(Based on true story)
Oleh: Ibnu Hafif al-Irsyadi
![]() |
Google image |
“Kitab ini yakni ajaran hidup. Jika kalian berpegang teguh padanya, pasti hidup kalian akan tentram. Akan tetapi jangan sekali-kali membacanya sendirian di kamar tanpa ada yang membimbing, alasannya yakni kalian sanggup saja salah memahami dan sesat.”
“Rosita, ini Mama belikan Al-Kitab dengan cover merah muda, kesukaan kamu. Tapi ingat jangan dibaca sendiri dikamar.”
“Ros, kau rajin banget ya. Ke mana-mana bawa Al-Kitab. Memangnya kau mau menghafalnya ya?”
“Kak Ros sering bawa Al-Kitab, tapi kok gak pernah dibaca?”
***
Rosita terduduk lesu di meja belajarnya yang terletak sempurna di samping daerah tidurnya. Matanya terus memandang Al-Kitab berwarna merah muda yang tergeletak di atas meja. Ia sedang merenung. Sudah setahun lebih mama memberikannya hadiah Al-Kitab, namun hingga detik ini belum banyak yang ia ketahui wacana isinya. Ia memang selalu membawanya kemanapun ia pergi, bukan saja alasannya yakni itu hadiah ulang tahun dari mamanya. Tapi ia memang menyayangi Al-Kitab, sebagaimana ia menyayangi sang mama.
“Aku sedang membaca kitab suci agama kami,” ia teringat perkataan Qosim sahabat sekelasnya, saat ia mendapatinya sedang membaca sebuah buku berbahasa Arab dengan bunyi yang indah.
“Memangnya boleh membaca kitab suci tanpa ada yang membimbing?”
“Namanya juga kitab suci Ros. Kalau gak boleh dibaca, gimana sanggup ia menjadi ajaran hidup kita. Malah dalam agama kami membaca kitab suci merupakan perbuatan mulia, bayangkan setiap abjad diganjar dengan sepuluh kebaikan. Konon lagi kalau kita hafal. Subhanallah. Masak kalian dihentikan membaca kitab suci kalian tanpa adanya Pendeta?”
Percakapannya dengan Qosim tadi pagi itu merenggut ketenangan hatinya sore ini. Ia gelisah. Matanya belum lepas dari kover sebuah buku berwarna pink dengan bordiran hitam indah goresan pena Al-Kitab di atasnya.
Gemuruh hujan di luar rumah tidak mengusik konsentrasinya. Kedua tangannya ia genggam dengan jari jemari saling menyatu. Bibir dan dagunya melekat dengan kumpulan jari tersebut. Sesekali ia menarik nafas panjang melalui genggaman tersebut dan kemudian melepasnya. Matanya kadang juga terpejam. Rasa gelisahnya semakin menjadi-jadi. Tak terasa dahinya berkeringat, padahal udara sangatlah dingin.
Setelah berkali-kali tarikan nafas dan merasa sedikit tenang, ia menurunkan kedua tangannya ke atas meja. Ia kembali ingin mencoba meraih Al-Kitab tersebut dan membukanya. Ini kali kelima ia mencoba. Setiap kali tangannya menyentuh kitab itu, ada hawa sejuk menyeramkan yang menyelinap di ubun-ubun kepalanya.
Entah perasaan takut pada siapa yang tiba-tiba saja hadir dan meruntuhkan keberaniannya untuk membaca kitab tersebut. Keberanian yang sudah ia tumbuhkan semenjak pagi tadi, semenjak ia iri melihat Qosim yang dengan bahagia hati membaca kitab sucinya. Sejak ia merasa lebih menyayangi kitab agamanya daripada Qosim. Sejak ia percaya Al-Kitab yakni kitab yang paling otentik kebenarannya.
Kini tangannya sudah menyentuh kover tersebut. Matanya terpejam. Ia sudah terbiasa dengan perasaan takut yang kembali muncul. Keberaniannya kian menebal. Tangan kirinya membuka Al-Kitab, sedangkan tangan yang satunya memegang sisi lain kitab tersebut. Ia mencoba membuka mata dan mencoba menangkap rangkaian goresan pena dua kolom di hamparan halaman pertama. Hampir saja ia memulainya.
