Monday 25 November 2019

Syariat; Brunei Kalheuh, Aceh Kalah?

Muhammad Najid Akhtiar


Oleh: Muhammad Najid Akhtiar

01 Mei 2014, Negara Brunei Darussalam resmi terapkan aturan Syariah bagi seluruh warga negara yang bermukim di negara tersebut. Penerapan qanun atas norma Islam ini tentu saja mengusik musuh-musuh Islam yang selama ini gencar merisik kekurangan dan merusak gambaran Islam. Terbukti dengan banyaknya kecaman yang diungkapkan oleh banyak sekali pihak baik di dunia maya maupun dunia nyata. 


Menepis semua bunyi sumbang dan respon negatif, Sultan Hassanal Bolkiah hanya menjawab tenang tapi tegas: “Keputusan untuk menerapkan aturan ini bukan untuk bersenang-senang tapi untuk mentaati perintah Allah menyerupai yang tertulis dalam Al-Qur’an. Teori boleh saja menyatakan aturan Allah keji dan tidak adil, tapi Allah sendiri menyampaikan hukumnya terperinci adil.”

Satu sisi yang cukup menarik untuk kita soroti dalam perjalanan penerapan aturan Syariah ini, proses yang dilalui semenjak awal terbitnya pandangan gres penerapan hingga ke hari pertama pemberlakuan hanya berlangsung kurang lebih 2 tahun. Waktu yang relatif singkat untuk mengaplikasikan aturan besar untuk tingkat sebuah negara, terlepas dari berapa luas wilayah negara tersebut.

Terawang jauh ke negeri orang, kembali kita pandang negeri sendiri. Aceh, atau yang dulunya dikenal Nanggroe Aceh Darussalam, merupakan sebuah wilayah di muka bumi Allah yang masyhur dengan kekentalan suasana Islaminya.

Tersebutlah suatu cerita perihal Nanggroe Aceh dengan segala aturan syariatnya. Negara yang aman, tenang dan tenteram. Tak ada teror. Tak ada kepanikan. Tak ada warung remang-remang. Tak ada anak yang tak bertuan. Letaklah emas di tengah jalan, akan anda temukan ia terpacak di tempat. Tak ada yang berani menyentuh, takut kepada Yang Maha Melihat. Benar-benar negeri idaman. Baldatun aminatun wa Rabbun Ghafur.

Seiring dengan perjalanan waktu, peperangan demi peperangan, runtuhnya kerajaan hingga terbentuknya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di bawah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terkuburnya dewan dan kediaman di dasar tanah, turut mengubur norma-norma dan aturan yang dulu dibina. Aceh kehilangan identitas, hingga sekarang.

Termaktub semenjak merdekanya Indonesia, Aceh telah riuh dengan banyak sekali permintaan menuju negeri Islam. Mulai dari DI/TII hingga GAM, semua pemikiran bergerak atas basis Islam. Seluruh elemen masyarakat diajak untuk bersatu mendukung, bersama membuat negeri idaman, Darussalam. Sontak saja rakyat jelata Aceh yang cinta agama menyambut pelawaan tersebut dengan sukarela.

MoU Helsinki 11 Juli 2006, menjadi titik selesai usaha para prajurit Aceh memperjuangkan negeri merdeka. Di dalam genangan darah, Aceh bangun membangun pondasi pemerintahan sebagai salah satu provinsi Indonesia.

Syariat Islam kembali diteriakkan. Kali ini oleh tokoh-tokoh yang maju sebagai calon kepala pemerintahan. Rakyat Aceh diiming-imingi kembali dengan penegakan Syariat Islam. Terbayang di mata rakyat betapa indahnya alam di bawah aturan yang dijanjikan Allah.

10 tahun berlalu. Aceh telah berbenah. Gedung-gedung konstruksi telah berdiri di mana-mana. Menunjukkan betapa Aceh telah maju di bidang pembangunan. Pengemis-pengemis masih berkeliaran, tapi sekurang-kurangnya mereka punya rumah kawasan untuk bemalam. Tak membuat sakit mata dikala memandang.

Syariat Islam? Lucu kalau ditanyakan. Masih menyerupai 10 tahun yang lalu, Syariat Islam masih diteriakkan. Oleh tokoh-tokoh yang sama, diramaikan oleh beberapa figur tambahan. Penegakan pernah diadakan, namun hanya berjalan kalau ada kesempatan. Itupun tajam ke bawah tumpul ke atas. Masih bertanya perihal Syariat Islam? Jangan sering-sering. Lucu kalau ditanyakan.

