Sunday 15 March 2020

Peran Perempuan Aceh Melawan Kolonialisme Dan Imperialisme



"Udep saree matee syahid" itulah slogan yang pernah hidup dan terus terpatri dalam sanu bari rakyat Aceh. Aceh satu-satunya daerah yang menerima julukan 'Serambi Mekkah' dalam sejarah perlawanan terhadap aneka macam bentuk penjajahan.

Islam yang menggelora di dada rakyat Aceh tercermin dari perilaku patriotik yang mereka tampilkan. Perlawanan demi perlawanan dalam mengusir penjajah selalu mereka tampilkan guna mengusung sebuah misi suci yaitu "hudep mulia matee syahid." Sehingga dalam sejarah perjalanan mengusir penjajah, Aceh menjadi daerah dalam lingkugan besar Nusantara yang bisa memelihara identitasnya.

Di samping itu Aceh juga mempunyai sejarah kepribadian kolektifnya yang relatif jauh lebih tinggi, lebih kuat, serta paling sedikit ter-Belanda-kan di bandingkan daerah lain di Indonesia. dan itu lah sebabnya mengapa tokoh jagoan Belanda sekaliber Van Der Vier menyampaikan bahwa, "orang Aceh sanggup dibunuh, tapi tak sanggup ditaklukkan.

Sejarah besarnya pengabdian rakyat Aceh dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan membumi hanguskan penjajah bisa kita telusuri dalam buku-buku sejarah, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Belanda, maupun bahasa Perancis. Sejarah mencatat peperangan melawan kolonialisme dan imperialisme (1873-1942) telah memaksa orang Aceh untuk melaksanakan perlawanan sengit. Bahkan mendobrak semangat kaum perempuan Aceh untuk tampil ke garda terdepan dalam saf perang.

Semangat juang tersebut lahir dari sebuah iktikad bahwa semua itu perang fisabilillah. Berperang demi menjaga kehormatan bangsa dan agama serta menampik setiap anjuran kompromi dan hanya mengenal pilihan membunuh atau dibunuh ketika berhadapan dengan musuh. Inilah secarcik darah panglima perang sekaliber Khalid Bin Walid yang masih tersimpan dalam jiwa orang Aceh yang tiba ke medan jihad hanya untuk mencari mati.

Kerajaan Aceh

Sejarah kerajaan Aceh di mulai semenjak Islam menginjak kakinya di ujung barat Sumatera. Saat itu hanya dikenal dengan kerajaan-kerajaan Islam, menyerupai kerajaan Islam Peureulak (840 M/225H), kerajaan Islam Samudera Pasai (560 H/1166M), kerajaan Tamiang, kerajaan Pedir, dan kerajaan Meureuhoem Daya. Kemudian Sultan Alauddin Johansyah yang berdaulat pada tahun 601 H/ 1205 M berinisiatif untuk menyatukan kerajaan Aceh tersebut. Yang sehabis itu menjadi kerajaan Aceh Darussalam dengan ibu kota Kuta Radja atau Banda Aceh hari ini.

Pada ketika ini lah Sultan Alauddin al-Kahhar mulai mempeluas wilayah kekuasaannya hingga ke negeri-negeri Melayu dan semenanjung Malaka. Sejarah menyebutkan pada masa ke-5 M kerajaan Aceh menjadi kerajaan Islam terbesar di Nusantara dan kerajaan Islam ke-5 terbesar di dunia. Kemudian proses peluasan wilayah ini dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam.

Perlu dicatat penaklukan yang dilakukan raja Aceh ketika itu bukan untuk menjajah suku bangsa lain, tapi untuk melindungi mereka dari penjajahan Portugis (A Hasjmy: 1997). Pada ketika itu kerajaan Aceh sudah menjalin dagang dan diplomatik dengan negara-negara tetangga, Timur Tengah, dan Eropa. Antara lain denga kerajaan Denmark, kerajaan Pattani, kerajaan Brunei Darussalam, kerajaan Turki Ustmani, Inggris, Belanda, dan Amerika.

