1.
Sekali ini saya mencicipi nyatanya cinta sehalus bunga alang-alang meliuk-liuk di depan mata pada siang bolong. Terlihat kentara, matahari dan terik bersandar pada sekujur daun dan warna.
Aku mengantuk. Dalam kantuk nan berat itu sayup-sayup kulihat alang-alang beserta bunganya berdiri di tepi jalan, barangkali semenjak usang telah tumbuh di situ, dan tak ada yang mau membabatnya, alasannya yaitu orang-orang sanggup merasa kasihan pada bunganya yang halus. Ah, saya menunaikan kantuk lagi.
Sebentar kemudian, saya terbangun lagi sehabis tadi berkali-kali terbangun alasannya yaitu bis sangat penuh dan sesak, bikin gerah. Aku membuka mata lebar-lebar dan kudapati bis masih terjebak dalam kemacetan panjang, bergeming tak melaju. Aku menoleh ke luar, orang-orang dibakar gerah oleh mobilnya sendiri. Mereka mencoba membuka jendela kaca, debu-debu mendesak masuk. Segala hal tak nyaman. Di luar semrawut, di dalam sini klakson ribut. Aku menentukan menjadi layu saja.
Dan lagi-lagi saya terbangun karena kendaraan beroda empat sedan yang berada di sebelah bis yang kutumpangi meraung-raung, penyetirnya mengentak-ngentak diri di belakang setir. Gerah, kesal, jengkel dengan kendaraan beroda empat di muka, lapar, polusi!. Aku tidak melanjutkan menjadi layu dikarenakan telah kulihat lagi dengan kentara Bunga Alang-Alang yang rupanya yaitu seorang perempuan mengenakan baju warna hijau bambu betong muda dan jilbab putih bunga alang-alang. Si Bunga Alang-Alang berlindung dari matahari terik yang bikin tengik. Ia berdiri di halte dan membubuhkan tangan di keningnya sembari menyelidik satu-persatu daerah kosong di dalam bis. Di saat-saat menyerupai itu, ia terlihat manis dengan beauty mole-nya di ujung pelupuk mata bawah kanan. Dan ia terlihat lebih manis alasannya yaitu cahaya matahari menyiramnya dengan seluruh, Bunga Alang-Alang anggun tiada tara.
Nyatanya Bunga Alang-Alang yaitu seorang perempuan Kutaradja. Kini saya tahu, dalam kantukku tadi, dari luar bis, Bunga Alang-Alang menyelidik setiap daerah duduk bis yang saya tumpangi, barangkali ada yang tersisa kosong. Apakah ia sempat melihatku yang terantuk-antuk di atas daerah duduk alasannya yaitu terkantuk-kantuk? Ai, saya tak sanggup layu, melirik sana-sini, entah kemana Si Bunga Alang-Alang bertiup. Ia tak terlihat lagi, barangkali kealingan orang-orang di halte, atau barangkali Bunga Alang-Alang menentukan bis lain di belakang yang kebetulan kosong.
2.
Sore yang bising. Di dalam gelas kopi sunyi, ia merasa sepi, tetapi saya telah berada di sampingnya, menjadi sobat baik seadanya. Di bawah awan, burung-burung memekik hendak menurunkan jiwa-jiwa yang rindu rumah. Di bawah sini, kendaraan beroda empat dan motor membunyikan klakson di sepanjang jalan seakan menghardik jalanan alasannya yaitu tak tahu jalan pulang. Kurang lebih demikianlah sore, senja pun sebentar lagi bermetamorfosis ribut dikarenakan bunyi ibu-ibu penyayang kepada bawah umur yang pada masanya memang suka main, pulang-pulang rupa buluk, tubuh anyir aspal, segala macam. Namun ibu tetap sayang tiada alang.
Segala hal di dalam gelas tidak sanggup menyingkirkan Bunga Alang-Alang di kepalaku. Ia akan tetap utuh sebagai kenangan. Bahkan kebisingan orang-orang di jalanan tak sanggup membuyarkan ingatanku pada Bunga Alang-Alang. Ingin saya mengimajinasikan berada di dalam kemacetan menyerupai dikala kemarin, tapi untuk hal lain: memusingkan Bunga Alang-Alang di dalam ingatan. Untuk itu, saya butuh satu gelas yang digenangi kopi untuk kemudian dikosongkan, alasannya yaitu di dalam lekukan gelas itu, saya ingin meringkuk bersama bayang Bunga Alang-Alang.
3.
Seusai tiba pagi, jendela kusingkap dikarenakan segelas kopi. Kuseruput dengan hati-hati supaya semua yang kukangeni senantiasa dikasihani. Termasuk kerinduan pada sebuah kemacetan dan apa yang terjadi di dalamnya.
Aku dituntut berjanji kepada gelas kopi supaya segera kusudahi genangan, eh, kenangan. Karena kenangan, walaupun sekedar kemacetan yang berisi kebisingsan, dan sehari sehabis itu terisi dengan bayang Bunga Alang-Alang, semua itu merupakan sebuah kebingungan. Jatuh cinta alasannya yaitu sekelebat saja menatap kecantikan itu yaitu mengeja kecantikan, sama dengan memuji kelebihan wanita, bukanlah satu hal yang lebih memukau daripada burung yang terbang di bawah rintik-rintik hujan. Kenangan yang berisi ihwal pengejaan terhadap kecantikan perempuan merupakan pekerjaan buang-buang waktu. Jika kenangan itu dilanjutkan, bayang-bayang sanggup bergenang kemudian menjadi rimba hantu di dalam kepala, semakin hari semakin sesak, bisa-bisa meledak. Mengerikan!
Jangan menyalahkan seorang perempuan jikalau tak sanggup melihat kecantikan itu kembali di hadapan mata, alasannya yaitu kecantikan itu sekelebat. Bunga-bunga terus bertumbuhan, bukan satu, tetapi melebihi seribu. Begitu bunyi inspirasi yang terbit dari gelas kopi.
4.
Dua hari kemudian, saya tak mengopi lagi di muka jendela.
Di Downtown, terminal, halte-halte bis, toko-toko butik, toko buku, zebra cross lampu merah, PKL, Perpustakaan Wilayah, stasiun Metro, dan di sepanjang tepi sungai yang membelah negara itu, saya bertanya kepada orang-orang, “Adakah di sini seseorang berjulukan Bunga Alang-Alang?” mereka malah bingung, lebih galau daripada orang yang bertanya. Aku mencari-cari Bunga Alang-Alang dan saya melupakan semua keajaiban kopi beserta apa yang menyembul darinya.
Selanjutnya, saya memesan tiket kereta ke Alexandria untuk keberangkatan sore menjelang jingga. Aku tiba di sana pada malam yang sendu, penuh rindu pada seseorang yang berada di dalam kenangan. Umpama akar randu, ingatanku berpengaruh pada kenangan bersama bayang Bunga Alang-Alang.
Tak henti saya mencari Bunga Alang-Alang ke segala penjuru kota, penjuru bangunan, gedung-gedung, losmen, hotel, kesudahannya nihil. Hanya kudapati sekuriti dan kawanan kucing dapur yang sudah barang tentu tengah meyelidik kaki-kaki insan supaya sanggup berlagak leyeh-leyeh sehingga dikasihani, ai, predictable!
Di sebuah keramaian malam di tengah kota, kulihat banyak perempuan mengenakan baju hijau bambu betong muda, bahkan ada yang mengenakan jilbab putih menyerupai yang dikenakan Bunga Alang-Alang di hari kemacetan itu. Aku sendu tak terperi. Kemudian saya memelesat ke sebuah kedai minum, memesan teh hangat tak pakai gula. Aku duduk di tengah-tengah bising bualan orang-orang, kota yang ramai, hiruk pikuk yang menyenangkan. Kuseruput teh sedikit mengikuti suasana hati. Dalam pada itu saya punya angan kecil, saya ingin waktu bergerak dengan cepat supaya saya segera menjumpai pagi dan Bunga Alang-Alang. Berjumpa dengannya saling menatap di dingklik kedai minum. Amboi, Tuhan niscaya sedang mendengar angan kecilku.
Baca Juga : Berdua dengan Uwuwu
Baca Juga : Berdua dengan Uwuwu
Pada malam itu juga, kudapati seorang perempuan duduk berdua dengan hape, bertiga dengan enternet. Ia tiba kemudian menentukan duduk di dingklik sempurna di depanku tak usang sehabis pesananku diantar. Sungguh, ia tak tahu bahwa saya juga sedang sendiri alasannya yaitu memang ia tak memerhatikan. Namun melihatnya saya layu, berharap dialah Bunga Alang-Alang itu, tapi tak mungkin, Bunga Alang-Alang kurasa tak bongsor menyerupai itu.
Seusai minum teh, saya berpulang kembali ke stasiun kereta. Di sana saya tercenung usang sekali hingga jauh malam. Aku tidak tidur alasannya yaitu mataku diganjal bayang Bunga Alang-Alang. Aku yaitu insan nokturnal pada sebuah malam yang sendu, saya yaitu malam yang diisi dengan kenangan seorang perempuan gelis nan anggun.
5.
Di dalam kepalaku, saudara angin menghembuskan bunga alang-alang. Digiringnya dari selatan ke utara kemudian ke selatan lagi, kenangan berpindah-pindah tempat: di dalam bis, kemacetan dan halte.
Aku bangun dari daerah duduk dan kutemui pagi dan matahari cengar-cengir di depan mukaku. Kemudian saya menengadah dan berlalu keluar dari area stasiun. Bulan menyimpan sebuah belakang layar bahwa saya tak tidur semalam suntuk. Bulan melucuti rasa senduku, membasuh kening dan mengasihaniku. Dahsyatnya gejolak ingatan, sepanjang mataku melek, kenangan di dalam kepala tak pernah libur. Seluruh waktuku telah dihajar dengan dijejalkan bayang kenangan, yang lain pada minggir dulu.
Pagi itu, saya meluncur ke pantai menumpang minibus hanya memerlukan 3 Pound saja. Sesampai di pantai, saya mencari-cari Bunga Alang-Alang. Mengintai setiap perempuan yang mengenakan baju hijau atau jilbab putih dengan bertanya, “Apakah puan berjulukan Bunga Alang-Alang?” mereka bingung, lebih galau dari diriku sendiri.
Lalu saya memelesat ke bawah payung santai menemui banyak orang, kemudian menanyai mereka,“Apakah ada di antara kalian yang melihat Bunga Alang-Alang?” mereka mengeryitkan dahi, bingung.
Belum terhenti, saya menghampiri bawah umur kecil yang tengah membangun sebuah istana dari pasir di tepi pantai. Lantaran kuyakin anak kecil gemar menyampaikan segala hal dengan jujur, saya lekas menanyai mereka, “Apakah ada di antara kalian yang pernah melihat Bunga Alang-Alang di pantai sini?” Aku kehabisan akal, dan menjadi bingung.
Tiba-tiba saya teringat-ingat pada inspirasi yang mencungul dari gelas kopi tiga hari yang lalu. Sepanjang jalan menuju kedai minum terdekat saya menahan diri untuk mengenang kenangan, barangkali benar, saya sedang tersesat di jalan menuju kenangan.
Kupelankan langkah menjelang kedai minum, bermenung-menung soal kebodohan diriku sendiri. Tanpa ambil tempo, begitu duduk saya pribadi memesan kopi. Tak usang kemudian kopi diantar ke hadapanku dan seketika itu saya tercenung dan menganga lebar, kemudian berkata lirih, “Barangkali Si Bunga Alang-Alang itu istri orang.” kenanganku luruh perlahan umpama dedaunan di penghujung musim.