Saturday 21 December 2019

Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (2)

 Pentingnya menggabungkan prinsip hamdalah dan istighfar Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (2)


3. Pentingnya menggabungkan prinsip hamdalah dan istighfar

Ketauhilah, bahwa prinsip hamdalah dan istighfar adalah prinsip harian seorang muslim, bukan hanya prinsip tahunan usai kita melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan. Perhatikanlah acara dzikir pagi dan sore. Seorang muslim disyariatkan mengucapkan sayyidul istighfar setiap pagi dan sore, yang di antara kalimatnya adalah
أبوء لك بنعمتك علي وأبوء بذنبي
“…aku mengakui nikmat-Mu yang Engkau anugerahkan kepada-ku dan saya mengakui dosaku…” (HR. Al-Bukhari: 6306 dan yang lainnya).
Kedua prinsip hidup yang agung ini menciptakan sirnanya penyakit-penyakit amal, menyerupai `ujub, sombong, riya’, dan sum`ah. Selain itu juga berdampak mendorong seorang hamba untuk banyak intropeksi diri (muhasabah), gampang mendapatkan masukan, gampang kerjasama dengan orang lain sebab gampang mengakui kenikmatan Allah yang didapatkan melalui orang lain. Ia gampang berterimakasih kepada orang lain, mengapa? Karena ia gampang bersyukur kepada Allah dengan cara berterimakasih kepada orang lain, yang memberikan nikmat-Nya kepadanya dengan cara berbuat baik kepadanya.
Dalam sebuah hadits,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak bersyukur kepada Allah seorang yang tidak bersyukur kepada manusia’ (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani).
Ibnul Qoyyim menjelaskan hakikat dari kedua prinsip ini, hamdalah dan istighfar, dengan mengatakan
و العبودية مَدَارها على قاعدتين هما أصلها: حبّ كامل و ذلّ تام
“Ibadah itu berkisar di atas dua pondasi,keduanya yaitu cinta yang tepat kepada Allah serta  kerendahan dan ketundukan diri kepada Allah” (Shahih Al-Wabilush Shayyib, hal. 17).
Apa kekerabatan keduanya dengan hamdalah dan istighfar?  Berikut penjelasannya
  1. Cinta yang tepat kepada Allah, ini didapat dengan banyak mengingat kenikmatan Allah, kemudian mengakui kelebihan orang lain dan berterima kasih atas jasanya -karena itu hakikatnya yaitu nikmat Allah, sehingga tumbuh cinta, syukur kepada Allah dan memuji-Nya (hamdalah).
  2. Kerendahan dan ketundukan diri kepada Allah, didapatkan dengan banyak muhasabahmenghitung-hitung  kesalahan, kekurangan dan malu diri, sehingga terhindar dari `ujub  dan sombong, berapapun besarnya prestasi ibadah, ilmu, dan amal. Hal ini mendorong seseorang untuk banyak-banyak beristighfar.
Kita memohon kepada Allah Ta`ala agar setelah kita mencicipi lezatnya beribadah pada bulan Ramadhan dan kebahagiaan pada Hari Raya `Iedul Fithri, Allah mengakibatkan kita sebagai orang-orang yang senang sebab bertambah ketakwaan kita sebagai buah puasa dan menjadi orang yang berbahagia dengan mempunyai ciri khas senang yang disebutkan Ulama, yaitu
إذا أعطي شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذا أذنب استغفر 
“Jika mendapatkan kenikmatan bersyukur, kalau mendapatkan cobaan bersabar, kalau berdosa istighfar.”