“Tok tok tok.” Suara ketukan pintu mengejutkannya. Ia buru-buru menutup kitab tersebut. ”Rosita, kau kenapa. Dari tadi mama capek memanggilmu. Ayo kita makan. Semuanya sudah siap di meja makan.”
“Iya Ma, maaf tadi Rosita sedang dengerin musik pakai headset.” Rosita membuka pintu dan mengikuti mamanya turun. Dan Al-Kitab tersebut masih tergeletak bagus di atas meja.
***
Wajah sedih Rosita belum berubah semenjak percakapannya dengan Qosim tempo hari. Perasaan tidak hening yang muncul semakin membesar. Belum pernah ia segelisah ini. Ia sudah jarang membawa kitab sucinya. Ia lebih menentukan meninggalkannya di atas meja. Terhitung hingga hari ini sudah puluhan kali ia berusaha mencoba membacanya, namun selalu gagal. Kalau tidak alasannya yakni panggilan mamanya, telepon Diani temannya, mata yang mengantuk atau perasaan takut yang kembali muncul.
Hari ini ia ingin bertemu Qosim. Ia ingin memompa kembali keberaniannya yang sudah mulai menghilang. Entah itu teori dari mana, akan tetapi ia yakin kalau melihatnya dan bertanya padanya perihal kitab suci, ia akan kembali bersemangat untuk membaca Al-Kitab.
Seperti biasa Qosim berada di ruangan Rohis sekolah. Ia sedang duduk di depan meja pengurus Rohis, maklumlah ia yakni ketua Rohis. Ketika Rosita hingga dan mengetuk kosen pintu yang terbuka, Qosim terkejut. Apa yang menciptakan gadis Katolik berambut panjang tergerai ini mengunjungi Rohis? Batinnya.
“Qosim, saya boleh minta waktu sebentar?” Rosita meminta dengan memelas.
“Hmm, dengan bahagia hati. Asal jangan di kantin ya, saya sedang puasa.” Qosim tersenyum diikuti juga anggukan Rosita.
“Di kursi taman aja,” tawar Rosita yang diikuti dengan persetujuan Qosim.
Sesampainya di taman Rosita tidak mau membuang waktu, ia eksklusif menyerbu Qosim dengan pertanyaannya.
“Menurutmu semua kitab suci itu benar atau tidak?”
Qosim melongo mendengar pertanyaan yang terkesan tiba-tiba tersebut. Ia menelan ludah. Tidak menyangka Rosita akan bertanya demikian. Jawabannya akan menentukan ke arah mana pembicaraan ini, dan bahkan juga hubungan pertemanan mereka. Ia merasa Rosita sedang mencari agama yang benar, ia tidak mau membuang sia-sia kesempatannya untuk berdakwah. Oleh hasilnya ia harus menjawab pertanyaan tersebut dengan sangat bijak.
“Tergantung.”
“Tergantung apanya?”
“Tergantung kau memandangnya dari sudut mana? Kalau memandangnya dari sudut agama masing-masing, maka kitab suci lain pasti tidak benar. Makanya saranku, kalau memang mau mencari kebenaran pandanglah dari sudut pandang objektif bukan subjektif. Artinya kau tidak memihak satupun, dan bacalah semuanya. Jika memang kau sedang mencari kebenaran maka kau akan mendapatkannya.”
“Tapi jangankan membaca kitab lain, membaca Al-Kitab saja dihentikan tanpa adanya Pendeta?”
“Tidak ada kitab suci yang tidak boleh dibaca. Jika dihentikan berarti ada sesuatu di balik itu,” ulas Qosim sambil tersenyum.
Rosita kembali gelisah, kali ini berbeda. Ia benar-benar sangat gelisah. Ia tidak memandang Qosim, matanya tertuju pada hamparan rumput taman yang berair alasannya yakni hujan tadi malam. Tanpa pamit ia beranjak dari kursi taman dan menghilang dalam kerumunan siswa di kantin sekolah, dan tentunya tanpa menoleh ke belakang. Qosim hanya tersenyum dan berdoa biar Rosita mendapat petunjuk. (Bersambung)