Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du :
Sanggahan para Ulama rahimahullah
Dalam artikel serpihan yang ke-2, telah penulis sebutkan diantara syubhat dan penyimpangan besar yang menyelisihi manhaj dakwah para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam, yaitu berlebih-lebihan (ghuluw) dalam menyikapi penegakan Khilafah Islamiyyah 1.
Beberapa penyimpangan dan kesalahan yang sudah penulis sebutkan dalam problem ini dalam artikel tersebut, diantaranya adalah salah memahami hal-hal berikut ini: tujuan agama Islam, ibadah, risalah para Nabi Allah ‘alaihimush shalatu was salam dan akar problem kerusakan suatu negeri. Disamping itu, berlebih-lebihan dalam mensikapi politik dan yang lainnya.
Dikarenakan banyaknya pemahaman yang salah dalam mensikapi penegakan Khilafah Islamiyyah, maka sudah menjadi kewajiban para Ulama dan da’i rahimahullah untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan tersebut, dalam rangka menunaikan kiprah yang agung dari Allah Ta’ala, seperti tercermin dalam firman Allah ‘azza wa jalla,
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ
“Dan (ingatlah), saat Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu): “Hendaklah kalian menunjukan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kalian menyembunyikannya” (Ali ‘Imraan:187).
Berikut ini beberapa bantahan para Ulama rahimahullah dalam rangka meluruskan penyimpangan-penyimpangan tersebut :
1. Khilafah Islamiyyah memang wajib namun bukan yang paling wajib dan bukan yang paling penting
Ulama bersepakat (ijma‘) atas kewajiban pengangkatan satu orang pemimpin pemerintahan bagi kaum muslimin, ijma’ ini dinukilkan oleh Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, hal. 15, Abul Ma’ali Al-Juwaini dalam Ghiyatsul Umam,hal.15, Al-Qodhi ‘Iyadh dalam Ikmalul Mu’allim 6/220 dan An-Nawawi dalam Syarhu Shahih Muslim 12/205, dan ulama-ulama yang lainnya. (http://www.dorar.net/article/1760)
Berkata Al-Mawardi rahimahullah :
وَعَقْدُهَا لِمَنْ يَقُومُ بِهَا فِي الْأُمَّةِ وَاجِبٌ بِالْإِجْمَاعِ
“Mengadakan akad Imamah (Khilafah), bagi yang bertugas melaksanakannya di tengah-tengah umat ini, hukumnya wajib berdasarkan ijma’ ulama” (Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, hal. 3).
An-Nawawi rahimahullah berkata :
وأجمعوا على أنه يجب على المسلمين نصب خليفة
“Dan ulama bersepakat bahwa wajib bagi kaum muslimin untuk mengangkat seorang Khalifah” (Syarhu Shahih Muslim).
Dan secara umum dikuasai ulama dari aneka macam madzhab memandang bolehnya setiap negara kaum muslimin dipimpin oleh kepala negara muslim masing-masing, kalau belum bisa untuk mengangkat satu pemimpin untuk kaum muslimin seluruh dunia.
Hal ini dikarenakan, sesudah tersebarnya Islam ke aneka macam penjuru dunia, jadilah masing-masing wilayah negara mempunyai kepala negara masing-masing pula, yang kekuasaannya terbatas pada wilayah negara yang dipimpinnya saja. Maka wajib bagi masing-masing warga negara ta’at kepada kepala negaranya masing-masing, sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Al-‘Allamah Asy-Syaukani dalam Sailul Jarar 4/512. Hal ini dibolehkan lantaran keadaan terpaksa dan belum mampu, sehingga sesuai dengan kaedah Ushul bahwa,
(العجز مسقطٌ للأمر والنهي وإنْ كان واجبًا في الأصل) [مجموع الفتاوى] (20/61)
“Ketidakmampuan menggugurkan perintah dan larangan, walaupun aturan asalnya wajib” (Majmu’ul Fatawa, Syaikhul Islam 20/61, yang diringkas dari http://www.dorar.net/article/1760).
Setelah kita mengetahui aturan mengangkat khalifah itu wajib, kini yang menjadi pertanyaan : “Seberapa besarkah kewajiban tersebut? Apakah wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakannya, sehingga hukumnya menjadi fardhu ‘ain atau sebatas fardhu kifayah?
