Oleh : Annas Muttaqin*
![]() |
(Sumber gambar : Google) |
Dewasa ini sungguh sangat dewasa. Ya, maksudnya ketika ini zaman sudah sangat berkembang pesat. Berbeda dengan ketika saya masih bocah dulu. Berlari kesana-kemari dan tertawa, dan bila saatnya telah tiba, saya disuruh pulang untuk mandi dan siap-siap mengaji. Berbagai hal kini berkembang cepat, dari segala aspek. Jika terus membisu kita akan tertinggal, namun tidak dengan sebaliknya. Jika melaju cepat kita sanggup hebat. Saat ini pula media menjadi salah satu acuan bahkan senjata ampuh di aneka macam belahan dunia.
Berbicara wacana media memang tiada habisnya. Media terus berkembang mengikuti tuntunan zaman baik dari segi politik, sosial, ekonomi dan lain-lainnya. Ya, saya yakin anda tentu tahu hal tersebut. Media di sini tak hanya bermakna website-website atau media cetak. Youtube, Facebook, Instagram, Twitter, Whatsapp, Line dan perangkat komunikasi lainnya juga termasuk media.
Pengguna media pada hakikatnya mempunyai dua tugas penting. Yang pertama sebagai penyebar dan selanjutnya sebagai penerima. Sebagai penyebar kita tentu harus bertanggung jawab terhadap apa yang kita sebarkan, begitupun sebagai peserta kita mempunyai hak penuh untuk mengolah informasi yang kita dapatkan dan memutuskannya untuk sanggup diterima atau tidak.
Sebagai netizen yang sedikit barbar, saya lebih suka mengibaratkan media dengan sebilah pisau atau benda tajam lainnya. Tentu anda semua paham. Benda tajam apabila dipakai dengan baik dan benar maka akan membuahkan berjuta manfaat bagi kelangsungan hidup makhluk hidup. Begitupun sebaliknya. Media ketika ini pun begitu, baik buruknya teladan pikir, pandangan, bahkan kelakuan sanggup saya katakan sangat kuat pada apa yang dirasakan oleh pancaindra kita, dan tentu salah satu hal yang sering ditangkap pancaindra kita ketika ini ialah informasi baik dari media cetak ataupun media online.
Sebagai sesama pengguna media, di sini saya ingin sedikit berbaik hati kepada pembaca yang budiman, cerdas, serta rajin menabung yang sudah meluangkan waktu membaca goresan pena saya yang satu ini.
Makara rakan-rakan, dalam sebuah halaqah pengajian kami diberikan satu kaidah fundamental yang sanggup diterapkan dalam aneka macam aspek kehidupan, terlebih ketika mengunakan media ketika ini.
"الحكم على شيئ فرع عن تصوره" (hukum terhadap sesuatu tergantung bagaimana kita membuktikan sesuatu itu dalam benak kita) ucap guru saya, disela-sela menjelaskan pengajiannya kitab Kharidah Bahiyah karangang Syekh Ahmad Dardir dua tahun lalu.
Saya hanya mangut-mangut sok-sok paham biar tidak terlalu kelihatan tidak pintarnya. Seiring berjalan waktu saya terus mengingat kaidah tersebut. Pemahaman saya terhadap Bahasa Arab bertambah. Kembali saya teringat kaidah yang pernah guru saya berikan sembari memahaminya, sekaligus membayangkan lisan ia ketika mengucapkannya dan gestur ia yang sesekali rebah ke kiri dan kanan saaat menjelaskan sambil memegang pulpen, dengan semringah senyum yang biasa ia lemparkan di tengah pengajian.
Dan lagi, yang unik dari guru saya tersebut, ia sanggup duduk bersila berjam-jam tanpa mengubah posisi duduk. Pernah pula ketika itu kami memulai pengajian sesudah Ashar dan selesai kurang lebih jam sepuluh malam. Ya, terperinci ketika itu kami mangut-mangut gonta-ganti posisi duduk, sambil sesekali nguap. Namun ia tak sedikitpun mengubah teladan duduknya.
Dan di lain waktu ketika saya sedang mengikuti bimbingan berguru “Qadhaya mu’asharah” wacana permasalahan hukum-hukum modern yang sering terjadi belakangan ini, saya mendapatkan kaidah lain.
"الخلال في التصوريؤدي الي خلال في حكم"
(kekeliruan dalam menggambarkan sesuatu sanggup menjadikan kekeliruan dalam memperlihatkan hukum) ucap guru saya yang mengajar Qadhaya Mu’asharah tersebut.
Saya mencoba menelisik kekerabatan kedua kaedah tersebut, antara :
"الحكم في شيئ فرع عن تصوره"
(hukum terhadap suatu hal tergantung bagaimana kita menggambarkannya dalam benak kita)
"الخلال في التصوريؤدي الي خلال في حكمي"
(kekeliruan dalam menggambarkan sesuatu dalam benak menjadikan kekeliruan dalam memperlihatkan hukum)
Nah, ketika itu juga saya tersadar mengapa ada keadaan di mana sahabat saya tertawa hanya alasannya melihat suatu gambar, dan saya tidak. Begitupun sebaliknya. Ternyata kaidah tersebut merupakan kaidah nalar insan secara umum.
