Friday, 6 December 2019

El Asyi Dan Tokoh Inspiratif

Foto Doc. KMA
Oleh Teuku Azhar Ibrahim
El Asyi merupakan kerikil lonjatan sangat penting dalam kehidupan eksklusif yang mencitai dunia menulis. Dari el Asyi telah terbit novel Burung Rantau Pulang ke Sarang, yang saat ini sedang dalam proses cetak ulang oleh penerbit Al-Kautsar Jakarta. Dari el Asyi timbul semangat untuk mendirikan media online DNA media-online. com, sedang dalam proses establish untuk melawan media sekuler dengan rencana matangnya untuk menghancurkan contoh pikir masyarakat, terutama generasi muda. Saya yakini pula banyak para alumnus el Asyi telah berkiprah dalam dunia media baik sebagai penulis buku, opini dan lain-lain.

Teuku Azhar Ibrahim, Foto Via FB
Masih sangat segar dalam ingatan ketika mendapatkan amanah sebagai Pemred el Asyi, tidak ramai kami waktu itu, sekitar dua puluhan saja anggota KMA, tapi geliatnya menyerupai ratusan.  Selangkah lebih maju dari sebelumnya sebab sudah tidak memakai mesin tik lagi, sudah mengenal komputer dan KMA-lah yang memperkenalkan komputer untuk mahasiswa Indonesia masa itu.

Edisi pertama terbit dengan kru Teungku  Marhama Shaleh, Iqbal Nyak Uma, Mutiara Fahmi, sebab jumlah penulis minim maka terpaksalah Pemred  mempunyai nama samaran bermacam rupa; Teungku Keutapang,  Teungku Pantenek dan lain-lain. Lebih kurang dua tahun saya menjadi Pemred el Asyi dan mengeluarkan 20 edisi. 

Dengan komputer masih ber-monitor tabung, bunyi kipas dalam CPU  bersaing dengan bunyi kipas angin dinding pada animo panas. Bekerja hingga tengah malam mengejar deadline. Kantor redaksi pertama di HayTsamin skretariat KMA.  Kemudian kantor berpindah-pindah tergantung dimana komputer sanggup dipakai.

Ada beberapa profil penting di balik el Asyi walau mereka tak tercatat namanya dalam tim redaksi, dan mereka itu tokoh inspiratif bagi el Asyi. Semua mereka berada dalam ring pertama, satu sama lain saling melengkapi. Tersebutlah Teungku Hamid Usman, dia ialah tokoh idealis pada ketika itu untuk melahirkan el Asyi. Karena ada dua  kubu berfikir dalam merespon acara ekstrakurikuler. Kubu pertama punya pemahaman; di Mesir hanya untuk berguru saja, tidak perlu acara lain selain keluar pagi balik sore dari dingklik kuliah ke perpustakaan, selebih itu tidak dianjurkan. Kubu kedua; disamping kuliah-perpustakaan perlu juga acara melatih diri dalam berorganisasi dan menjalankan acara atau jadwal thalabah.

Teungku Hamid Usman salah satu dari figur kubu kedua, dan menjadi rujukan bagi kami pengurus el Asyi dalam menjalankan tugas, juga meminta nasehat kalau berhadapan kesulitan, dia merupakan bara semangat yang tidak pernah padam. Semangatnya mengebu-gebu menciptakan kami tidak pernah merasa segan dalam melangkah hingga el Asyi diterima sebagai sebuah keharusan dalam KMA. Dari hari kehari menjadi sesuatu yang bergengsi.

Profil lain tak kalah penting ialah Teungku Fachrul Ghazi, dia tidak banyak bicara, tak pula gemar konfrontasi, lebih menentukan membisu dari bertengkar. Namun kiprah dia di balik layar el Asyi amatlah pentingnya.  Berkaitan dengan proses  pernerbitan, saya punya slogan, “Apapun masalahnya balik ke Bang Fachrul,” panggil bersahabat saya untuk beliau. Suatu ketika saya mengalami kesulitan bertubi menjelang penerbitan. Saya telepon beliau, saya kisahkan satu persatu-satu persoalan yang kami hadapi sebagai tim redaksi.  Karena banyaknya persoalan saya urai satu persatu memakai kata “terus” dalam percakapan yang serius itu. Beliau balas,Dari tadi terus  melulu, apa nggal belok-belok?Saya terkesima dengan candaan yang pada kesannya menciptakan pikiran saya hening dan sanggup berfikir selesa.

Rumah Teungku Fachrul dan komputer dia sempat kami jadiakan kantor redaksi, kami bekerja hingga tengah malam, malah kadang kala hingga pagi. Beliau bekerja sebagai staff Kedutaan, mestinya malam perlu tidur nyenyak, tidak digangu dengan suara  kami, juga bunyi sendok menabrak dinding gelas tengah malam, kulkas dia sering juga kami jarah.  Semua bencana itu terekam baik dalam ingatan.

Segala sesuatu yang kesan di permukaan sederhana tapi di balik semua itu punya sejarah panjang, dan orang-orang lapang dada berperan penting untuk menciptakan sesuatu tetap ada dan berjalan lancar. Seperti kita menyebut kata “panen” kesannya praktis saja,  tapi proses untuk hingga kepada panen telah menghabiskan banyak tenaga.

Nama-nama lain juga berada di balik el Asyi menyerupai Teungku Masykur Abdullah, Lukmanul Hakim dan lain-lain. Satu yang tidak sanggup dilewatkan ialah Teungku Iqbal Hanafiah. Saat itu dia terhitung sebagai salah satu konglemerat “versi KMA” dia punya sifat dermawan. 

Pada edisi-edisi pertama terbit el Asyi, kami kesulitan printer yang saat itu masih terhitung barang mewah. Teungku Iqbal sengaja membeli sebuah printer portable untuk mencetak el Asyi.  Printer itu kecil rusaknya pun cepat. Tapi itu tidak ada persoalan demi kelanjutan el Asyi. Katan beliau,Hana jeut keu hai, ente na raseuki ta bloe laen.”  Kemudian dia pindah ke India sehinggatabloe laen tidak sempat terjadi.  Demikian besar kiprah invisible di balik lembaran el Asyi.

Semoga el Asyi tetap bertahan dan terus berbenah mengikuti keadaan dengan tuntutan zaman. Selamat Ultah ke 25. Sukses selalu, melahirkan lagi lebih banyk tokoh inspiratif di balik halaman el Asyi.

Salam kompak dari Banda Aceh
*Tulisan ini telah dimuat pada Buletin el Asyi edisi khusus Seperempat Abad



banner
Previous Post
Next Post