Al-Mawardi rahimahullah menjelaskan hal itu:
فَصْلٌ: “فِي بَيَانِ حُكْمِ الخِلَافَةِ”
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْإِمَامَةِ فَفَرْضُهَا عَلَى الْكِفَايَةِ كَالْجِهَادِ وَطَلَبِ الْعِلْمِ، فَإِذَا قَامَ بِهَا مَنْ هُوَ مِنْ أَهْلِهَا سَقَطَ فَرْضُهَا عَلَى الْكِفَايَةِ، وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهَا أَحَدٌ خَرَجَ مِنَ النَّاسِ فَرِيقَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَهْلُ الِاخْتِيَارِ حَتَّى يَخْتَارُوا إمَامًا لِلْأُمَّةِ.
وَالثَّانِي: أَهْلُ الْإِمَامَةِ حَتَّى يَنْتَصِبَ أَحَدُهُمْ لِلْإِمَامَةِ،
فَإِذَا ثَبَتَ وُجُوبُ الْإِمَامَةِ فَفَرْضُهَا عَلَى الْكِفَايَةِ كَالْجِهَادِ وَطَلَبِ الْعِلْمِ، فَإِذَا قَامَ بِهَا مَنْ هُوَ مِنْ أَهْلِهَا سَقَطَ فَرْضُهَا عَلَى الْكِفَايَةِ، وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهَا أَحَدٌ خَرَجَ مِنَ النَّاسِ فَرِيقَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَهْلُ الِاخْتِيَارِ حَتَّى يَخْتَارُوا إمَامًا لِلْأُمَّةِ.
وَالثَّانِي: أَهْلُ الْإِمَامَةِ حَتَّى يَنْتَصِبَ أَحَدُهُمْ لِلْإِمَامَةِ،
وَلَيْسَ عَلَى مَنْ عَدَا هَذَيْنِ الْفَرِيقَيْنِ مِنَ الْأُمَّةِ فِي تَأْخِيرِ الْإِمَامَةِ حَرَجٌ وَلَا مَأْثَمٌ،
Pasal: “Tentang klarifikasi aturan Khilafah”.
Jika (sudah diketahui bahwa) benar-benar terbukti wajibnya menegakkan Imamah (Khilafah Islamiyyah), maka (ketahuilah) kewajiban itu jenisnya yaitu fardhu kifayah, menyerupai jihad dan menuntut ilmu 2, maka kalau telah dilaksanakan kewajiban tersebut oleh orang yang berkompeten, maka gugurlah kewajiban tersebut (bagi kaum muslimin yang lainnya) alasannya yaitu sudah dilaksanakan olehnya. Dan kalau tidak ada seorangpun yang menunaikannya, maka tampillah dua golongan insan (yang berkewajiban melaksanakannya),
Golongan Pertama: Ahlul Ikhtiyar (Dewan Perwakilan Rakyat yang bertugas memilih), hingga mereka memilihImam (Khalifah) untuk umat.
Golongan Kedua :Ahlul Imamah (Orang-orang yang terpenuhi syarat menjadi Imam (Khalifah)), hingga salah satu diantara mereka menjadi Imam (Khalifah) kaum muslimin,
dan bagi kaum muslimin selain dua golongan insan tersebut, tidak salah dan tidak pula berdosa saat terjadi penundaan pengangkatan Imam (Khalifah).
Dengan klarifikasi di atas, jelaslah bahwa penegakkan Khilafah Islamiyyah itu bukanlah fardu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah, namun hukumnya fardhu kifayah, wajib dilaksanakan oleh dua golongan, yaitu: Ahlul Ikhtiyar (Ahlul Halli wal ‘Aqdi) dan Ahlul Imamah.
Jika aturan penegakkan Khilafah Islamiyyah tidak hingga fardhu ‘ain, bagaimana mungkin ia dikatakan sebagai kewajiban yang terpenting dan paling mulia, yang melebihi kewajiban shalat bahkan melebihi Tauhid?
Lalu apakah kewajiban yang paling wajib dan terpenting serta paling mulia dalam Islam yang sesungguhnya?
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah telah menjelaskan dalam risalah Tsalatsatul Ushul,
أعظم ما أمر الله به التوحيد
“Perintah Allah yang terbesar yaitu tauhid”
Mengapa dikatakan Tauhid merupakan perintah Allah yang terbesar? Hal itu dikarenakan,
- Tauhid itu hak Allah ‘azza wa jalla,
- Tauhid itu dasar dan asas agama Islam, maka tidaklah suatu ibadah bisa tegak dan diterima kecuali kalau didasari dan diiringi dengan Tauhid,
- Tauhid juga merupakan tujuan diutusnya para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam semuanya, Allah Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَDan sungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. (An-Nahl:36).
- Tidak ada satupun Utusan Allah kecuali mendakwahkan Tauhid,
- Tauhid yaitu tujuan diciptakannya jin dan manusia. Allah Ta’ala berfirman,وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ“Dan Aku tidak membuat jin dan insan melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku semata” (Adz- Dzariyaat: 56).
- Lawan dari Tauhid -yaitu syirik- yaitu larangan Allah yang terbesar, kalau hingga seseorang melaksanakan kesyirikan akbar, maka akan menggugurkan seluruh amalnya yang pernah dilakukannya dan Allah tidak akan mengampuni pelakunya hingga ia bertaubat, kalau ia mati dalam keadaan tidak bertaubat maka akan masuk Neraka abadi selama-lamanya. Allah Ta’ala berfirman,وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu. “Jika kau mempersekutukan (Allah), pasti akan hapuslah amalmu dan tentulah kau benar-benar termasuk orang-orang yang merugi” (Az- Zumar:65).
Kesimpulan:
Pernyataan bahwa penegakan Khilafah Islamiyyah sebagai “Pokok dari seluruh problem dalam kehidupan insan dan prinsip dasar yang paling mendasar!” dan “permasalahan kaum muslimin yang teragung!” adalah pernyataan yang salah dan tidak ada dalilnya.
Bahkan pernyataan di atas adalah pernyataan yang dusta berdasarkan kesepakatan kaum muslimin dan sebuah bentuk kekufuran.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahmengatakan,
إنَّ القائل: إنَّ مسألة الإمامة أهم المطالب في أحكام الدين وأشرف مسائل المسلمين، كاذب بإجماع المسلمين
“Sesungguhnya orang yang mengatakan: “Masalah Imamah (Khilafah Islamiyyah) yaitu tujuan yang tertinggi dalam aturan agama Islam dan permasalahan kaum muslimin yang teragung!”, (maka hakekatnya) ia berdusta berdasarkan kesepakatan kaum muslimin (baca: para ulama)”.
Bahkan ia menyatakan bahwa perkataan itu sebagai bentuk kekufuran,
بل هو كفر فإنَّ الإيمان بالله ورسوله أهم من مسألة الإمامة وهذا معلوم بالاضطرار من دين الإسلام. فالكافر لا يصير مؤمناً حتى يشهد أن لا إله إلا الله وأنَّ محمداً رسول الله
“Bahkan perkataan tersebut yaitu bentuk kekufuran, lantaran beriman kepada Allah dan Rasul-Nya terperinci lebih penting dari pada problem Imamah (Khalifah Islamiyyah) dan ini merupakan kasus fundamental dalam agama Islam yang sifatnya dhoruri 3. (Sebagaimana diketahui) orang kafir tidaklah sah menjadi seorang beriman hingga bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad yaitu utusan Allah” (Manhajul Anbiya’ fid Da’wah ilallah, Syaikh DR. Rabii’ Al-Madkhali).
2. Khilafah Islamiyyah yaitu sarana (wasilah) dan bukan tujuan serta bukan pula problem pokok!
Demikianlah pemahaman para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Seorang ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah, pakar ilmu Hadits, Syaikh Al-Albani rahimahullah menjelaskan :
فالدولة المسلمة – بلا شك – وسيلة لإقامة حكم الله في الأرض ، وليست غاية بحد ذاتها
“Maka Negara Islam -tanpa diragukan lagi- kedudukannya sebagai sarana untuk menegakkan aturan Allah di muka bumi, dan bukan sebagai tujuan itu sendiri” (http://www.alalbany.net/4377).
Syaikh DR. Shaleh Al-Fauzan hafizhahullah, salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah, jago Fikih sekaligus seorang mufti senior pernah mengatakan,
إن تحكيم الشريعة وإقامة الحدود وقيام الدولة الإسلامية واجتناب المحرمات وفعل الواجبات كل هذه الأمور من حقوق التوحيد ومكملاته وهي تابعة له فكيف يعتنى بالتابع ويهمل الأصل؟
“Sesungguhnya penegakkan aturan Syari’at, penegakan aturan pidana, serta penegakan Daulah Islamiyyah, menjauhi keharaman dan mengerjakan kewajiban, hakekatnya semua kasus itu merupakan hak-hak tauhid dan kesempurnaannya, dan semua kasus itu mengikuti tauhid! Bagaimana mungkin kasus yang statusnya sebagai pengikut begitu diperhatikan, sedangkan kasus yang pokok justru ditelantarkan?” (Manhajul Anbiya’ fid Da’wah ilallah, Syaikh DR. Rabii’ Al-Madkhali).
Coba bandingkan ucapan dua ulama besar tersebut dengan ucapan berikut ini,
(إنّ غاية الدين الحقيقيّة إقامة نظام الإمامة الصالحة الراشدة)
“Sesungguhnya tujuan agama Islam yang sebenarnya yaitu mendirikan sistem Imamah yang baik dan lurus (baca: mendirikan Imamah/Khilafah Islamiyyah /Pemerintahan Islam)!
Sungguh sangat batillah pernyataan di atas, lantaran konsekwensi dari ucapan di atas yaitu bahu-membahu tauhid, shalat, puasa, zakat dan semua pedoman agama Islam yang lainnya, hakekatnya merupakan sarana semata, untuk satu tujuan agama Islam, yaitu : penegakan Imamah (Khilafah Islamiyyah)!
Sebuah ucapan yang tidak ada satupun dalil yang mendasarinya.
3. Masalah Khilafah Islamiyyah tidaklah disebutkan secara mendominasi di dalam Quran dan As-Sunnah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
فمن المعلوم أنَّ أشرف مسائل المسلمين، وأهم المطالب في الدين ينبغي أن يكون ذكرها في كتاب الله تعالى أعظم من غيرها، وبيان الرسول لها أولى من بيان غيرها، والقرآن مملوء بذكر توحيد الله تعالى، وذكر أسمائه، وصفاته، وآياته، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، والقصص، والأمر والنهي، والحدود والفرائض، بخلاف الإمامة، فكيف يكون القرآن مملوءً بغير الأهم الأشرف؟
“Merupakan kasus yang telah diketahui bahwa suatu kasus kaum muslimin yang sifatnya teragung sekaligus ia merupakan tujuan yang terpenting dalam agama Islam, selayaknyalah hal itu disebutkan dalam Kitabullah Ta’ala lebih besar daripada penyebutan kasus selainnya, dan klarifikasi Rasulullah terhadapnya, selayaknyalah lebih utama daripada klarifikasi ia wacana kasus selainnya. Sedangkan (kenyataannya) Aquran penuh dengan penyebutan Tauhidullah Ta’ala, nama dan sifat-Nya, Ayat-Ayat, Malaikat dan Kitab-Kitab dan para Rasul-Nya serta hari Akhir serta kisah-kisah,perintah, larangan, eksekusi Had dan kewajiban-kewajiban.
Namun, untuk problem Imamah (Khilafah Islamiyyah) tidaklah demikian 4! Maka bagaimana mungkin Quran dikatakan dipenuhi dengan kasus yang tidak paling penting dan tidak pula paling mulia?” (Manhajul Anbiya’ fid Da’wah ilallah, Syaikh DR. Rabii’ Al-Madkhali).
