Sunday, 2 February 2020

Agama Di Balik Perang ?

Gerbang Makam Sulthanul Ulama Syaikh Izzuddin Bin Abdus Salam di Kairo

Oleh :Zahrul Bawady, Lc.
Penulis Mahasiswa Universitas Liga Arab, Alumnus Bustanul Ulum Langsa.

Invasi tentara Salib Tiga ke Palestina yang dilabeli sebagai perang suci, perang merebut kembali tanah air dari pencuri, perang membuka syurga atau label-label bertema ruhani lainnya harus runtuh dini, tak lain jawaban ulah salah seorang pemimpin perang berjulukan Tankrid.


Dengan tamaknya Tankrid sekitar tahun 1108 mengambil seluruh harta yang tertimbun di Mesjid Umar. Harta yang diambil Tankrid jumlahnya sangat banyak. Maximus Monrond menukilkan fakta dari para sejarawan bahwa Tankrid menghabiskan waktu dua hari penuh untuk mengeluarkan seluruh harta dan memakai enam kendaraan untuk mengangkutnya ke kawasan lain.

Dan yang lebih mengherankan lagi, alibi untuk menyerang Al Quds (Yerussalem) ialah untuk merebut tanah suci, sebagai kawasan asal permintaan dari agama yang sedang mereka anut. Namun lupakah mereka, bahwa agama yang mereka anut sebetulnya milik orang Timur juga? Hanya distorsi sejarah dan kitab suci yang lalu menciptakan mereka melenceng dari agama tersebut.

Tentara salib mengalami perlawanan ahli dari Daulah Zankiyah (Imaduddin Zanki dan Nuruddin Zanki), Ayyubiyah dan Mamalik. Kemudian mereka berhasil kembali menguasai tanah suci Palestina.

Kemenangan ummat Islam disambut suka cita, namun tidak melupakan nilai kemanusiaan. Sebagaimana Islam mengatur seluruh sendi kehidupan, demikian juga Islam mengatur duduk perkara kemaslahatan jihad.

Shalahuddin Al Ayyubi (532-589 H) mengirim surat kepada Richard "The Lion Heart" (w. 1199 M) yang di antaranya berisi, "Quds ialah tanah kawasan Nabi kami (Nabi Muhammad Saw.) pernah shalat dan melakukkan mikraj darinya. Maka selama api jihad masih terus berkobar, mustahil Ummat Islam melepaskannya. Keberhasilan Crusider (salibis) sebelumnya ialah alasannya keadaan bangsa kami sedang lemah. Tujuan kami mempunyai al Quds bukan untuk melaksanakan pelecehan terhadap pribumi, tapi menjaga tanah suci."

Lihat perbedaannya dengan bencana genosida di Baghdad pada tahun 656 H. Menurut Al Nadawi, lebih 1 juta orang meninggal dari bencana tersebut. Setelahnya, Tatar yang dipimpin jelmaan Jenghis Khan (Hulagu ialah cucunya) berhasil menguasai Syam pada 658 H. Darah ummat Islam tak sempat mengering. Mirisnya lagi, beberapa raja kecil malah tunduk di hadapan pasukan Tatar demi mengamankan kekuasaannya.

Ketika Tatar dan Salibis bersekongkol melawan Islam, pemimpin perang Tatar; Hulagu (614-663) mengirim surat kepada Raja Mudhaffar Quthuz (658) di Mesir. Di antaranya berisi ancaman,

" Kami ialah tentara dewa di muka bumi, Kami telah menguasai Baghdad, kami hancurkan tentaranya, kami rubuhkan bangunannnya dan kami tawan penduduknya. Kalian ialah korban kami selanjutnya. Maka serahkanlah negeri kalian secara sukarela. Sebelum kalian menyesal dengan keputusan yang salah. Kami tidak akan menyayangi hanya alasannya tangisan apalagi berlemah lembut kepada orang yang mengeluh. Kami sudah meminta kalian hanya dapat lari. Carilah negeri yang dapat menyelamatkan kalian."

Mesir yang secara internal pernah mengalami pergolakan sudah sangat paham dengan bahaya ini. Mesir di bawah Mamalik Bahriah mengalami 29 kali pergantian Sultan dan 10 di antaranya mati terbunuh. Selanjutnya Mamalik Muizziah di bawah pimpinan Izzudin pernah berhasil mengatur politik di Mesir selama tujuh tahun. Namun alhasil ia terbunuh.

