al Quds tapi ditolak oleh Sultan yang mulai memegang tahta pada umur 34 tahun ini.
Selanjutnya Theodor Herztl Der Judenstaat (Negara yahudi) yang dengan tulisan kecilnya membangkitkan semangat yahudi untuk mendirikan sebuah negara berulang kali merayu Sultan Abdul Hamid II.
Tahun 1896 Ia meminta biar diberi izin untuk mendirikan sebuah gedung saja di Al Quds. Namun Sultan tak bergeming. Sehingga sekumpulan yahudi non Arab (menurut guru kami Syaikh Muhammad Imarah) melaksanakan konferensi Basel pada 29-31 Agustus 1897.
Melihat gelagat yahudi yang semakin gencar dan sistematis,pada tahun 1900 Sultan menerapkan peraturan baru. Di antaranya yahudi tidak boleh berada di tanah Quds lebih dari tiga bulan. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan amaran resmi dari Khalifah bahwa tidak boleh ada yang menjual tanah kepada orang yahudi.
1901 Herztl kembali menemui Sultan. Ia menyerahkan uang ratusan juta poundsterling dan menjanji membantu pendanaan khalifah Islamiah. Herzl juga berjanji untuk mendirikan Universitas di Palestina dan membantu Infrastruktur kekhalifahan dari segi militer.
Lihat bagaimana gigihnya Heztrl masuk. Bagaimana manisnya perlakuan Herztl. Namun sesuai dengan semboyan mereka. Tidak ada nasi siang yang gratis. Di balik upaya yang terlihat baik, marabahaya sedang mengancam Palestina, juga Daulah Islamiah ketika itu.
Sultan tetap gigih mempertahankan kedaulatan Palestina. Menjawab banyak sekali perjuangan Hertzl, kita terkenang dengan ucapan Sultan yang penuh wibawa, "Aku tak kan melepaskan sejengkal tanah Palestina. Tanah ini bukan milikku. Ini yaitu hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka."
Mulai ketika itulah yahudi semakin gencar memakai agresi diplomatis. Dengan kalimat seperti, "liberation, freedom, dan state," sembari menuduh Sultan Abdul Hamid sebagai absolutism dan bertangan besi. Kentara sekali standar ganda ketika ini dipelajari dari teori Herztl.
Akhirnya, pada 27 April 1909, datanglah empat orang utusan ke Kediaman Sultan, di Istana Yildiz. Mereka mengatasnamakan diri sebagai Perwakilan Parlemen Ustamniyah. Tujuan mereka melaksanakan perebutan kekuasaan terhadap Sultan. Perwakilan Parlemen Utsmaniyah itu disusupi oleh Emmanuel Carasso, yahudi berkebangsaan Italia, yang bersama Hertzl pernah ingin membeli tanah Sultan di Sancak Palestina.
10 Februari 1918 Setelah melewati pengasingan di Yunani dan berakhir di Instabul kembali. Sultan Abdul Hamid II mangkat menemui Tuhan-Nya. Ummat menyesal. Mereka tidak menyangka, buaian anggun dari negeri aneh dan keberadaan mereka bertahap di posisi strategis khilafah, nyatanya telah berhasil meruntuhkan Khalifah Islamiah untuk kali yang terakhir.
Perjuangan mereka puluhan tahun sebelum negara israel diakui oleh PBB. Mulai dari ingin membangun satu gedung, membeli sepetak tanah atau memperlihatkan hibah dan pinjaman semisal sebuah Universitas. Mereka tidak pernah menganggap itu sepele. Buktinya, sekarang mereka telah memetik hasilnya.
Saat ini, sesudah untuk kesekian kali Gaza dibombardi. yahudi dengan dukungan Eropa dan forum Internasional melaksanakan genosida terhadap bangsa Palestina yang telah menjadi minoritas baik secara teritorial maupun jumlah penduduk di negara mereka sendiri. Semuanya diam. Palestina benar benar ibarat Yatim Piatu, yang juga kehilangan saudara saudaranya.
Kita harus mengingat. Imperium Barat selalu memasukkan Al Quds (Palestina) sebagai sasaran pendudukan pendudukan, demi menguasai bangsa Arab (Timur). Entah obat apa yang diberi kepada ummat Islam ketika ini, seolah Al Quds tidak lagi mengandung tanah suci yang pantas diperjuangkan.
Secercah impian terus muncul. Maulana Syaikhul Islam Ahmad Thayyib, Syaikh Al Azhar, Mufti Mesir Syaikh Syauqi A'lam, Menteri Agama Mesir Syaikh Mukhtar Jumah atas nama Pemerintah Mesir dan Syaikhul Islam Ali Jumah, Mantan Mufti Mesir. Mereka setuju bahwa tindakan kanibal israel sudah berulang kali diluar batas kemanusiaan.
Dunia harus bergerak. Negara Arab harus bersatu. Perbatasan harus dikembalikan sebelum traktat 1967. Guru-guru kita itu juga setuju merebut israel sebagai perampok.
Sebagai Ulama, mereka telah melaksanakan tugasnya. Kini giliran umara (Pemimpin) yang menyikapi. Tidak hanya negara Arab, tapi seluruh dunia. Jika Shalahuddin Al Ayubi yang bukan keturunan Arab itu berhasil membebaskan Al Quds di kala ke 6 Hijriah. Maka Apa salahnya kita berharap pada Pemimpin Indonesia? Wallahu A'lam.
*Penulis yaitu kandidat master Fakultas Hukum Universitas Liga Arab.