4. Tidak tertipu dengan amal keta’atan yang telah dilakukan.

Ilustrasi
Untuk bisa menjadi orang yang beribadah dengan baik tidaklah gampang kalau tidak dimudahkan oleh Allah Ta’ala. Barangkali setiap kita pernah mempunyai tekad berpengaruh untuk melaksanakan suatu bentuk ibadah, contohnya shalat sunnah rawatib ba’diyyah, namun datang dikala melakukannya, muncullah halangan yang tidak terduga atau tidak ada halangan namun sulit untuk khusyu’, padahal shalat wajib yang kita lakukan sebelumnya bisa khusyu’ kita lakukan.
Atau shalat rawatibnya juga bisa khusyu’, namun bisa jadi tidak bisa langgeng melakukannya. Seandainya bisa langgeng melaksanakan shalat rawatib tersebut, yakinkah kita bahwa shalat-shalat sunnah tersebut pasti diterima oleh Allah Ta’ala? Dari ilustrasi di atas nampak bahwa kelemahan kita sebagai makhluk Allah dan ketergantungan kita kepada-Nya tidak akan pernah berhenti walau sekejap mata pun. Kita selalu butuh pertolongan-Nya dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan,
apalagi kalau kita berusaha mengingat-ingat dosa yang sudah kita perbuat, dosanya sudah jelas, namun diampuninya belum tentu.
Pertanyaan besar
Sebuah pertanyaan yang patut dilontarkan, “Jika demikian keadaan kita, pantaskah kita membanggakan ibadah-ibadah yang telah berhasil kita lakukan sepanjang bulan Ramadhan yang telah berlalu tersebut?”
Taruhlah seorang hamba bisa beribadah non stop!
Sebagus apapun amal seseorang, bahkan seandainya seluruh hidup-nya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tidaklah layak hal itu menjadi sesuatu yang dibangga-banggakan dan dipamerkan, sehingga mengakibatkan munculnya perilaku hati yang salah, sebab ia silau melihat amalnya.
Jika seorang hamba merenungkan keagungan Allah dan besar hak-Nya atas diri hamba tersebut, betapapun kuatnya seseorang melaksanakan ibadah, betapapun banyaknya seseorang berinfak salih, pastilah ia akan memandang kecil ibadah itu pada hari Akhir kelak karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
لو أن رجلا يُجَرّ على وجهه من يوم ولد إلى يوم يموت هَرٍمًا في مرضاة الله عز وجل لحَقّرَه يوم القيامة
Seandainya seorang hamba disungkurkan wajahnya semenjak dia lahir hingga mati, hingga bau tanah renta dalam (peribadatan) menggapai keridhoan Allah `Azza Wa Jalla, pasti dia akan memandang kecil ibadahnya tersebut pada hari Kiamat” (HR. Imam Ahmad , lihat As-Silsilah Ashahihah 1/730).

5. Mengiringi keta’atan pada bulan Ramadhan dengan keta’atan sesudahnya.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
من عمل طاعة من الطاعات وفرغ منها فعلامة قبولها أن يصلها بطاعة أخرى،  وعلامة ردها أن يعقب تلك الطاعة بمعصية، ما أحسن الحسنة بعد السيئة تمحها وأحسن الحسنة بعد الحسنة تتلوها، وما أقبح السيئة بعد الحسنة تمحقها…..سلوا الله الثبات على الطاعات إلى الممات، وتعوذوا به من تقلب القلوب
“Barangsiapa yang melaksanakan suatu keta’atan dan telah final darinya, maka tanda diterimanya amal tersebut yaitu ia menyambungnya dengan keta’atan yang lainnya.Sedangkan tanda tertolaknya keta’atan tersebut yaitu ia irirngi keta’atan itu dengan maksiat. Duhai,betapa indahnya kebaikan setelah keburukan, (sehingga) kebaikan itu menghapus keburukan tersebut. Betapa baiknya suatu kebaikan yang dilakukan mengiiringi kebaikan sebelumnya. Betapa buruknya keburukan yang dilakukan setelah kebaikan, (sehingga) keburukan itu menghancurkan kebaikan tersebut……Mohonlah keistiqomahan di atas keta’atan kepada Allah hingga meninggal dunia dan mohonlah dukungan kepada-Nya dari berbolak-baliknya hati” (Lathaif Al-Ma’arif karya Ibnu Rajab, hal. 393).
Penutup
Renungankanlah!
ليس العيد لمن لبس الجديد إنما العيد لمن طاعته تزيد
و ليس العيد لمن تجمل باللباس و المركوب إنما العيد لمن غفرت له الذنوب 
Hari raya bukanlah untuk orang yang mengenakan pakaian baru, namun hari raya yaitu untuk orang yang keta’atannya bertambah. Hari raya bukan untuk orang yang berhias dengan pakaian dan kendaraan, akan tetapi hari raya yaitu untuk orang yang diampuni dosa-dosanya
Suatu saat, salah seorang Tabi’in Senior Wuhaib ibnul Wardi rahimahullah melihat sekolompok orang tertawa secara berlebihan pada hari ‘Idul Fithri, kemudian berkatalah beliau,
إنْ كان هؤلاء تُقبل منهم صيامهم، فما هذا فِعلُ الشاكرين، وإنْ كانوا لم يُتقبَّلْ منهم صيامهم فما هذا فعلُ الخائفين.
“Jika mereka termasuk orang-orang yang diterima puasanya,maka bukanlah demikian perilaku hamba Allah yang bersyukur, namun kalau mereka termasuk orang-orang yang tidak diterima puasanya, maka bukan demikian pula perilaku hamba Allah yang takut kepada-Nya”.
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post