Kerajaan Aceh Darussalam ketika itu juga telah mempunyai aturan tersendiri yang disebut dengan " Kanun Meukuta Alam" yang berlandaskan syariat Islam. Dalam kanun tersebut setiaa rakyat yang bernaung di bawah kerajaan Darussalam menerima keadilan hukum. Inilah sebabnya kerajaan Aceh semakin hari semakin luas wilayah kekuasaannya. Dan wilayah-wilayah yang ditakluk kerajaan Aceh merasa bahagia untuk bergabung dengan Aceh. Proses penaklukan menyerupai ini terus saja berkelanjutan hingga sebelum pihak kolonial menabur aneka macam fitnah terhadap kerajaan Aceh.

Ketika kerajaan-kerajaan Islam Nusantara telah ditaklukkan kolonial barat, kerajaan Aceh masih tetap berdaulat hingga masa ke-18 M. Pihak kolinialis baik yang tiba dari Portugis, Belanda, maupun Inggris bukan tidak berambisi untuk menaklukkan Aceh, tetapi mereka merasa gentar terhadap keunggulan AU (angkatan laut) Aceh yang ketika itu menguasai perairan selat Malaka dan lautan Hindia. Pada ketika itu AU Aceh mempunyai armada yang tangguh berkat pertolongan senjata dan kapal perang dari kejaan Turki Ustmani. Salah satu AU yang sangat populer yaitu Laksamana Malahayati.

Selain itu, dilihat dari barisan perang kerajaan Aceh di dominasi oleh prajurit-prajurit yang berani mati dan mempunyai semangat juang yang bergelora. Di antaranya yaitu Teungku Umar, Teungku Syiek di Tiro dari kalangan laki-laki, dan Tjuk Nyak Dhien, Malahayati, Tjut Meutia, dan Pocut Merah Intan yang merupakan formasi nama yang menjadi simbol usaha kaum perempuan di Aceh. Kaum perempuan yang mengikuti peperangan tersebut terdiri dari kaum muda, janda, bahkan orang renta pun terlibat dalam kancah peperangan.
Sebagai perempuan yang mangandung dan melahirkan tidak menjadi alasan bagi mereka untuk mangkir dalam medan perang. Terkadang mereka mengikuti peperangan gotong royong dengan suami mereka. Dengan tangan yang kecil mungil mereka lincah memainkan kelewang dan rencong yang sudah menciptakan lawan begitu takut. Bahkan ada dari perempuan Aceh yang mengendong anaknya sambil berperang. Semangat mereka terus saja terkobarkan dengan hikayat-hikayat jihat. Di antara bait-bait hikayat yang menjadi pembangkit semangat jihat mereka ketika itu antar lain:

"Allah haido kudaidang
Seulayang blang ka putoeh taloe
Beurayeuk sinyak rijang-rijang
Jak meuprang bela naggroe"

Maka tak heran bila kita pernah membaca karyanya H.C Zentgraaff (seorang penulis sejarah Aceh dan wartawan Belanda) menyampaikan bahwa para wanitalah yang merupakan "de leidster van het verzet" (pemimpin perlawanan). Bahkan dalam sejarah Aceh populer dengan istilah "Grandes Dames" (wanita-wanita agung) yang memegang peranan penting baik dalam politik maupun peperangan, baik dalam posisinya sebagai Sultaniah maupun sebagai istri-istri orang terkemuka.

Oleh lantaran itu tugas perempuan Aceh dalam melawan penjajah sangat lah besar. Setelah melahirkan pejuang mereka juga rela terjun ke medan juang. Maka alangkah disayangkan andaikata kepiawan sosok Tjuk Nyak Dhien dan Tjut Meutia tidak membekas pada diri wanita-wanita Aceh hari ini. Setidaknya bisa menjadi pelahir pejuang jika pun tak mau berjuang. Kalau tidak punya talenta dan semangat mengarui medan perang, maka berjuang lah lewat tulisan. Karena media merupakan ladang juang yang paling memilih menang dan kalahnya sebuah golongan hari ini. Semoga!

Oleh: Abdul Hamid M Djamil*
*staf redaksi web kmamesir.org

banner
Previous Post
Next Post