Thursday 19 December 2019

Hukum Alasannya Yaitu (3)

Enam Catatan Penting Terkait Hukum Sebab Pertama Hukum Sebab (3)


Enam Catatan Penting Terkait Hukum Sebab Pertama

Berikut ini enam catatan penting terkait aturan alasannya pertama,
1. Yang haram ada ganti halalnya
Seorang hamba yang menjauhi alasannya yang haram Lillahi Ta’ala berarti bertakwa kepada Allah Ta’ala. Barangsiapa bertakwa kepada-Nya, pasti akan dianugrahi jalan keluar. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, pasti Dia akan menganugerahkan kepadanya jalan keluar” (Ath-Thalaaq: 2).
2. Cukupkan dengan yang halal
Jika sudah berusaha melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, bertawakal kepada-Nya, dan berusaha maksimal mendapat alasannya yang halal, namun kita tidak juga didapatkan, maka alasannya yang Allah Ta’ala mudahkan bagi kita pasti sudah bisa mencukupi diri kita.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, pasti Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah memenuhi sesuatu yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (Ath-Thalaaq: 3).
Contoh:
1) Seseorang yang telah berusaha maksimal untuk mendapat pekerjaan halal dengan penghasilan besar dan tidak kunjung mendapatkannya, hendaknya mencukupkan diri dengan pekerjaan halal yang Allah mudahkan. Demikian lantaran pekerjaan itu telah cukup sebagai bekal untuk bertakwa kepada Allah. Kecukupan tersebut dipandang dengan kacamata qana’ah. Artinya, segala hal yang menjadi pilihan Allah bagi orang yang bertakwa pasti baik.
Allah Maha Tahu wacana pilihan yang paling bermanfaat dan paling sempurna bagi orang tersebut. Tidak ada alasan baginya untuk mencari alasannya yang haram. Sikap ini akan membawanya untuk bersikap irit dalam membelanjakan harta, bersabar, serta berlapang dada terhadap kesulitan yang dihadapinya, bahkan mendorongnya untuk bersyukur atas anugerah Allah yang telah ada.
2) Seseorang yang sangat ingin menunaikan rukun Islam kelima, haji ke baitullah, namun tak kunjung bisa menunaikannya, padahal sudah berusaha maksimal, maka dalam kondisi menyerupai ini, ibadah lain yang bisa dilakukan dengan tulus dan sesuai dengan sunnah sudah cukup mengakibatkan masuk surga.
3) Seseorang yang bercita-cita menuntut ilmu syar’i sampai menjadi ulama yang bertakwa, namun ternyatatidak bisa meraihnya, padahal sudah berusaha maksimal untuk mendapatkannya, maka bentuk menuntut ilmu syar’i yang dimudahkan oleh Allah baginya sudah cukup untuk bisa berjumpa dengan Allah di dalam Surga-Nya.
3. Tugas insan hanyalah melaksanakan alasannya yang benar dan menyerahkan hasil kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan perbuatlah kebajikan, biar kau mendapat kemenangan” (Al-Hajj: 77).
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kalian tidak sanggup menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” (At-Takwiir: 29).
Tugas insan ialah berusaha melaksanakan alasannya yang bermanfaat, bila berhasil, maka ia masih mempunyai kiprah bersyukur dan bila tidak berhasil, maka ia juga mempunyai kiprah bersabar serta melaksanakan alasannya gres yang bermanfaat sesuai dengan tuntutan peribadatan kepada Allah Ta’ala. Dengan demikian, persoalan hasil bukanlah urusan manusia, bila ia sudah bertakwa dan berusaha dengan baik secara maksimal, pastilah kebaikan yang didapatkannya, terlepas apakah keinginannya terpenuhi atau tidak!
Hal ini lantaran bersyukur ketika mendapat nikmat itu kebaikan, sebagaimana bersabar ketika mendapat tragedi alam itu juga kebaikan.
Jadi, insan ialah hamba Allah dalam setiap keadaan, ketika senang maupun sedih, tetap tertuntut untuk menghamba kepada-Nya saja! Saat seseorang mendapat nikmat, Tuhannya ialah Allah, begitu pula ketika ia tertimpa musibah, Tuhannya tetaplah Allah, sehingga ia tetap tertuntut untuk menghamba kepada-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki dalam Syari’at-Nya pada setiap keadaan.
Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitab Al-Wabilush Shayyib menjelaskan kunci kebahagiaan manusia,
اذا أنعم عليه شكر وإذا ابتلى صبر وإذا أذنب استغفر فان هذه الامور الثلاثة عنوان سعادة العبد
“Jika ia mendapat nikmat, maka ia bersyukur, bila diuji dengan musibah, ia bersabar dan bila berdosa, ia pun istighfar. Tiga perkara ini ialah kunci kebahagiaan seorang hamba”.
(Bersambung)
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id
banner
Previous Post
Next Post