Saturday 21 December 2019

Cinta, Kau Yakni Seorang Penulis [Bagian 1]



Foto Ilustrasi: Google Image

Oleh: Muhammad Daud Farma


Mayoritas orang menganggap bahwa menulis itu yakni hal yang sangat sulit untuk dilakukan, apalagi memulainya. Hal itu akan menciptakan menulis mejadi acara yang sulit dan membosankan.

Namun kalau kita mulai menuliskan apa yang ada di benak kita, kita akan terbawa dan larut di dalamnya. Melebur menjadi satu potongan indah yang terungkap dengan rentetan kata-kata indah nan membius pembacanya. Sungguh betapa indahnya menulis.

Tapi masing-masing kita yakni orang yang berbeda, kita terlahir memiliki hobi dan talenta tersendiri dan juga cenderung berbeda satu sama lain.

Ada yang memiliki talenta menulis, tetapi ia tidak menjadikannya hobi dalam kesehariannya. Ia hanya menulis dikala mood-nya sedang bagus dan ketika ada waktu yang menurutnya luang, tetapi sekali ia menulis, hasilnya memuaskan dan menaraik minat pembaca. Itulah yang dikatakan bakat.

Ada yang hobi menulis, hari-harinya diisi dengan menulis dan terus menulis, namun amat disayangkan, tulisanya tidak karuan dan tidak selalu memikat hati orang yang membacanya.

Dan yang amat kita sedihkan ialah seseorang yang sama sekali tidak pernah mau menulis dan tidak pernah mau memulainya, ia yakni siswi Sekolah Menengan Atas Negeri 1 Ngkran desa Simpang 4. Namanya Laila, dia adik kelasku sekaligus anak dari pamanku.

Ketika suatu sore saya bertanya kepadanya, "La..., kau suka nulis gak?" Hal itu saya tanyakan padanya lima tahun yang lalu.

"Bang Qois, Laila tidak suka nulis. lebih baik Laila menanam satu hektar padi di sawah, dari pada menulis!" Jawabnya dengan nada sedikit ketus.

Aku mencoba meyakinkanya, saya ingin bilang kepadanya bahwa ia memiliki talenta menulis yang alami.

"La, dengarkan saya baik-baik! Abang jujur ke kamu, Abang tidak sedang gombalin kamu...! Kamu itu memiliki talenta menulis La, kau itu yakni seorang penulis, kau yakni penulis yang sebenarnya!" Kataku dengan nada yang keras, biar dia tahu bahwa saya sedang murka padanya.

Namun ia tidak peduli, ia malah menjawab pernyataan ku dengan nada lebih ketus dari sebelumnya.

"Bang..., please deh, jangan gombalin Laila biar mau menulis! Abang lihat sendiri kan, bahwa memang saya tidak hobi menulis. Pelajaran Biologi yang disuruh meringkas pun saya mengerjakannya dengan terpaksa, lantaran saya tidak suka menulis. Makara tolong jangan gombalin Laila untuk yang ke sekian kalinya biar mau menulis." Jawabnya dengan penuh harap, biar saya tidak menggombalinya lagi.

Di dikala saya mengungkapkan hal itu ia selalu menganggapku menggombalinya, padahal saya sudah jujur menyampaikan kepadanya bahwa ia yakni seorang penulis yang memiliki talenta asli.

Hari demi hari kucoba meyakinkannya tanpa ada kata mengalah dan putus asa, namun ia tetap saja memarahiku dan dengan ketus menanggapi nasihatku dengan hirau tak acuh.

Bulan-demi bulan kucoba terus meyakinkan dirinya, namun ia tetap tidak menggubris nasihatku. Bahkan ia bilang, "Bang, kalaulah Abang bukan abang kelas dan abang sepupuku, saya sudah gampar Abang bolak-balik!" Katanya dengan nada keras dan dengan mimik wajahnya yang memerah padam, seakan saya yang telah menggamparnya duluan ketika melihat wajahnya yang memerah.

Mulai dikala itu, saya tak pernah lagi mencoba meyakinkan dan menasehatinya untuk menyukai dunia tulis menulis, lantaran saya tidak mau tangannya itu menyentuh wajahku untuk yang pertama kalinya.

Sedikit perihal Laila, dia orangnya agak tomboy. Tapi ia sholehah dan menutup diri, tidak mau dekat laki-laki. Kecuali dengan saya yang memang masih terhitung saudaranya. Gayanya funky menyerupai gaya seorang remaja yang siap tampil ngeband program sekolah.

Ayahnya orang Batak Toba, ibunya orang Jawa tulen. Mungkin ia mengikuti jejak bapaknya yang funky dan trendi, lantaran saya sempat menyimak kisah bapaknya ketika masih bujangan dulu. Aku dekat dengan bapaknya, lantaran bapaknya yakni pamanku sendiri, saya sangat bersahabat denganya. Sehingga hampir tak ada diam-diam yang disembunyikan dia dariku.

Waktu kita kecil dulu, kami sering dicomblang-kan satu sama lain. Tapi dikala itu kami masih bau kencur, jadi tidak begitu paham dengan apa yang orang sampaumur katakan.

Begitu kita sudah tumbuh sampaumur dan sudah duduk di kursi SMA, kami malah dihentikan berteman, bahkan bertemu saja menyerupai hal yang sulit terjadi. Karena keluarganya khawatir saya suatu dikala nanti akan mengasihi anaknya Laila, lantaran bapaknya telah menganggapku menyerupai anak kandungnya sendiri.

