Wednesday 11 March 2020

Meudagang Dan “Meudagang”


Kata “Meudagang” sangat sering terdengar di kalangan masyarakat Aceh tempo dulu. Seorang ayah ketika ditanyai semisal pertanyaan: “Hoe ka si agam droneuh?”. Dengan besar hati sang ayah menjawab: “ka ijak meudagang u Dayah”.

Namun sekarang, meski jarang, kata ini masih juga terdengar. Tidak hanya dalam percakapan sehari- hari, bahkan masih ada penulis yang meminjam kata ini.

Misalnya dalam sebuah goresan pena yang berjudul “Abu Panton dan Resolusi Konflik” yang ditulis oleh Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, MA., dia menyebutkan bahwa Abu Panton yaitu “Aneuk Muedagang”.  Juga saya temukan dalam artikel lainnya yang bertajuk “Jak Beut”, sang pemilik goresan pena juga menyebutkan bahwa “Jak beut dalam budaya masyarakat Aceh juga dikenal dengan istilah Jak Meudagang.”

Meskipun tidak faham hakikat kata Meudagang, namun melihat mereka yang gres pulang Meudagang menjadi kolam lentera dan panutan agama dalam masyarakat. Maka bagi penulis pribadi, Meudagang tetap memiliki kesan tersendiri.

Dalam bahasa Arab Meudagang disebut At-Tijarah yang berarti berjual beli. Sedangkan dalam bahasa Aceh diartikan sebagai proses menuntut ilmu ke sebuah pesantren dan menetap di sana dalam kurun waktu yang lama.

Lalu apa korelasi antara menutut ilmu dengan meudagang (jual beli)?

Ketika Syaikh Sayyid Syaltut Al Syafi’i, Syaikh Al-Azhar, yang juga merupakan anggota Majelis Iftak Mesir, dalam sebuah pengajian dikala mensyarah kitab Bidayat Al-Hidayah, mengingatkan saya pada kata meudagang yang hampir empat tahun tidak pernah terdengar.

Dalam muqaddimahnya, pengarang kitab Bidayah Al-Hidayah, Al-Imam Al-Ghazali (wafat 505 H.) mengatakan, bahwa seorang penuntut ilmu apabila tujuan daripada ilmu tersebut untuk berlomba- lomba, berbangga- besar hati atau untuk menjadi paling alim di antara yang lainnya, disebutkan:

فأنت ساع في هدم دينك و إهلاك نفسك و بيع أخرتك بدنياك ؛ فصفقتك خاسرة و تجارتك بائرة

….maka engkau sedang berjalan untuk meruntuhkan agamamu, mencelakakan dirimu, dan engkau telah menjual akhiratmu dengan dunia, maka rugilah pembeliaanmu, dan bangkrutlah barang daganganmu

Dalam kutipan ini, Imam Al-Ghazali men-tasybih-kan menuntut ilmu dengan jual beli, tanpa lupa menyebutkan sifat lazim dari jual beli, yaitu untung dan ruginya.

Selanjutnya Syaikh Syaltut mengatakan, bahwa ada kemungkinan Imam Al-Ghazali terilhami kalam (kalimat) ini dari sepotong ayat dalam Al Quran, yaitu:

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ.


Artinya: “Sesungguhnya orang- orang yang selalu membaca kitab Allah (Al Quran) dan melaksanakan salat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan belakang layar dan terang- terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi.

Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’râwi dalam tafsirnya menjelaskan makna dari تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ, bahwa seseorang yang menginfakkan hartanya dijalan Allah seolah ia sedang berjual beli dengan Allah, perjualan yang tidak ada ruginya.

Seorang hamba yang melaksanakan kebaikan, seolah itu merupakan barang dagangan baginya, kemudian Allah akan membelinya dari mereka, dengan jalan memperlihatkan tanggapan yang agung di sisi-Nya. Di sinilah kita dapat mencicipi keagungan Allah dan kasih sayang-Nya kepada hamba. Bagaimana Allah membeli sesuatu yang sejatinya juga pemilik dan dengan kekuatan serta kehendak dari-Nya.

***
Ada ungkapan mengatakan: “Jika ingin menilai sebuah budaya, maka lihatlah bahasa mereka”. Ungkapan ini ada benarnya, alasannya yaitu bahasa itu sendiri bab dari kebudayaan, maka tinggi dan rendahnya budaya juga ditentukan oleh bahasa.

Dari sini penulis dapat mengambil kesimpulan, bahwa tingginya budaya Aceh pada masa dulu. Buktinya terlihat dari sudut pandang mereka terhadap budaya menuntut ilmu.

Ketik menuntut ilmu diibartakan dengan meudagang, itu berarti bahwa mereka memandang ilmu itu tidak hanya mulia tapi juga penting. Sama pentingnya menyerupai perdagangan yang memilih ekonomi negara, maka menuntut ilmu juga memilih masa depan agama dan umat.

Dari segi lainnya, ini juga menjadi bukti betapa tulusnya ulama Aceh dahulu dalam menuntut ilmu. Mereka tidak hanya menjadiakan menuntut ilmu sebagai sebuah status sosial, tetapi perdagangan dengan Allah SWT. Hanya ridha Allah yang diharapkan. Mereka menjual dunia dengan akhirat, dan dengan besar hati menamakan diri mereka sebagai aneuk meudagang.

Mungkin inilah rahasia kenapa meskipun daerah menuntut ilmu dikala ini bertebaran, jumlah mahasiswa keagamaan juga luar biasa dari segi jumlah, namun tidak ada yang dapat menggantikan atau paling kurang setingkat dengan ulama-ulama Aceh masa dulu.

Hal ini dikarenakan masyarakat kini tidak lagi berparadigma meudagang. Bagi yang menekuni ilmu agama, sebagian ada yang berfikir: “alah dang-dang jeut meukawen”, atau “alah dari pada jeut keupancuri di gampong”.

Kemudian yang menekuni ilmu umumpun, hanya berfikir sebatas untuk mensejahterakan diri sendiri. Tanpa (sekedar) berangan-angan untuk mengangkat taraf kehidupan masyarakat. Akibatnya, lahirlah alumni-alumni monja (barang dagangan yang tidak laris dijual) yang lupa diri.

Berapa banyak oknum tokoh agama yang terlibat dalam kasus memalukan, bahkan penegak syariat sendiri berbalik menjadi peruntuh syariat. Di sisi lain, banyaknya kasus mesum para mahasiswa juga menguatkan kurangnya moral dan jati diri penuntut ilmu.

Oleh alasannya yaitu itu, sudah sepatutnya selaku penuntut ilmu untuk merubah paradigama tersebut. Belajar bukan hanya sekedar meriwayatkan ilmu, tapi juga mengamalkan dan menyebarkannya. Belajar bukan hanya untuk kemashlahatan sendiri tapi juga untuk kepentingan umat.

Akhirnya, penulis ingin mengingatkan kembali akan pentingnya filosafi meudagang tersebut, yang terfokus pada meluruskan niat. Ia merupakan pondasi dari segala perjuangan dan amal. Sangat jauh dari bayangan, bagaimana membangun sebuah bangunan yang besar di atas pondasi yang rapuh. Imam Al-Gahzali mengatakan: “la wushula ila nihayatin illa bakda ihkaami badaatin.


Oleh: Husni Nazir
Penulis: Mahasiswa universitas Al-Azhar Mesir, Staf redaksi web www.kmamesir.org

banner
Previous Post
Next Post