Friday 13 March 2020

Hadits - Larangan Berbuat Zalim

عَنْ أَبي ذرٍّ الغِفَارْي رضي الله عنه عَن النبي صلى الله عليه وسلم فيمَا يَرْويه عَنْ رَبِِّهِ عزَّ وجل أَنَّهُ قَالَ: (يَا عِبَادِيْ إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمَاً فَلا تَظَالَمُوْا، يَا عِبَادِيْ كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُوْنِي أَهْدِكُمْ، يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فاَسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ، يَا عِبَادِيْ كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِيْ أَكْسُكُمْ، يَا عِبَادِيْ إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعَاً فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِيْ إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضَرِّيْ فَتَضُرُّوْنِيْ وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِيْ، يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فَيْ مُلْكِيْ شَيْئَاً. يَا عِبَادِيْ لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِيْ شَيْئَاً، يَا عِبَادِيْ لَوْ أنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوْا فِيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِيْ فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِيْ إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ المِخْيَطُ إَذَا أُدْخِلَ البَحْرَ، يَا عِبَادِيْ إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرَاً فَليَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ) – رواه مسلم

Terjemahan:

Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dia meriwayatkan dari Allah ‘azza wa Jalla, bahwasanya Allah telah berfirman: “Wahai hamba-Ku, bahwasanya Aku mengharamkan (berlaku) zhalim atas diri-Ku dan Aku menjadikannya di antaramu haram, maka janganlah kau saling menzhalimi. Wahai hamba-Ku, kau semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kau minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Kamu semua yaitu orang yang lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka hendaklah kau minta makan kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, kau semua asalnya telanjang, kecuali yang telah Aku beri pakaian, maka hendaklah kau minta pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, bahwasanya kau melaksanakan perbuatan dosa di waktu siang dan malam, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku , pasti Aku mengampuni kamu. Wahai hamba-Ku, bahwasanya kau tidak akan sanggup membinasakan Aku dan kau tak akan sanggup memperlihatkan manfaat kepada Aku. Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir diantaramu, sekalian insan dan jin, mereka itu bertaqwa menyerupai orang yang paling bertaqwa di antaramu, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun, kalau orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antaramu, sekalian insan dan jin, mereka itu berhati jahat menyerupai orang yang paling jahat di antara kamu, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga. Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antaramu, sekalian insan dan jin yang tinggal di bumi ini meminta kepada-Ku, kemudian Aku memenuhi seluruh undangan mereka, tidaklah hal itu mengurangi apa yang ada pada-Ku, kecuali sebagaimana sebatang jarum yang dimasukkan ke laut. Wahai hamba-Ku, bahwasanya itu semua yaitu amal perbuatanmu. Aku catat semuanya untukmu, kemudian Kami membalasnya. Maka barang siapa yang mendapat kebaikan, hendaklah bersyukur kepada Allah dan barang siapa mendapat selain dari itu, maka janganlah sekali-kali ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri”.

[Muslim no. 2577]

Penjelasan:

Kalimat “sesungguhnya Aku mengharamkan (berlaku) zhalim atas diri-Ku dan Aku menjadikannya di antaramu haram”, sebagian ulama menyampaikan maksudnya ialah Allah tidak patut dan tidak akan berbuat zhalim menyerupai tersebut pada firman-Nya :
“ Tidak patut bagi Tuhan yang Maha Pemurah mengambil anak ”. (QS. 19 : 92)

Jadi, zhalim bagi Allah yaitu sesuatu yang mustahil. Sebagian lain beropini , maksudnya ialah seseorang dilarang meminta kepada Allah untuk menghukum musuhnya atas namanya kecuali dalam hal yang benar, menyerupai tersebut dalam firman-Nya dalam Hadits di atas : “Sungguh Aku mengharamkan diri-Ku untuk berbuat zhalim”. Jadi, Allah tidak akan berbuat zhalim kepada hamba-Nya. Oleh sebab itu, bagaimana orang bisa memiliki anggapan bahwa Allah berbuat zhalim kepada hamba-hamba-Nya untuk kepentingan tertentu?

Begitu pula kalimat “janganlah kau saling menzhalimi” maksudnya bahwa janganlah orang yang dizhalimi membalas orang yang menzhaliminya.

Dan kalimat “Wahai hamba-Ku, kau semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kau minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya”, mengingat betapa kita ini lemah dan fakir untuk memenuhi kepentingan kita dan untuk melenyapkan gangguan-gangguan terhadap diri kita kecuali dengan pinjaman Allah semata. Makna ini berpangkal pada pengertian kalimat : “Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pinjaman Allah”. (QS. 18 : 39)

Hendaklah orang menyadari bila ia melihat adanya nikmat pada dirinya, maka semua itu dari Allah dan Allah lah yang memperlihatkan kepadanya. Hendaklah ia juga bersyukur kepada Allah, dan setiap kali nikmat itu bertambah, hendaklah ia bertambah juga dalam memuji dan bersyukur kepada Allah.

Kalimat “maka hendaklah kau minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya” yaitu mintalah petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberi petunjuk kepadamu. Kalimat ini hendaknya membuat hamba menyadari bahwa seharusnyalah ia meminta hidayah kepada Tuhannya, sehingga Dia memberinya hidayah. Sekiranya dia diberi hidayah sebelum meminta, barangkali dia akan berkata : “Semua yang saya sanggup ini yaitu sebab pengetahuan yang saya miliki”.

Begitu pula kalimat “kamu semua yaitu orang yang lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka hendaklah kau minta makan kepada-Ku, pasti Aku memberinya”, maksudnya ialah Allah membuat semua makhluk-Nya berkebutuhan kepada makanan, setiap orang yang makan pasti akan lapar kembali hingga Allah memberinya makan dengan mendatangkan rezeki kepadanya, menyiapkan alat-alat yang diperlukannya untuk sanggup makan. Oleh sebab itu, orang yang kaya jangan beranggapan bahwa rezeki yang ada di tangannya dan masakan yang disuapkan ke mulutnya diberikan kepadanya oleh selain Allah. Hadits ini juga mengandung watak kesopanan berperilaku kepada orang fakir. Seolah-olah Allah berfirman : “Janganlah kau meminta masakan kepada selain Aku, sebab orang-orang yang kau mintai itu mendapat masakan dari Aku. Oleh sebab itu, hendaklah kau minta makan kepada-Ku, pasti Aku akan memberikannya kepada kamu”. Begitu juga dengan kalimat selanjutnya.

Kalimat “sesungguhnya kau melaksanakan perbuatan dosa di waktu siang dan malam”. Kalimat semacam ini merupakan nada celaan yang seharusnya setiap mukmin aib terhadap celaan ini. Demikian pula bahwa bahwasanya Allah membuat malam sebagai waktu untuk berbuat ketaatan dan menyiapkan diri berbuat ikhlas, sebab pada malam hari itulah pada umumnya orang berinfak jauh dari sifat riya’ dan nifaq. Oleh sebab itu, tidaklah seorang mukmin merasa aib bila tidak memakai waktu malam hari untuk berinfak sebab pada waktu tersebut umumnya orang berinfak jauh dari sifat riya’ dan nifaq. Tidaklah pula seorang mukmin merasa aib bila tidak memakai malam dan siang untuk berinfak sebab kedua waktu itu diciptakan menjadi saksi bagi insan sehingga setiap orang yang pintar sepatutnya taat kepada Allah dan tidak bersama-sama dalam perbuatan menyalahi perintah Allah.

Bagaimana seorang mukmin patut berbuat dosa terang-terangan atau tersembunyi padahal Allah telah menyatakan “Aku mengampuni semua dosa”. Disebutkannya dengan kata “semua dosa” yaitu sebab hal itu dinyatakan sebelum adanya perintah kepada kita untuk memohon ampun, biar tidak seorang pun merasa frustasi dan pengampunan Allah sebab dosa yang dilakukannya sudah banyak.

Kalimat “kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir diantaramu, sekalian insan dan jin, mereka itu bertaqwa menyerupai orang yang paling bertaqwa di antaramu, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun” memperlihatkan bahwa ketaqwaan seseorang kepada Allah itu yaitu rahmat bagi mereka. Hal itu tidak menambah kekuasaan Allah sedikit pun.

Kalimat “jika orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antaramu, sekalian insan dan jin yang tinggal di bumi ini meminta kepada-Ku, kemudian Aku memenuhi seluruh undangan mereka, tidaklah hal itu mengurangi apa yang ada pada-Ku, kecuali sebagaimana sebatang jarum yang dimasukkan ke laut”, berisikan peringatan kepada segenap makhluk biar mereka banyak-banyak meminta dan tidak seorang pun membatasi dirinya dalam meminta dan tidak seorang pun membatasi dirinya dalam meminta sebab milik Allah tidak akan berkurang sedikit pun, perbendaharaan-Nya tidak akan habis, sehingga tidak ada seorang pun patut beranggapan bahwa apa yang ada di sisi Allah menjadi berkurang sebab diberikan kepada hamba-Nya, sebagaimana disabdakan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada Hadits lain : “Tangan Allah itu penuh, tidak menjadi berkurang perbendaraan yang dikeluarkan sepanjang malam dan siang. Tidakkah engkau pikirkan apa yang telah Allah belanjakan semenjak mula mencipta langit dan bumi. Sesungguhnya Allah tidak pernah kehabisan apa yang ada di tangan kanannya”.

Rahasia dari perkataan ini ialah bahwa kekuasaan-Nya bisa mencipta selama-lamanya, sama sekali Dia tidak patut disentuh oleh kelemahan dan kekurangan. Segala kemungkinan senantiasa tidak terbatas atau terhenti. Kalimat “kecuali sebagaimana sebatang jarum yang dimasukkan ke laut” ini yaitu kalimat perumpamaan untuk memudahkan memahami problem tersebut dengan cara mengemukakan hal yang sanggup kita saksikan dengan nyata. Maksudnya ialah kekayaan yang ada di tangan Allah itu sedikit pun tidak akan berkurang.

Kalimat “sesungguhnya itu semua yaitu amal perbuatanmu. Aku catat semuanya untukmu, kemudian Kami membalasnya. Maka barang siapa yang mendapat kebaikan, hendaklah bersyukur kepada Allah” maksudnya janganlah orang beranggapan bahwa ketaatan dan ibadahnya merupakan hasil usahanya sendiri, tetapi hendaklah ia menyadari bahwa hal ini merupakan pinjaman dari Allah dan sebab itu hendaklah ia bersyukur kepada Allah.

Kalimat “dan barang siapa mendapat selain dari itu”. Di sini tidak dipakai kalimat “mendapati kejahatan (keburukan)”, maksudnya barang siapa yang menemukan sesuatu yang tidak baik, maka hendaklah ia mencela dirinya sendiri.
Penggunaan kata penegasan dengan “janganlah sekali-kali” merupakan peringatan biar jangan hingga terlintas di dalam hati orang yang mendapati sesuatu yang tidak baik ada harapan menyalahkan orang lain, tetapi hendaklah ia menyalahkan dirinya sendiri. Wallaahu a’lam.
banner
Previous Post
Next Post