Monday 23 December 2019

Fikih I’Tikaf (6)

 Tidak disebutkan keterangan waktu dan daerah  Fikih I’tikaf (6)


Perkataan penulis rahimahullah مَسْنُونٌ “hukum i’tikaf yaitu sunnah” mempunyai faedah berikut.

4. Tidak disebutkan keterangan waktu dan daerah (masjid)

Penulis di matan ini tidak memberi keterangan waktu mupun masjid tertentu. Beliau rahimahullah tidak mengatakan bahwa i’tikaf disunnahkan pada bulan Ramadhan dan tidak pula menyampaikan bahwa i’tikaf disunnahkan di tiga masjid yang mulia, masjidil Haram di Mekkah, masjid Nabawi, dan masjid Aqsha.
Dengan demikian, lahiriyah dari perkataan penulis مسنون “hukumnya yaitu sunnah” maksudnya yaitu disunnahkan i’tikaf di setiap waktu dan sah dilakukan di masjid manapun. Jadi, berdasarkan secara tersurat, perkataan penulis مسنون “hukumnya yaitu sunnah” sanggup disimpulkan:
1. Tempat i’tikaf yaitu setiap masjid.
Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, ketika kalian sedang beri’tikaf dalam masjid” (Al-Baqarah: 187).
Penjelasan:
Huruf alif lam di sini adalah alif lam lil’umum, yaitu alif lam yang menyampaikan makna umum sebab seandainya i’tikaf tidaklah sah kecuali jikalau dilakukan pada masjid-masjid tertentu saja, maka tentulah huruf alif lam di sini adalah alif lam lil’ahdi, yaitu alif lam yangmenunjukkan suatu masjid tertentu yang sudah dipahami sebelumnya dalam pikiran pembaca Ayat di atas.
Akan tetapi, hal ini tidaklah didukung dengan dalil. Oleh sebab itu, hal ini harus dikembalikan kepada aturan asal alif lam dalam konteks, yaitu alif lam lil’umum,makna umum untuk seluruh masjid, sehingga menyampaikan bahwa i’tikaf itu sah dilakukan di masjid manapun juga.
Adapun riwayat berikut ini,
قَالَ حُذَيْفَةُ لِعَبْدِ اللَّهِ يَعْنِى ابْنَ مَسْعُودٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : عَكُوفًا بَيْنَ دَارِكَ وَدَارِ أَبِى مُوسَى وَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لاَ اعْتِكَافَ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَوْ قَالَ فِى الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ . فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ : لَعَلَّكَ نَسِيتَ وَحَفِظُوا وَأَخْطَأْتَ وَأَصَابُوا
Hudzaifah menyampaikan kepada Abdullah, maksudnya Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, ‘(Suatu kaum) beri’tikaf (di masjid) yang terletak di antara rumah Anda dan rumah Abu Musa. Padahal Anda telah mengetahui bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak sah i’tikaf (kecuali) di Masjidil Haram atau mengatakan, di tiga masjid. Abdullah mengatakan, mungkin Anda lupa dan mereka masih hafal. Anda salah, dan mereka yang benar.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan riwayat ini sebagai berikut, “Semua masjid yang ada di dunia merupakan daerah yang sah untuk beri’tikaf. Tidak khusus di tiga masjid saja sebagaimana diriwayatkan dari Huzaifah bin Al-Yaman radhiyallaahu ‘anhu, bahwa bekerjsama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah sah beri’tikaf kecuali di tiga masjid,” (tidaklah demikian) sebab bekerjsama hadits ini lemah.
Yang menyampaikan kelemahannya yaitu bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhumelemahkannya, (yaitu) ketika Huzaifah radhiyallaahu ‘anhu menyebutkan kepadanya ihwal suatu kaum yang beri’tikaf di sebuah masjid yang terletak diantara rumah Hudzaifah dan rumah Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Lalu berkunjunglah Hudzaifah kepada Ibnu Mas’ud  dan berkata, “Ada suatu kaum yang beri’tikaf di masjid sana, padahal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda ‘Tidaklah sah i’tikaf kecuali di tiga masjid saja.’”
Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu pun berkata, “Mungkin mereka benar dan Anda salah. Mereka ingat dan anda lupa.” Jadi, Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu  melemahkan hadits ini, secara aturan maupun riwayat.
Adapun dari sisi hukum, maka perkataan ia “Mereka benar dan Anda salah”, sedangkan dari sisi periwayatan, maka terdapat dalam perkataan ia “Mereka ingat dan Anda lupa”, seorang insan mungkin saja mengalami lupa.
Kalaupun hadits ini shahih, maka maknanya adalah tidak ada i’tikaf  yang sempurna,maksudnya i’tikaf di ketiga masjid tersebut lebih tepat dan lebih utama daripada i’tikaf di masjid-masjid lainnya. Sebagaimana shalat di ketiga masjid tersebut juga lebih utama daripada shalat di masjid-masjid lainnya.”
Adapun dari akal, Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa bagaimana mungkin aturan i’tikaf yang disunnahkan bagi seluruh umat, namun hanya sah dilakukan di ketiga masjid saja?
Kesimpulan:
Pendapat yang benar yaitu i’tikaf sah dilakukan di setiap masjid. Akan tetapi, i’tikaf yang dilakukan di ketiga masjid tersebut lebih utama, sebagaimana shalat yang dilakukan di ketiga masjid tersebut juga lebih utama.
2. Masa i’tikaf yaitu setiap waktu.
Kesimpulan kedua ini yaitu pendapat penulis rahimahullah dan ulama lainnya. Berdasarkan pendapat ini, jika kita mau i’tikaf walaupun di luar bulan Ramadhan, selama tidak meninggalkan sesuatu yang lebih penting, maka hal ini disunnahkan.
Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa pendapat ini perlu dikritisi, karena:
  1. Hukum Syari’at itu (diantaranya) diambil dari perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah i’tikaf di luar bulan Ramadhan kecuali ketika mengqadha’ i’tikaf.
  2. Demikian pula, Syaikh Al-Utsaimin tidak pernah mengetahui ada seorangpun diantara para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang melaksanakan i’tikaf di luar bulan Ramadhan kecuali ketika mengqadha’ i’tikaf.
  3. Syaikh Al-Utsaimin tidak pernah mengetahui ada satu hadits pun dengan lafadz yang umum atau mutlaq (tidak ada keterangan pengikat) dalam pensyari’atan i’tikaf di setiap waktu.
  4. Kalau seandainya i’tikaf di setiap waktu disyari’atkan, tentulah dalil ihwal hal ini tersebar luas, sebab Allah Ta’ala sudah memerintahkan Nabi-Nya dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” (Al-Maidah: 67).
Terlebih lagi faktor pendorong untuk melaksanakan ibadah i’tikaf sangatlah berpengaruh dan adanya kebutuhan untuk dinukilnya dalil tersebut.
Bagaimana dengan nadzar i’tikaf Umar radhiyallahu ‘anhu?
Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كنت نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام؟ قال: “فأؤف بنذرك
“Aku pernah bernazar di zaman jahiliyah (sebelum masuk Islam) utnuk melaksanakan i’tikaf semalam di masjidil Haram? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan penuhi nazarmu”(HR. Bukhari dan Muslim).
Pemahaman terhadap hadits ini
1. Hukum yang ditunjukkannya
Hadits ini memang menyampaikan bolehnya i’tikaf di luar ramadhan sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada Umar radhiyallahu ‘anhu untuk memenuhi nazarnya, kalau seandainya hal ini hukumnya makruh atau haram tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang Umar radhiyallahu ‘anhu memenuhi nazar tersebut.
Namun, i’tikaf diluar Ramadhan tersebut tidaklah disyari’atkan secara umum bagi umat ini, sehingga tidak kita katakan kepada orang-orang,“I’tikaflah Anda di masjid, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, sebab hal itu hukumnya sunnah!” Jadi kita tidak mendorong setiap orang untuk i’tikaf kapanpun ia suka. Hanya saja, jikalau ada yang beri’tikaf di luar ramadhan, maka tidaklah kita ingkari dan hukumnya mubah (boleh). Jadi, tidak kita katakan perbuatan orang itu sebagai hal yang gres dalam agama. Akan tetapi kita katakan bahwa sebaik-baik petunjuk yaitu petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Hadits lain yang semakna dengan hadits ini
Ada hadits lain semakna dengan hadits di atas yang menyampaikan bahwa ada suatu kasus yang mubah hukumnya, namun tidak disyari’atkan secara umum dan tidak pula dituntut bagi setiap orang untuk melakukannya. Hadits tersebut adalah:
1) Hadits ihwal membiasakan mengakhiri bacaan Al-Qur’an dengan surat Al-Ikhlas di dalam shalat
Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seorang lelaki dalam suatu pasukan perang. Laki-laki tersebut menjadi imam shalat bagi para sahabatnya dan selalu mengakhiri bacaan suratnya dengan surat Al-Ikhlas. Ketika mereka pulang, disampaikanlah oleh mereka informasi tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia bersabda,
سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ
“Tanyakanlah kepadanya mengapa ia melaksanakan hal itu?” Lalu mereka pun menanyakan kepadanya. Ia menjawab,’Karena di dalamnya terdapat sifat Ar-Rahman, dan akupun bahagia  membacanya’ (Mendengar hal itu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ
Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah Ta’ala mencintainya.” [1]
Ibnu Daqiq Al ’Ied menjelaskan,
هذا يدل على أنه كان يقرأ بغيرها ثم يقرأها في كل ركعة وهذا هو الظاهر، ويحتمل أن يكون المراد أنه يختم بها آخر قراءته فيختص بالركعة الأخيرة.
”Orang tersebut biasa membaca surat selain Al-Ikhlash, kemudian sehabis itu dia menutupnya dengan membaca surat Al-Ikhlash  pada setiap raka’at.  Kemungkinan pertama inilah makna yang nampak dari hadits di atas. Kemungkinan kedua, orang tadi menutup tamat bacaan Al-Qur’an dengan surat Al-Ikhlash (dalam shalat), sehingga surat Al-Ikhlas khusus dibaca di raka’at terakhir.”[2]
Berdasarkan hadits ini, jikalau ada yang melaksanakan perbuatan tersebut, maka boleh hukumnya, namun tidaklah disyari’atkan secara umum bagi umat ini untuk selalu menutup bacaan shalatnya dengan surat Al-Ikhlas.
2) Hadits ihwal sedekah Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu
أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا
Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada ketika itu tidak berada di tempatnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, bekerjsama ibuku telah meninggal, sedangkan saya pada ketika itu tidak berada di daerah beliau. Apakah bermanfaat jikalau saya menyedekahkan sesuatu atas namanya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad menyampaikan kepada ia shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu saya bersaksi kepadamu bahwa kebunku yang berbuah ini saya sedekahkan atas namanya’.”[3]
Memang benar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  menyetujui bahwa berinfak atas nama ibu yang sudah meninggal itu bermanfaat bagi sang ibu, namun perbuatan ini tidaklah disyari’atkan secara umum bagi umat ini sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah bersabda kepada umat ini, “Wahai umatku, bersedekahlah atas nama ibu-ibu kalian sehabis meninggalnya mereka!”
Demikianlah intisari dari pemahaman terhadap hadits tentang  nazar i’tikaf Umar radhiyallahu ‘anhu yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah[4].
(Bersambung).
***
[3] HR. Bukhari
[4] Diolah dari Asy-Syarhul Mumti‘ 6/505-506 (PDF).
___
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post