Kalau Brunei Darussalam berhasil menerapkan aturan Syariah hanya dalam kurun waktu 2 tahun, Aceh Darussalam terhitung semenjak kesepakatan tenang 10 tahun kemudian masih berupa untaian kata. Belum lagi tahun-tahun yang berlalu sebelum itu, semenjak awal masa kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Duhai, persoalan ini telah dibahas di banyak sekali lembaga di pelbagai kesempatan. Coba saja anda log in Facebook dan search perihal penerapan Syariah Islam di Aceh, akan anda temukan banyak sekali ulasan berikut makalah yang dibentuk secara sangat bijaksana oleh banyak sekali pihak.

Orang Aceh, Jawa, Sulawesi hingga luar negri semua ikut berpartisipasi meramaikan diskusi ini. Menertawakan Aceh yang tak lagi muda, masih berkutat pada hal-hal yang sama namun tak pernah ada ujungnya. Sementara rakyat Aceh sibuk mengkritisi pemerintah atas kegagalan mereka menerapkan syariat yang selama ini dikoar-koarkan. Pemerintah bodoh. Pemerintah tidak becus. Pemerintah gagal. Seraya membanding-bandingkan pemerintah Aceh dengan Brunei yang telah sukses dari awal rancangan mereka.

Di sinilah letak salah satu pokok masalahnya. Satu hal yang perlu digarisbawahi dan diperhatikan dalam membandingkan Aceh dan Brunei, siapakah masyarakat atau warga yang diterapkan ke atas mereka aturan Islam itu sendiri?

Warga Brunei, jikalau anda pernah bertemu dengan mereka, sungguh akan anda temukan anak Melayu yang sopan dan santun. Lembut dalam perkataan, juga perbuatan. Berdiri perintah anda, mereka akan berdiri. Duduk, mereka akan duduk. Berlari dan begitu seterusnya. 

Mereka ialah suatu kaum yang patuh. Tatkala keputusan aturan Syariah dikeluarkan, mereka hanya mengangguk patuh. Justru warga luar dan pendatang yang riuh mempersoalkan. Bahkan jauh sebelum diterapkan aturan Syariah, tingkat kriminalitas di Brunei sudah cukup minim. Pertanda betapa warga Brunei telah membentengi diri mereka sendiri akan segala jenis tindak pidana yang durjana.

Bagaimana pula kita bandingkan dengan warga kita, warga Aceh? Perwatakan rakyat yang sudah usang terbiasa hidup dalam peperangan yang berlarut, hidup dalam kesusahan, tentu saja berbeda dengan tabiat mereka yang hidup bergelut dengan kenyamanan. 

Keras kepala. Tak mau menerima. Ketika Syariat Islam yang telah usang dicanangkan tidak juga berhasil, yang salah tetap pemerintah. Jauh sebelum pemerintah menerapkan syariat, kita selalu berkoar-koar meminta syariat, sedangkan diri kita masing-masing terus berbuat maksiat. Ketika pemerintah hendak menerapkan syariat, kita bersembunyi di balik tabir rahasia berharap syariat tidak diadakan. Bermunculan pula akun-akun fiktif di dunia maya menyoraki syariat yang ketinggalan zaman.

Salah pemerintahkah? Kita tidak pungkiri adanya salah pemerintah. Namun yang tidak sanggup kita nafikan juga, bahwa setiap individu di muka bumi Aceh bertanggungjawab atas berjalannya syariat tersebut. Bentengi diri sendiri dari maksiat, itulah jalan utama untuk menegakkan syariat. Tatkala semua orang di Aceh sadar akan hinanya suatu maksiat dan berusaha untuk menghindarinya, dikala itu syariat telah ditegakkan dengan sendirinya.

Kembali ke pembahasan penegakan oleh pemerintah, tentu saja pemerintah memegang kiprah yang sangat penting dalam hal ini. Karena penegakan aturan pidana bukanlah kiprah yang sanggup dilaksanakan oleh semua orang. Pemerintah telah diberi amanah untuk menunaikan keinginan tersebut, maka sudah sudah sepantasnya mereka selaku pemimpin yang mempunyai wewenang dalam hal tersebut melakukan sedaya upaya untuk mewujudkannya. Tentu saja dengan catatan, tajam ke semua pihak.

Pemerintah menunaikan kewajibannya, demikian juga rakyat berjalan pada porosnya. Pemerintah menegakkan aturan syariat, rakyat bentengi diri dari maksiat. Berkoar-koar, semua orang juga bisa. Syariat; Brunei kalheuh, Aceh kalah?


banner
Previous Post
Next Post