Aku pun sulit mendapatkan kenyataan itu, ketika saya bertanya pada ibuku balasan yang sama juga saya dapati. Beliau juga melarangku untuk menemuinya biar saya tidak mencintainya. Karena Ibu sudah menganggap Laila sebagai anak kandungnya sendiri, lantaran semenjak kecil Laila sering main ke rumahku. Begitu juga diriku, saya sering main ke rumahnya.

Jarak rumah kita hanyalah tiga puluh meter saja, mungkin tiga kali loncat harimau lansung sampai. Hal itulah yang menciptakan kita dekat satu sama lain, lantaran seringnya bertemu dan bercanda bersama.

Ayahnya sempat bercerita, "Nak Qois, dulu waktu paman masih muda, Paman ini yakni seorang gitaris, funky dan puitis. Tapi Paman tidak badung menyerupai sobat Paman yang lain. Dulu Paman sering baca puisi di dalam kelas waktu SMA, Paman sering bermain gitar di bawah pohon kayu yang tumbuh di pojok halaman sekolah. Paman juga tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu, paman akan dipukul kakekmu kalau tidak pergi ke masjid untuk menunaikan shalat fardhu berjama'ah.”

Sempat paman berhenti menghela nafas dan meneguk teh yang ada di depannya, sebelum dia melanjutkan dongeng itu.

“Di program wisuda paman dulu, paman ditunjuk sebagai pembaca puisi yang berjudul, “Guruku” dan itu puisi karya paman sendiri. Setelah paman selesai membaca, semua yang menyimak menyapu air mata yang tiba-tiba megucur dari sudut mata yang basah, paman juga tanpa disadari sempat menitikkan air mata. Jarak beberapa menit, paman tampil kembali membawakan sebuah lagu karangan paman sendiri judul lagunya, "Senyumlah Sahabatku". Alhamdulillah, paman bisa mempengaruhi dan menciptakan mereka yang mendengar dendang paman tersenyum, ceria dan riang gembira, bernyanyi mengikuti lantunan lagu paman.” Lanjutnya sumringah.

“Dan tiga tahun sesudah wisuda, Paman sudah duduk di kursi kuliah, ada sepucuk surat yang tiba untuk Paman. Dan ternyata penulis sepucuk surat itu ialah gadis anggun dan sholehah yang berjulukan Sulastri, yang kini menjadi ibunya Laila." Paman bercerita panjang lebar perihal masa lalunya kepadaku, lantaran ia menganggapku sudah sebagai anak kandungya. Karena Paman tidak punya anak laki-laki, dan Laila yakni anak gadis semata wayangnya.

Berbeda dengan diriku, saya yakni anak terakhir dari 4 bersaudara, dan semuanya laki-laki. Makanya ibuku sudah menganggap Laila menyerupai anak gadisnya sendiri.

Setelah mendengar dongeng paman, saya gres memahami bahwa ternyata Laila yakni titisan darah daging dari seorang bapak yang puitis dan pujangga perangkai kata yang memang bakatnya menulis. Tapi sayangnya, paman tidak melanjutkan karyanya. Mungkin itulah sebabnya Laila tidak suka menulis, walaupun ia memiliki talenta warisan dari bapaknya.

Waktu tak pernah berenti berputar, dan ternyata waktu telah berjalan kurang lebih dua tahun. Dua tahun sudah saya tidak pernah berjumpa Laila lagi, saya mencari-carinya ke mana pun. Tapi saya tidak pernah menemukannya. Setelah lulus saya merasa bahwa Laila menjauh dariku dan ingin menghindar dariku, mekipun saya selalu mencari keberadaannya tetapi nihil, saya tak menemukan jawaban.

Setelah lelah dan putus asa, kesannya kuputuskan untuk bertanya pada ibuku. Meskipun awalnya dia enggan menjawab pertanyaan ku, tapi kali ini dia menjawab dengan mata berkaca-kaca. Ibuku memberitahukan bahwa Laila melanjutkan kuliah ke Pakistan.

Kabar yang menurutku ganjil dan tidak masuk akal, lantaran selama ini Laila tidak pernah menceritakan hal itu kepadaku, sesudah gamang beberapa hari kesannya saya memberanikan diri bertanya pada paman perihal kepastian dari puterinya. Paman pun menjawab pertanyaanku dengan ekspresi datar dan nyaris tak memandangku sedikitpun. Beliau bercerita bahwa dua tahun terakhir ini memang Laila kuliah di Pakistan lantaran mendapatkan beasiswa yang telah ia idan-idamkan semenjak kelas dua SMP.

Sementara saya melanjutkan kuliah ke School Fullday yang letaknya didaerah terpencil, yaitu Kuta Cane, Kabupaten Aceh Tenggara. Kuliah di School Fullday, tidak jauh beda dengan masuk pesantren, hanya saja nama lembaganya yang bukan Pesantren. Salah satu peraturanya ialah, tidak boleh memegang handphone, dan mahasiswanya wajib tinggal di asrama.

Tiga bulan ke depan yakni hari libur untuk Mahasiswa School Fullday. Setelah berkutat dengan berpuluh-puluh diktat tebal yang menjadi materi ujian final para mahasiswa Scool Fullday. Aku pulang ke rumah.

Bersambung...
banner
Previous Post
Next Post