Makna aturan di sini bahwasanya tidak terbatas hanya pada benar dan salah namun, lebih luas. tampan, cantik, tidak tampan, tidak cantik, indah, lucu dan lain-lain merupakan aturan bagi nalar manusia. Contohnya mirip yang saya katakan tadi. Seseorang sanggup tertawa juga sanggup tidak tertawa ketika melihat atau mendengar suatu hal yang sama. Hal tersebut tergantung pada apa yang ia gambarkan dalam benaknya. Seseorang juga sanggup menyampaikan “benar” dan kemudian temannya yang lain menyampaikan “salah” pada hal yang sama juga tergantung dari apa dan bagaimana yang ia gambarkan dalam benaknya. Juga seseorang sanggup mengimajinasikan suatu dari apa yang didengar dan menghasilkan suatu argumen yang berbeda juga alasannya perbedaan dalam mengimajinasikan sesuatu tersebut. Dan pada akhirnya, kalau sudah begitu yang benar ialah yang pengimajinasiannya sesuai dengan apa yang terjadi.
Berangkat dari hal tersebut Islam mengajarkan kita untuk ber-tabayyun dalam mendapatkan informasi. Nah, itu mengapa? Karena informasi yang keliru sanggup mengakibatkan penggambaran yang keliru dalam benak kita, hingga kita juga sanggup keliru dalam menghukumi suatu hal. Hukum yang keliru kemudian sanggup menjadikan sikap keliru yang sanggup menghipnotis sosial kita yang berujung pada kesalahpahaman. Kalo bahasa kerennya sih, Discommunication. Kesalahpahaman ini yang kadang sanggup berakhir kericuhan bahkan hingga peperangan. Hal ini juga mirip yang disebutkan dalam Quran dan hadist-hadist Rasulullah Saw perintah untuk ber-tabayyun.
Dan lagi, bahwasanya kesalahpahaman tak hanya berujung pada pelampiasan amarah. Kurma dikatakan kecoa, merupakan suatu kesalahpahaman. Jidat dikatakan dagu, juga suatu kesalahpahaman. Es cendol dikatakan es teler juga merupakan suatu kesalahpahaman. lalat dikatakan nyamuk juga suatu kesalahpahaman. Bahkan mantan dikatakan pacar juga merupakan suatu kesalahpahaman yang besar sodara-sodara. Tidak bermaksud menghalalkan pacaran ya ughty-ughty atau akhy-akhy fillah, enggak kok.
Nah, di sini mengapa (sekali lagi) Islam sangat mengedepankan tabayyun. Bukan hanya sekedar mendengar atau membaca suatu informasi dari satu sumber, atau istilah arabnya “qil” dan “qal”, kalo orang Aceh bilang sih “jak beu troh kaleun beu deuh” (pergi hingga benar-benar sampai, kemudian lihat sendiri dengan mata kepala).
Makanya kita perlu kritis terhadap segala informasi yang kita dapatkan dan juga yang akan kita sebarkan. Kan gak yummy sekali hidup dalam kesalahpahaman dalam waktu panjang. Oh ya, juga sebagai pengguna media kita juga harus paham konsekuensi terhadap apa yang kita bagikan. Apakah informasi ini layak diketahui seluruh orang, ataupun belum layak, bahkan tidak layak sama sekali dibagikan. Jika layak, valid, serta bermanfaat silahkan dibagikan. Jika belum layak diketahui seluruh orang silahkan batasi orang yang melihatnya ataupun bagikan ke mereka yang layak saja. Ataupun kalau tidak layak, jangan dibagikan. Jangan hingga informasi yang seharusnya menjadi konsumsi suatu daerah saja menjadi konsumsi khalayak umum. Bisa-bisa timbul keresahan yang tidak diinginkan bahkan kesalahpahaman terhadap informasi.
Juga sebagai peserta informasi harus mempertimbangkan sumber, waktu, tempat, bahkan kata-kata. Jangan hingga kejadian yang terjadi di suatu tempat, di waktu lampau di klaim terjadi di daerah di masa sekarang. Intinya, jangan sampai, kita terjebak dalam empat hal tersebut, terlebih penggunaan kata. Karena sebagian informasi juga ada yang menghiperbolakan suatu kejadian sehingga menjadi wow para pembacanya dan berhasil memainkan perasaan mereka, apalagi dengan menyentuh sentimental masyarakat, agama misalnya. Nah, kalau sudah begitu biasanya nalar akan kalah dengan perasaan, secara tidak eksklusif kita melaksanakan pembenaran terhadap hal yang tidak sesuai mirip yang tergambar dalam benak kita. Semoga kita semua sanggup sama-sama berguru sampaumur dalam bermedia dan senantiasa dalam naungan-Nya. Aamiiin. []
*Penulis Merupakan Mahasiswa tingkat 2 Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar.