Oleh : Mawaddah Nashruddin
Orang bilang, hidup di Kairo serba mudah. Serba murah. Banyak jalan menuju kaya. Itu sih masih katanya. Sebelum saya menjalani sendiri jalan menuju ‘kaya’ itu.
Dua ahad yang lalu, tahta kebendaharaan rumah resmi jatuh ke tanganku. Sebelumnya saya sempat menolak, bisa-bisa uang itu habis saya hutangi bila saya sedang kere. Tapi tetap saja hasilnya saya juga yang harus mengurus keuangan rumah. Mengingat saya yang paling usang menjadi penghuni rumah megah di daerah Bawwabah ini.
Sebelumnya si Mumut (bendahara sebelumnya) sempat ngajarin segala tetek-bengek urusan rumah. Bayar uang air kapan, bayar gas berapa, sampah berapa, ngatur uang rumah gimana, uang listrik biasanya berapa, hatta urusan kecil mirip cara minta uang rumah sama yang telat bayar gimana seharusnya.
Sampailah kami ke satu kondisi dimana kami dituntut untuk mandiri…
Hari itu tukang listrik datang. Menagih pembayaran bulan Januari. Dengan wajah datar ia sodorkan kuitansi pembayaran. Zakiyah yang mengambil. Aku berlari dari dalam kamar, ingin tau dengan harga listrik untuk bulan lalu. Aku sempat melongo, mataku melotot pada selembar kertas yang tercantum terperinci 300 LE yang harus kami keluarkan untuk membayar itu si tukang listrik.
Ini musykilah, dalam hati saya membatin. Bulan kemudian uang listrik cuma 100 LE, bulan ini naik drastis menjadi 300 LE. Mau tidak mau, nrimo nggak ikhlas, untuk membayar 300 LE. itu ya harus menguras uang belanja bulan ini. Kacau.
Aku berfikir bagaimana cara memberikan ke anak rumah, tidak termasuk adik-adik yang gres masuk beberapa hari lalu. jadi sisanya hanya kami berenam. Kami berenam yang harus menanggung kekurangan untuk jatah belanja bulan ini.
Akhirnya, lewat media BBM & WA saya jelaskan ke mereka. Asli, saya bergetar mencari kata-kata yang sanggup menciptakan mereka sanggup memahami kondisi kami ketika itu. Dengan kondisi keuangan yang sama-sama kejepit, saya tidak tega meminta mereka untuk tabarru-an. Tapi diluar dugaan, mereka santai-santai saja dengan duduk kasus yang saya sampaikan.
Ada wangsit gila –menurutku- yang tiba-tiba sudah mereka sepakati. “Kita jualan saja” kata kak Mulia.
Beruntung kami punya seorang madam di rumah ini. Kak Mulia, seorang abang yang punya keahlian memasak, dan aneka jajanan yang sudah pernah dicobanya rata-rata memang enak. Aku hasilnya ikut tertarik dengan rencana ini. Tanpa melibatkan adik-adik, hasilnya dengan bermodal 15 LE. uang itu kami pakai untuk beli spaghetti dan bahan-bahan yang lain. Cuma 15 LE. “Cuma”. Murah kan?
Hari pertama misi kami berjalan lancar. Bahkan diluar dugaan, dari uang yang tadinya cuma 15 le itu, kami sulap jadi 85 le. 65 le sanggup keuntungan bersihnya. Sihiiiiyy, asik juga ternyata ya!
Hari kedua, kami jadi ketagihan. Kami bekerja lebih semangat lagi. Target pasar kami hari itu yakni di program pengajian mingguan KMA. KMA, wak!
Gak kebayang deh, gimana nanti jualnya, rame ikhwannya pulak. Tapi ya, bismillah saja. Kalau halal insyaAllah gak kemana. Di lubuk hati yang paling dalam saya merasa sangat bersalah, membawa teman-temanku pada situasi mirip ini. Baru beberapa hari memegang tampuk kepemimpinan sudah timbul masalah, walaupun salahnya bukan mutlak dariku (sok-sok cari alasan lagi).
Kata mereka, Mumut ibaratnya mirip Mubarak. Di jamannya dia, warga bawwabah hidup makmur. Jaya raya. Bayar rumah gak pernah telat. Aku sering telat bayar rumah, alasannya tanggal makmurku bukannya di awal bulan, tapi justru di pertengahan bulan. Awal-awal bulan itu termasuk masa-masa kere buatku. Karena orangtuaku yang PNS, gres sanggup mengirim uang tanggal-tanggal 6, belum lagi nanti bila mamak belum sempat ke Bank. Ya ma’alesy da’wah deh.
Mumut dengan segala harta yang beliau punya (ceileh) selalu sigap menanggung kekurangan angota. Uang rumah selalu dibayar sempurna waktu walaupun harus ditambal pakek uangnya dulu. tak jarang bila sesekali kami goda untuk mentraktir makan di warung, beliau juga mau. Pokoknya serba top markotop deh (bek GR mut).
Nah -kata mereka lagi- jamanku ini menyerupai jamannya Mursi. Gak tau deh maksudnya apa. Padahal kan saya gres berkuasa selama dua minggu, kok sudah kelihatan mirip jamannya Mursi? Haha. ya mungkin beberapa hari lagi saya bakalan di perebutan kekuasaan juga kali ya.
Oke. Hari itu jadi juga saya dan beberapa karyawan lainnya jualan di KMA. Sok keren bawa dagangannya pakek taxi pula. Jajanannya mie goreng &. tahu isi plus sambalnya masing-masing. Baru turun dari taxi saya pribadi jantungan rasanya. Dag dig dug gak karuan. Itu barang dagangan gak ada yang mau bawa masuk ke dalam. Pada malu! Karena ternyata program sudah dimulai 15 menitan yang lalu. Kali ini bukan lagi jantungan, tapi keringatan walaupun lagi animo dingin. Hahay!
Akhirnya saya memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Grasak-grusuk langkah kaki bikin semua orang melihat ke arahku. Ya salam, malunya minta emas (bukan minta ampun).
Akhirnya, pengajian selesai. Ternyata sesudah ngaji di KMA akan diadakan program takziyah, wiridan juga sammadiyah. Dan kami sekeluarga gres menyadari bahwa jual-menjual kami ini bukan disaat yang tepat. Ada takziyah kok sempat-sempatnya jualan. Tapi ya sudahlah. Namanya juga tidak tahu.
Hanya sebagian dagangan yang gres laku. Akhirnya saya minta tolong si Tahid untuk jualin di tempat cowok. Anak rumah pada bisik-bisik di belakang saya “jangan bilang punya siapa, jangan bilang punya bawwabah!” Aku mah santai saja, toh nanti belakangan juga tau.
Setelah program takziyah selesai, si Tahid datang. Tangannya penuh duit. Dagangannya laris keras. Cuma sisa mie goreng beberapa bungkus. Sisanya itu saya jual pakek jurus sedikit memaksa. Si Fitra dan si Adun lewat “hai, ka bloe mie loen, hana peng nyoe keu bayeu rumoh” eh, gak nyangka, si Fitra pribadi ngeluarin uang 5 po-nan. Satu bungkus mie hasilnya berpindah tangan.
Lewat si Zuhri “Hai zuhri, kabloe mie lon dilee”
“Kaleuh lon bloe, lhee boeh lom loen bloe, ka troe leuh”
Eh, ada Uncle, saya pun bersungut-sungut membujuk Uncle untuk beli. Uncle bilang “udah beli tadi, empat bungkus lagi, beneran!” yasudah, Uncle dikebiniskan dulu.
Ada lagi bang Aqsha, Zulfan dan Wandi. Kudekati. Dengan yel-yel yang sama, dengan memasang muka super prihatin, saya memelas. Eh bg aqsha malah bilang:
“ci pasang muka paleng seudeh dilee, nyan golom seudeh lom” aissss… itu si zulfan juga ikut-ikutan “ci boh slogan Save Bawwabah dilee kolam plastik.”
Para pembaca yang budiman, bila dihatinya terlintas “kok pemuda semua sih yang dipanggil” itu alasannya yang cewek sudah pada beli, dan ahkwat yang lain sudah pada pulang, sisanya cuma para karyawan bawabah
Malam itu, selepas dari KMA, kami pulang dengan senyum mengembang.
Malam itu, selepas dari KMA, kami pulang dengan senyum mengembang.
Bahkan tertawa riang. Mungkin menertawai diri kami sendiri. Aku yakin semua hati malam itu bergembira. Entah bangga alasannya jualannya laku, entah juga alasannya pengalaman hari itu. Sampai di rumah saya pribadi update cerita, untuk mengabadikan bencana paling berharga dalam hidupku itu.
“Seminggu yang kemudian saya masih ‘berduka’ kehilangan beberapa sahabat tercinta. Tapi malam ini sepulang beut, aleh pakeun kami sekeluarga mencicipi kebahagiaan tiada tara. Semoga ‘alathul mirip ini. Walaupun gara-gara malam ini, home sweet home kami menerima slogan memalukan: “save bawwabah”.
Alah hom, yang penting kami happy.”
Cerita ini belum berakhir. Masih ada sehari lagi untuk kami membuka lapak. Tadinya, selepas program di KMA itu, si Wandi sempat bilang lewat BBM “waddah, besok anak pemuda ada program Cakra Donya, kayaknya pas tu untuk dagang.” Cuma, karyawan saya tampaknya mulai kelelahan dan butuh istirahat.
Aku mulai menikmati pekerjaan ini. Walaupun kadang ada beban juga bila sesaat saja tidak bantu-bantu. Jualan kami ini kini sudah punya nama, bukan lagi j-u-a-l-a-n namanya, tapi sudah d-o-r-o-n-g g-e-r-o-b-a-k. DORONG GEROBAK. Selama tiga hari itu, saya berguru banyak. Belajar sabar. berguru bertanggung jawab, berguru mandiri, dan tentunya kini saya sudah sanggup buat risol dan mie goreng. Ya, nikmati saja duduk kasus itu. Jadikan duduk kasus tanpa masalah.
Dari pengalaman ini, saya mulai percaya satu hal, bahwa pekerjaan yang kita lakukan bersama keluarga, walaupun capeknya luar biasa, tetap tidak terasa alasannya dikerjakan dengan cinta. Berjualan mirip ini, semua kami lakukan sama-sama. Mulai dari belanjanya sama-sama. Motong-motongnya sama-sama, proses penggorengan, bungkus-bungkus, beres-beres semuanya dilakukan bareng-bareng sambil becanda, dongeng entah apa, atau ada yang nyanyi dan lain sebagainya.
Sampai hasil keringat itu hasilnya berbuah kenikmatan tiada tara. Dari modal 15 le, dalam 3 hari berubah jadi 300 le. Dengan hasil ini kami sanggup menutupi kekurangan bulan ini, bahkan untuk satu bulan kedepan. Alhamdulillah.
Eh iya. Sekarang gerobak kami sudah bocoe ban. Kaprikornus dengan berat hati kami tidak sanggup jualan lagi. (niatnya pertama memang untuk menutupi kekurangan 200 LE. yang tadi).
Tapi bila memang masih rindu dengan jajanan ala Bawwabah Dua silahkan kunjungi Facebook atau hubungi perwakilan gerobak diwilayah anda.