4. Suatu kasus yang sangat fundamental sekali dalam Islam bahwa dari dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mempersyaratkan pengetahuan wacana Imamah sebagai syarat kesahan keimanan orang yang masuk Islam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
وأيضا فنحن نعلم بالاضطرار من دين محمد بن عبد الله – صلى الله عليه و سلم – أنَّ الناس كانوا إذا أسلموا لم يجعل إيمانّم موقوفا على معرفة الإمامة
“Dan kami juga mengetahui -dengan pengetahuan yang sifatnya dharuri 5 dalam agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– bahwa semenjak dahulu insan kalau masuk Islam tidak pernah dipersyaratkan harus mengetahui problem Imamah (Khilafah Islamiyyah) , untuk menyatakan kesahan kepercayaan mereka!” (Manhajul Anbiya’ fid Da’wah ilallah, Syaikh DR. Rabii’ Al-Madkhali).
5. Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyebutkan Imamah sebagai salah satu dari rukun Iman
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
قوله: ( وهي أحد أركان الإيمان المستحق بسببه الخلود في الجنان ). فيقال: من جعل هذا من أركان الإيمان إلا أهل الجهل والبهتان؟!
“Ucapannya6 : “Dan Imamah yaitu salah satu dari rukun Iman, yang dengan sebabnya, (seorang hamba) bisa abadi di Surga”. Maka bantahannya yaitu bahwa tidaklah seseorang mengakibatkan ini sebagai serpihan dari rukun Iman kecuali ia yaitu orang kolot dan pendusta!” (Manhajul Anbiya’ fid Da’wah ilallah, Syaikh DR. Rabii’ Al-Madkhali).
Mengapa demikian wahai saudaraku?
Karena di dalam dalil-dalil, baik itu Quran maupun As-Sunnah, tidak pernah ada satupun dalil yang menyampaikan adanya problem Imamah sebagai salah satu dari rukun Iman!
Contohnya, firman Allah Ta’ala :
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ…
“Bukanlah menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, Kitab-Kitab, Nabi-Nabi…” (Al-Baqarah:177).
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdialog dengan Jibril ‘alaihis salam,
فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.
“Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahukanlah kepadaku wacana Iman?“ Beliau bersabda, “Kamu beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya,Rasul-Rasul-Nya dan hari Akhir, dan kau beriman kepada Qadar yang baik maupun yang buruk” (HR. Muslim).
Dari kedua dalil di atas dan dalil-dalil yang lainnya wacana rukun Iman, maka tidak ada satupun dalil yang menunjukkan masalah Imamah sebagai salah satu dari rukun Iman!
6. Para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam dalam meyelesaikan aneka macam problem umatnya masing-masing, tidak pernah seorangpun diantara mereka yang mengakibatkan problem Imamah sebagai solusi terpenting dan pertama sebelum yang lainnya!
Bahkan dakwah mereka ‘alaihimush shalatu was salam adalah dakwah Tauhid, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat Alquran, menyerupai dalam Al-A’raaf: 59, 65, 73 dan 85.
Seluruh para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam walaupun mereka menghadapi umat yang berbeda-beda dan problematika yang berbeda-beda, namun tetaplah dakwah Tauhid sebagai asas dakwah mereka.
Namun yang perlu diketahui, bukan berarti seorang da’i saat ingin mencontoh dakwah para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam lalu ia tidak mendakwahkan pedoman agama Islam yang lainnya selain Tauhid! Yang benar bukan demikian, lantaran yang dimaksud di sini yaitu mengakibatkan dakwah Tauhid sebagai dakwah yang pokok, terpenting dan yang pertama.
7. Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Utusan Allah yang terbaik, ia pun dalam meyelesaikan aneka macam problem umatnya, tidak pernah mengakibatkan problem Imamah sebagai solusi terpenting dan pertama!
Untuk pembahasan wacana bagaimana dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menuntaskan problematika umat? Silahkan membaca artikel : “Dakwah Khilafah Ataukah Dakwah Tauhid?“.
Walhamdulillaah Rabbil’alamiin.
***
Catatan kaki
1 Lihat klarifikasi wacana makna Khilafah Islamiyyah pada artikel ke-2 tersebut.
2 Jenis ilmu-ilmu yang fardhu kifayah.
3 Ilmu yang wajib bagi setiap muslim mengetahuinya dan mudah diketahui setiap muslim.
4 Tidak disebutkan mendominasi dan tidak paling ditekankan dalam Quran dan As-Sunnah.
5 Ilmu yang wajib bagi setiap muslim mengetahuinya dan mudah diketahui setiap muslim.