Nah dikala Hulagu mengirim surat tersebut, Quthuz sedang memimpin Mamalik. Ia naik tahta pada 657 H. Hanya tiga bulan sesudah menjadi raja, ia berhasil menyatukan hati para pemimpin. Beberapa pejabat yang dianggap memungkinkan berkhianat diganti, pelarian Mamalik Bahriah diajak kembali, Syam diajak bergabung dengan Mesir. Ia membersihkan jiwa rakyat dan pejabat. Quthuz kolam oase. Ia memperbaiki kondisi Ummat Islam terlebih dahulu, sebelum menghimpun pasukan untuk menghadapi Tatar.

Namun duduk perkara rupanya tak pernah henti. Mamalik mengalami krisis. Tidak ada pendanaan untuk memperkuat militer. Para pejabat duduk berembuk. Mereka tetapkan menarik pajak dari rakyat. Namun ini tidak dapat dilakukan semena-mena. Sebagai Kerajaan relegius, diperlukan pedoman ulama dalam hal ini.

Izzuddin Abdussalam (lahir 577 H) menjadi sandaran. Ulama yang oleh muridnya Ibnu Daqiq Id ini digelar Sulthanul Ulama ini berumur sekitar 81 tahun dikala itu. Maka keluarlah pedoman Syaikh Izzuddin :

" Setiap musuh yang menyerang Islam harus dihadapi. Rakyat harus senantiasa membantu. Dengan syarat tidak ada kas dalam kantong Baitul Mal. Akan tetapi sebelum mengambil harta rakyat, terlebih dulu bagi raja dan pejabat pemerintahan untuk menyumbangkan seluruh hartanya kecuali bekal perang saja. Jika tidak, maka kerajaan dihentikan mengutip uang dari rakyat."

Fatwa tersebut benar benar berhasil. Seluruh pejabat menyerahkan hartanya. Rakyat merespon dengan gegap-gempita. Tak perlu dipaksa mereka menyerahkan harta mereka. Sikap yang kiranya perlu diteladani sepanjang masa.

Persedian sudah cukup. Quthuz dan pasukan mamalik menyambut tantangan Tatar dengan tangan terbuka. Mereka tidak lari, apalagi menyerahkan diri. Taktik Quthuz sangat brilian. Daripada diserang di dalam rumah, Quthuz lebih menentukan untuk berada sebagai pihak penyerang. Mereka bersiap menyerang Tatar di Palestina.

Tepatnya Juli 1260 M, atau Syakban 658 H tentara Quthuz berangkat melewati Arish menuju Gaza. Akhir syakban Pasukan pertama di bawah pimpinan Ruknuddin Baibres sudah menguasai Rafah, Dir Balah dan Khan Yunus. Tentara Tatar yang dikala itu berpusat di Lebanon terkejut. Tentara Islam terus menguasi Asqalan dan Yafa.

Tentara Islam lalu mengarah ke Ain Jalut. Selain tentara yang dipersiapkan, warga Palestina yang sebelumya bersembunyi kembali bersemangat melawan Tatar. Quthuz dengan keteladanannya berhasil menggerakan persatuan ummat Islam.

Malamnya, sempurna pada malam 25 Ramadhan 658. Quthuz membangunkan pasukannya. Diajak mereka shalat tahajud dan bermunajat kepada Allah untuk keberhasilan jihad esok hari.

Jumat 25 Ramadhan 658 dalam perang yang menghabiskan waktu sehari di Ain Jalut, mengambil strategi perang Khalifah Umar dikala membebaskan Persia. Quthuz sang Raja Mamalik dengan pasukannya berhasil mengalahkan tentara Tatar di Ain Jalut berlanjut ke Bisan. Mitos tentara Tatar tak pernah kalah pun terbantahkan.

Sekitar 40 hari sesudah perang Ain Jalut, Sulthan Malik Mudhaffar Saifuddin Quthuz pun mangkat menemui Tuhannya. Begitu besar jasa yang diukir, walaupun dalam tempo yang sangat singkat.
banner

Related Posts: