Friday, 3 January 2020

Saturday, 21 December 2019

Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (1)

Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (1)
Alamin telah menganugerahkan kepada kita kenikmatan berupa perjumpaan dengan bulan Ramadha Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (1)


Bismillah, wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du, Sobat! Rabbuna, Rabbul `Alamin telah menganugerahkan kepada kita kenikmatan berupa perjumpaan dengan bulan Ramadhan yang penuh barakah dan kebaikan, maka:
  1. Barangsiapa yang banyak menelantarkan bulan Ramadhan dan banyak melaksanakan kesalahan di dalamnya, bertaubatlah dan sibukkan diri dengan melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Rabb-nya, sebagai ganti keburukan yang terlanjur dia lakukan, mulailah lembaran hidup baru. Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallamtelah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani:
    وأتبع السيئةَ الحسنةَ تمحها
    “Iringilah keburukan dengan kebaikan, pasti kebaikan tersebut akan menghapuskannya.”
  2. Adapun barangsiapa yang telah Allah mudahkan bederma salih di ketika bulan Ramadhan, maka pujilah Allah dan mohonlah kepada-Nya biar amal shalih Anda diterima oleh-Nya, serta mohonlah kelanggengan dalam amal salih sehingga sanggup terus melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada-Nya dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta’ala:
    وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
    “Dan sembahlah Tuhanmu hingga tiba kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99).
Itulah tips secara umum bagi seorang hamba dalam meninggalkan bulan Ramadhan dan memasuki bulan Syawal. Adapun lebih lanjut, berikut ini beberapa tips yang perlu kita lakukan biar setiap kita menjadi hamba Allah yang semakin bertakwa, semakin dicintai oleh-Nya usai Ramadhan, semoga bermanfaat!

1. Bersyukur

Seorang hamba Allah yang baik, tentulah berusaha senantiasa mengingat nikmat-nikmat-Nya biar ia senantiasa bersyukur kepada-Nya sehingga meningkatlah kecintaan kita kepada-Nya. Saudaraku yang seiman! Kita tertuntut untuk bersyukur akan limpahan nikmat Allah sanggup berjumpa dengan bulan Ramadhan. Bukankah banyak dari saudara-saudara kita tidak sanggup lagi mendapat nikmat ini?
Kita tertuntut untuk bersyukur akan limpahan nikmat taufik dari Allah sehingga kita sanggup melaksanakan banyak sekali macam keta’atan kepada-Nya di bulan Ramadhan yang telah berlalu.
Bahkan saudaraku, kita wajib bersyukur -sebelum itu semua- bahwa kita dianugerahi kenikmatan sanggup berjumpa dengan bulan Ramadhan dan keluar darinya dalam keadaan beriman.
Saudaraku seiman! Kita semua butuh untuk memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah yang telah memberi taufik-Nya kepada kita, sehingga kita sanggup menuntaskan banyak sekali macam ibadah pada bulan Ramadhan yang gres saja kita tinggalkan. Hati seorang hamba yang muwaffaq (yang mendapat taufik) benar-benar menghayati bahwa karunia fasilitas bederma shalih selama Ramadhan itu berasal dari Allah, maka layaklah kita berucap sebagaimana ucapan Nabi Sulaiman ‘alaihis salam,
قَالَ هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
“Iapun (Nabi Sulaiman) berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku apakah saya bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur, maka bergotong-royong dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka bergotong-royong Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” (An-Naml:40).
Bukankah prinsip hidup kita yaitu لا حول ولا قوة إلا بالله , “Tidak ada daya dan upaya (makhluk) kecuali dengan tunjangan Allah?” La haula wala quwwata illa billah adalah sebuah kalimat yang menggambarkan ketundukan dan kepasrahan kepada Allah Ta’ala dan mengandung pengukuhan bahwa tidak ada satupun pencipta dan pengatur alam semesta ini kecuali Allah, tidak ada satupun yang sanggup menghalangi kehendak Allah jikalau Dia menghendaki sesuatu terjadi dan bahwa mustahil seorang hamba menghendaki sesuatu kecuali hal itu dibawah kehendak Allah.
Maka nampaklah dalam kalimat yang agung ini, ketidakberdayaan makhluk di hadapan Rabbnya, bahwa keburukan apapun tidak akan mungkin dihindari melainkan jikalau Allah menjauhkannya darinya. Demikian pula, tidaklah mungkin seorang hamba sanggup mendapat atau melaksanakan sebuah kebaikan, menyerupai keimanan, shalat, puasa, mencari rezeki yang halal dan yang lainnya kecuali dengan tunjangan Allah ‘Azza wa Jalla.
Di sinilah nampak dengan terang letak kewajiban bersyukur kepada Allah dalam setiap kebaikan yang didapatkan oleh seorang hamba dan dalam setiap amal salih yang berhasil dilakukan oleh seorang hamba. Amalan salih sebesar apapun akan menjadi kecil di sisi kebesaran dan keagungan Allah ‘Azza wa Jalla dan kekuatan hamba sebesar apapun akan menjadi lemah di sisi kekuatan Rabbus samawati wal ardh, Tuhan semesta alam.

2. Istighfar

Tips yang perlu kita lakukan biar setiap kita menjadi hamba Allah yang semakin bertakwa dan semakin dicintai oleh-Nya usai Ramadhan yaitu beristigfar, memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Seorang hamba butuh memperbanyak istigfar atas kurang sempurnanya ia dalam melaksanakan semua bentuk peribadatan sebab bagaimanapun baiknya peribadatan yang kita lakukan pasti ada kekurangan. Demikianlah selayaknya kondisi seorang hamba setiap selesai melaksanakan ibadah, biar beristigfar kepada Allah atas segala kekurangan yang terjadi.
  • Tidakkah kita ingat bahwa setelah shalat disyari’atkan untuk istighfar 3 kali? Dalam sebuah hadits disebutkan,
    أنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا انصرف من صلاته استغفر ثلاثاً
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jikalau telah selesai shalat biasa beristighfar tiga kali” (Shahih Muslim: 591).
  • Tidakkah kita tahu bahwa setelah ibadah wuquf di Arafah dalam ibadah haji Allah pun memerintahkan hamba-Nya untuk Istighfar? Allah Ta’ala berfirman:
    ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
    “Kemudian bertolaklah kau dari daerah bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, bergotong-royong Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah:199).
  • Tahukah Anda nasihat disyari’atkan zakat fithri -di masyarakat kita dikenal dengan zakat fitrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan nasihat zakat fithri, sebagaimana tersebut di dalam hadits
    عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ  مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
    “Diriwatkan dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari kasus sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai masakan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu yaitu zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu termasuk sedekah” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al Albani).
    Zakat fithri disyari’atkannya pada simpulan Ramadhan setelah sekian banyak ketaatan sudah dilakukan oleh seorang hamba selama dua pertiga bulan Ramadhan. Ini arahan bagi kita biar setelah kita melaksanakan banyak sekali macam ketaatan setelah Ramadhan, tidak tertipu dengan ketaatan yang telah berhasil kita lakukan, bahkan justru mengingat kekurangan-kerungan kita dalam beribadah.
  • Tidakkah kita sadar setelah melaksanakan dua pertiga keta’atan pada bulan Ramadhan berupa shalat wajib,puasa, shalat Tarawih, baca Al-Qur’an dan lainnya, kemudian saatlailatulqadar, apakah yang kita ucapkan?
    اللهم إنك عفوٌّ  تُحبُّ العفوَ فاعفُ عني
    Ya Allah, bergotong-royong Engkau Maha Pemaaf, mengasihi maaf, maka maafkanlah kesalahanku” (HR. At-Tirmidzi dan yang lainnya, lihat: Shahih At-Tirmidzi).
  • Allah Subhanahu wa Ta’ala bahkan memerintahkan Rasul-Nya untuk beristigfar setelah menuntaskan secara umum dikuasai kiprah akbarnya memberikan risalah dakwah,sebagaimana dalam surat An-Nashr! Allah berfirman,
    إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
    (1)Apabila telah tiba tunjangan Allah dan kemenangan,
    وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
    (2)dan kau lihat insan masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
    فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
    (3)maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia yaitu Maha Penerima taubat.
Ulama menjelaskan bahwa demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita bagaimana selayaknya kondisi seorang hamba tiap selesai melaksanakan ibadah, tidak tertipu dengan ibadah yang dilakukan, bahkan disyari’atkan bagi kita untuk menutup amal salih dengan istighfar.
Setiap hari hendaknya kita beristighfar kepada Allah dari segala dosa yang kita lakukan. Syari’at istighfar ini tidak hanya dilakukan setelah ibadah yang terkait dengan penunaian hak Allah, namun juga termasuk keta’atan lain berupa ihsan kepada sesama insan dan membantu insan dalam kebaikan. Hikmahnya yaitu biar tidak ada perasaan ujub atau merasa berbangga dengan jasa dan prestasi kebaikan, menganggap suci diri, sombong, dan silau dengan amal yang telah dilakukan, baik amal tersebut terkait dengan pemenuhan hak Allah maupun terkait dengan hak manusia.
***
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (2)

Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (2)
 Pentingnya menggabungkan prinsip hamdalah dan istighfar Sikap Hamba Allah Seusai Ramadhan (2)


3. Pentingnya menggabungkan prinsip hamdalah dan istighfar

Ketauhilah, bahwa prinsip hamdalah dan istighfar adalah prinsip harian seorang muslim, bukan hanya prinsip tahunan usai kita melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan. Perhatikanlah acara dzikir pagi dan sore. Seorang muslim disyariatkan mengucapkan sayyidul istighfar setiap pagi dan sore, yang di antara kalimatnya adalah
أبوء لك بنعمتك علي وأبوء بذنبي
“…aku mengakui nikmat-Mu yang Engkau anugerahkan kepada-ku dan saya mengakui dosaku…” (HR. Al-Bukhari: 6306 dan yang lainnya).
Kedua prinsip hidup yang agung ini menciptakan sirnanya penyakit-penyakit amal, menyerupai `ujub, sombong, riya’, dan sum`ah. Selain itu juga berdampak mendorong seorang hamba untuk banyak intropeksi diri (muhasabah), gampang mendapatkan masukan, gampang kerjasama dengan orang lain sebab gampang mengakui kenikmatan Allah yang didapatkan melalui orang lain. Ia gampang berterimakasih kepada orang lain, mengapa? Karena ia gampang bersyukur kepada Allah dengan cara berterimakasih kepada orang lain, yang memberikan nikmat-Nya kepadanya dengan cara berbuat baik kepadanya.
Dalam sebuah hadits,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidak bersyukur kepada Allah seorang yang tidak bersyukur kepada manusia’ (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani).
Ibnul Qoyyim menjelaskan hakikat dari kedua prinsip ini, hamdalah dan istighfar, dengan mengatakan
و العبودية مَدَارها على قاعدتين هما أصلها: حبّ كامل و ذلّ تام
“Ibadah itu berkisar di atas dua pondasi,keduanya yaitu cinta yang tepat kepada Allah serta  kerendahan dan ketundukan diri kepada Allah” (Shahih Al-Wabilush Shayyib, hal. 17).
Apa kekerabatan keduanya dengan hamdalah dan istighfar?  Berikut penjelasannya
  1. Cinta yang tepat kepada Allah, ini didapat dengan banyak mengingat kenikmatan Allah, kemudian mengakui kelebihan orang lain dan berterima kasih atas jasanya -karena itu hakikatnya yaitu nikmat Allah, sehingga tumbuh cinta, syukur kepada Allah dan memuji-Nya (hamdalah).
  2. Kerendahan dan ketundukan diri kepada Allah, didapatkan dengan banyak muhasabahmenghitung-hitung  kesalahan, kekurangan dan malu diri, sehingga terhindar dari `ujub  dan sombong, berapapun besarnya prestasi ibadah, ilmu, dan amal. Hal ini mendorong seseorang untuk banyak-banyak beristighfar.
Kita memohon kepada Allah Ta`ala agar setelah kita mencicipi lezatnya beribadah pada bulan Ramadhan dan kebahagiaan pada Hari Raya `Iedul Fithri, Allah mengakibatkan kita sebagai orang-orang yang senang sebab bertambah ketakwaan kita sebagai buah puasa dan menjadi orang yang berbahagia dengan mempunyai ciri khas senang yang disebutkan Ulama, yaitu
إذا أعطي شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذا أذنب استغفر 
“Jika mendapatkan kenikmatan bersyukur, kalau mendapatkan cobaan bersabar, kalau berdosa istighfar.”

4. Tidak tertipu dengan amal keta’atan yang telah dilakukan.

Ilustrasi
Untuk bisa menjadi orang yang beribadah dengan baik tidaklah gampang kalau tidak dimudahkan oleh Allah Ta’ala. Barangkali setiap kita pernah mempunyai tekad berpengaruh untuk melaksanakan suatu bentuk ibadah, contohnya shalat sunnah rawatib ba’diyyah, namun datang dikala melakukannya, muncullah halangan yang tidak terduga atau tidak ada halangan namun sulit untuk khusyu’, padahal shalat wajib yang kita lakukan sebelumnya bisa khusyu’ kita lakukan.
Atau shalat rawatibnya juga bisa khusyu’, namun bisa jadi tidak bisa langgeng melakukannya. Seandainya bisa langgeng melaksanakan shalat rawatib tersebut, yakinkah kita bahwa shalat-shalat sunnah tersebut pasti diterima oleh Allah Ta’ala? Dari ilustrasi di atas nampak bahwa kelemahan kita sebagai makhluk Allah dan ketergantungan kita kepada-Nya tidak akan pernah berhenti walau sekejap mata pun. Kita selalu butuh pertolongan-Nya dalam setiap amal ibadah yang kita lakukan,
apalagi kalau kita berusaha mengingat-ingat dosa yang sudah kita perbuat, dosanya sudah jelas, namun diampuninya belum tentu.
Pertanyaan besar
Sebuah pertanyaan yang patut dilontarkan, “Jika demikian keadaan kita, pantaskah kita membanggakan ibadah-ibadah yang telah berhasil kita lakukan sepanjang bulan Ramadhan yang telah berlalu tersebut?”
Taruhlah seorang hamba bisa beribadah non stop!
Sebagus apapun amal seseorang, bahkan seandainya seluruh hidup-nya untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, tidaklah layak hal itu menjadi sesuatu yang dibangga-banggakan dan dipamerkan, sehingga mengakibatkan munculnya perilaku hati yang salah, sebab ia silau melihat amalnya.
Jika seorang hamba merenungkan keagungan Allah dan besar hak-Nya atas diri hamba tersebut, betapapun kuatnya seseorang melaksanakan ibadah, betapapun banyaknya seseorang berinfak salih, pastilah ia akan memandang kecil ibadah itu pada hari Akhir kelak karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
لو أن رجلا يُجَرّ على وجهه من يوم ولد إلى يوم يموت هَرٍمًا في مرضاة الله عز وجل لحَقّرَه يوم القيامة
Seandainya seorang hamba disungkurkan wajahnya semenjak dia lahir hingga mati, hingga bau tanah renta dalam (peribadatan) menggapai keridhoan Allah `Azza Wa Jalla, pasti dia akan memandang kecil ibadahnya tersebut pada hari Kiamat” (HR. Imam Ahmad , lihat As-Silsilah Ashahihah 1/730).

5. Mengiringi keta’atan pada bulan Ramadhan dengan keta’atan sesudahnya.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
من عمل طاعة من الطاعات وفرغ منها فعلامة قبولها أن يصلها بطاعة أخرى،  وعلامة ردها أن يعقب تلك الطاعة بمعصية، ما أحسن الحسنة بعد السيئة تمحها وأحسن الحسنة بعد الحسنة تتلوها، وما أقبح السيئة بعد الحسنة تمحقها…..سلوا الله الثبات على الطاعات إلى الممات، وتعوذوا به من تقلب القلوب
“Barangsiapa yang melaksanakan suatu keta’atan dan telah final darinya, maka tanda diterimanya amal tersebut yaitu ia menyambungnya dengan keta’atan yang lainnya.Sedangkan tanda tertolaknya keta’atan tersebut yaitu ia irirngi keta’atan itu dengan maksiat. Duhai,betapa indahnya kebaikan setelah keburukan, (sehingga) kebaikan itu menghapus keburukan tersebut. Betapa baiknya suatu kebaikan yang dilakukan mengiiringi kebaikan sebelumnya. Betapa buruknya keburukan yang dilakukan setelah kebaikan, (sehingga) keburukan itu menghancurkan kebaikan tersebut……Mohonlah keistiqomahan di atas keta’atan kepada Allah hingga meninggal dunia dan mohonlah dukungan kepada-Nya dari berbolak-baliknya hati” (Lathaif Al-Ma’arif karya Ibnu Rajab, hal. 393).
Penutup
Renungankanlah!
ليس العيد لمن لبس الجديد إنما العيد لمن طاعته تزيد
و ليس العيد لمن تجمل باللباس و المركوب إنما العيد لمن غفرت له الذنوب 
Hari raya bukanlah untuk orang yang mengenakan pakaian baru, namun hari raya yaitu untuk orang yang keta’atannya bertambah. Hari raya bukan untuk orang yang berhias dengan pakaian dan kendaraan, akan tetapi hari raya yaitu untuk orang yang diampuni dosa-dosanya
Suatu saat, salah seorang Tabi’in Senior Wuhaib ibnul Wardi rahimahullah melihat sekolompok orang tertawa secara berlebihan pada hari ‘Idul Fithri, kemudian berkatalah beliau,
إنْ كان هؤلاء تُقبل منهم صيامهم، فما هذا فِعلُ الشاكرين، وإنْ كانوا لم يُتقبَّلْ منهم صيامهم فما هذا فعلُ الخائفين.
“Jika mereka termasuk orang-orang yang diterima puasanya,maka bukanlah demikian perilaku hamba Allah yang bersyukur, namun kalau mereka termasuk orang-orang yang tidak diterima puasanya, maka bukan demikian pula perilaku hamba Allah yang takut kepada-Nya”.
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Thursday, 19 December 2019

Hiburan Bagi Saudara Seiman Atas Peristiwa Jatuhnya Crane Di Masjidil Haram

Hiburan Bagi Saudara Seiman Atas Peristiwa Jatuhnya Crane Di Masjidil
Haram
Hiburan Bagi Saudara Seiman Atas Tragedi Jatuhnya Crane Di Masjidil Haram Hiburan Bagi Saudara Seiman Atas Tragedi Jatuhnya Crane Di Masjidil Haram


Tragedi jatuhnya raafi’ah (crane) di Masjidil Haram, Kerajaan Arab Saudi, yang terjadi pada hari Jumat, 27 Dzul Qa’dah 1436 H (11/9)sungguh sangat menyedihkan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Hal ini lantaran kaum muslimin yaitu saudara. Mereka diikat dengan ikatan Ukhuwwah Islamiyyah, ikatan iman.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara” (QS.Al-Hujuraat: 10).
Orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala diibaratkan sebagai sebuah tubuh, dalam hal cinta dan kasih sayang. Dari An-Nu’man bin Basyir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia bersabda: 
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
Perumpamaan kaum mukminin dalam hal cinta dan kasih sayang dan bahu-membahu mereka, mirip satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya merasa sakit, maka seluruh anggota badan yang lainnya ikut mencicipi sakit juga, dengan tidak sanggup tidur dan demam”(HR Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad, lafazh ini milik Muslim).

Hadits ini menunjukkan, bahwa ciri khas keimanan yang baik yaitu merasa sedih oleh sesuatu yang membuat sedih saudaranya. Kita sedih atas bencana alam jatuhnya raafi’ah (crane) di Masjidil Haram dan kitapun ingin menghibur saudara-saudara kita seiman yang sedang tertimpa bencana alam tersebut. Kita juga berusaha menghindari segala hal yang justru memberatkan kesedihan mereka, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Itulah tuntutan keimanan yang benar.
Adapun bahagia di atas kesedihan kaum muslimin, bergembira tersiarnya berita-berita kesalahan kaum muslimin, melontarkan pernyataan, perilaku dan tindakan yang semakin memperberat tanggungjawab pihak yang mengurus urusan kaum muslimin, memberikan komentar-komentar yang memperkeruh suasana murung cita kaum muslimin, maka ini yaitu lawan dari ciri khas keimanan yang baik!
Maukah kita, ketika kita sudah jatuh kemudian tertimpa tangga pula?
Maukah kita, ketika kita tertimpa musibah, sekedar menjadi materi “share, tontonan dan komentar” tanpa uluran tangan ,tanpa do’a terucap di bibir dan tanpa hiburan penghilang rasa sedih??
Maukah kita, ketika kita tertimpa musibah, menjadi materi olokan musuh-musuh Islam dan bahkan menjadi kegembiraan mereka???
Jika kita tidak mau, maka kitapun tidak mau hal itu menimpa saudara kita yang seiman!
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai untuk saudaranya apa saja (dari kebaikan) yang dia sukai untuk dirinya sendiri” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Ingat, wahai saudaraku!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan bahwa aturan “menyukai suatu kebaikan untuk saudara seiman yang juga kita sukai untuk diri kita” adalah wajib dan bukanlah sunnah! Dengan demikian, siapapun di antara kita, yang di dalam hatinya tidak terdapat hal itu, maka dia telah terjatuh kedalam dosa, dikarenakan telah meninggalkan kewajiban tersebut!
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda:
وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْه
“Hendaknya ia bersikap kepada orang lain dengan apa yang ia suka untuk disikapi dengannya” (HR. Muslim).
Dari hadits yang agung di atas, renungkanlah hal-hal berikut ini :
“Jika ada saudara kita yang melaksanakan kesalahan kepada kita, maka apa perilaku kita kepadanya? Berempatilah! Seandainya kita menjadi saudara kita yang bersalah itu, maka apakah yang kita harapkan? Bukankah kita berharap untuk dimaafkan, tidak disebar-sebarkan malu kita tersebut, kitapun tidak ingin dituduh melebihi kesalahan kita, tidak ingin diungkit-ungkit kesalahan yang telah kemudian sambil diingkari dan dilupakan kebaikan-kebaikan yang pernah kita lakukan?
Jika demikian, maka maafkanlah ia, saudara kita yang seiman itu! Jangan sebar-sebarkan kesalahan saudara kita, jangan kita katakan kesalahannya secara berlebihan, jangan ungkit kesalahan-kesalahan lampaunya dan jangan lupakan jasa-jasanya!
Jika saudara kita tertimpa bencana alam -apalagi kalau bencana alam itu besar-, maka apa perilaku kita kepadanya? Bayangkanlah kita jadi dia!
Ketika itu, kita ingin semoga kita tidak sekedar dijadikan materi gunjingan dan tontonan orang lain. Ketika itu kita berharap kepada Allah supaya menghilangkan atau meringankan bencana alam tersebut dan berharap pula semoga Dia menolong kita! Kita bahagia saudara-saudara kita mendo’akan, menjenguk, menolong serta menghibur kita dan keluarga kita! Jika demikian, lakukanlah apa yang kita senangi dan kita harapkan ketika itu, untuk saudara kita tersebut!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وكذلك من لا يحب لأخيه المؤمن ما يحب لنفسه، لم يكن معه ما أوجبه اللّه عليه من الإيمان، فحيث نفى اللّه الإيمان عن شخص، فلا يكون إلا لنقص ما يجب عليه من الإيمان، ويكون من المعرضين للوعيد، ليس من المستحقين للوعد المطلق
“Demikian pula,barangsiapa yang tidak menyukai untuk saudaranya yang beriman, apa yang dia sukai untuk dirinya, maka dalam dirinya tidak ada keimanan yang diwajibkan oleh Allah kepadanya.”
Ketika Allah menafikan keimanan dari seseorang, maka tidaklah ini terjadi melainkan lantaran adanya kekurangan pada keimanannya yang wajib (ada), sehingga pelakunya termasuk orang-orang yang terkena bahaya Allah dan bukan termasuk orang-orang yang berhak memperoleh kesepakatan yang tepat dari Allah.” (Majmu’ Fataawa: VII/41).
Maka dalam rangka menunaikan kewajiban kita, yaitu menyayangi untuk saudara kita suatu kebaikan yang kita cintai untuk diri kita, maka berikut ini beberapa kalimat penghibur murung bagi saudara-saudaraku yang sedang tertimpa musibah, semoga bermanfaat.
Wabillahi nasta’iin,

Kita semua niscaya diuji!

Orang-orang yang beriman pastilah akan diuji di dunia ini, lantaran dunia ini yaitu daerah ujian keimanan, sedangkan Akhirat yaitu daerah pembalasan. Tidaklah mereka dibiarkan masuk ke dalam nirwana tanpa ujian!
Allah Ta’ala berfirman :
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ
Apakah kalian menerka bahwa kalian akan masuk Surga, padahal belum tiba kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian?” (Al-Baqarah: 214).
Ujian dari Allah Ta’ala itu ada dua:
  1. Ujian kesenangan
  2. Ujian kesusahan (musibah)
Allah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mencicipi mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan” (QS. Al-Anbiyaa`: 35).
Adapun ujian musibah, maka sanggup jadi suatu bencana alam berat yang kita rasakan menghasilkan banyak kebaikan. Allah Ta’ala berfirman:

فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلُ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Maka sanggup jadi kalian membenci sesuatu, padahal Allah menyebabkan padanya kebaikan yang banyak” (QS An-Nisaa`: 19).

Di balik bencana alam ada nasihat yang indah!

Dibalik bencana alam niscaya ada nasihat yang indah bagi orang-orang yang beriman! Banyak nasihat dari sebuah musibah, di antaranya yaitu sebagai penghapus dosa dan untuk mengangkat derajat seorang hamba.
1. Musibah merupakan penghapus dosa
Abu Hurairoh radhiyallah ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda
مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ  
“Bencana akan senantiasa menimpa kepada orang mukmin laki-laki maupun wanita, pada dirinya, anaknya dan hartanya hingga ia bertemu dengan Allah (dalam keadaan) tidak mempunyai dosa” (HR. Turmudzi dan dishahihkan Syaikh Al-Albani).
Ulama telah menjelaskan bahwa seorang hamba yang sabar dan mengharap pahala dari Allah ketika ditimpa bencana alam pada dirinya, anak dan hartanya, kemudian Allah terus mengujinya dengan banyak sekali macam ujian, hingga ia meninggal dan bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa, akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan telah higienis dari kesalahan yaitu sebuah kenikmatan yang besar! Betapa indahnya buah orang yang sabar dan mengharap pahala dari Allah ketika ditimpa bencana alam dan betapa ruginya orang yang berkeluh kesah, marah, protes terhadap takdir dan tidak sabar dalam menghadapi ujian musibah!
2. Musibah penyebab diangkatnya derajat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was salam bersabda :
ما من شيء يصيب المؤمن حتى الشوكة تصيبه إلا كتب الله له بها حسنة ، أو حطّت عنه بها خطيئة  
Tidaklah sesuatupun yang menimpa orang mukmin, hingga duri yang menancapnya kecuali Allah catat baginya kebaikan dan dihilangkan darinya kesalahan, dengan lantaran bencana alam tersebut” (HR. Muslim).
3. Bahkan terkadang, besarnya bencana alam itu menjadi tanda kuatnya keimanan seorang mukmin yang terkena bencana alam tersebut.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqosh radhiyallahu ‘anhu berkata : Sayabertanya :
يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاءً ؟  الأَنْبِيَاءُ , ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ , فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ , فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاؤُهُ , وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ , فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ .
“Wahai Utusan Allah, siapakah orang yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi was sallam menjawab, Para Nabi, kemudian orang yang paling baik (imannya setelah mereka, pent.) dan orang yang paling baik lagi (sesudahnya). Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat, maka dia akan mendapat ujian begitu kuat. Apabila agamanya lemah, maka dia akan diuji sesuai dengan agamanya. Senantiasa seorang hamba akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan higienis dari dosa.’” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (143)).

Terkhusus untuk saudaraku seiman yang tertimpa bencana alam jatuhnya raafi’ah (crane) dan keluarga mereka

Meskipun sesungguhnya bencana jatuhnya raafi’ah (crane) di Masjidil Haram, Arab Saudi, yang terjadi pada hari Jumat, 27 Dzul Qa’dah 1436 H yaitu bencana alam bagi seluruh kaum muslimin, namun nasehat dan hiburan ini lebih diperuntukkan bagi korban luka-luka dan keluarga korban yang meninggal dunia. Namun tetaplah nasehat dan hiburan ini berfungsi untuk menghibur kita semua kaum muslimin yang ikut mencicipi kesedihan mereka juga. Semoga hal ini sanggup bermanfa’at untuk meningkatkan keimanan kita semua dan meningkatkan kecintaan kita kepada Allah Ta’ala.
Nasehat dan hiburan ini penyusun olah dari ceramah Syaikh DR. Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullah dengan beberapa perubahan dan tambahan.
Do’a mengawali nasehat dan hiburan ini
Kita ikut berduka cita atas bencana alam jatuhnya raafi’ah (crane)  yang menimpa saudara-saudara kita yang seiman, kita memohon kepada Allah Ta’ala agar mendapatkan ibadah saudara-saudara kita yang meninggal dunia dalam bencana alam tersebut, mengampuni dosa-dosa mereka dan memuliakan daerah kembalinya mereka. Amiin.

Tanda Khusnul Khatimah

Dalam bencana alam besar tersebut, kita ingin sampaikan beberapa perkara yang semoga sanggup menghibur diri kita dan keluarga korban yang ditinggalkan, dengan beberapa kalimat berikut ini:
1. Mereka berada dalam tiga kemuliaan.
Saudara-saudara kita yang meninggal dunia dalam bencana alam tersebut berada dalam tiga kemuliaan, yaitu kemuliaan tempat, zaman, dan keadaan.
Kemuliaan waktunya
Saudara-saudara kita yang meninggal dunia dalam bencana alam tersebut meninggal pada hari Jum’at, Hari Jum’at yaitu hari yang paling muliaDari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhumenuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ ، وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا .
“Hari paling baik di mana matahari terbit pada hari itu yaitu hari Jum’at, pada hari itu Nabi Adam diciptakan, dan pada hari itu pula Nabi Adam dimasukkan ke dalam Surga, serta diturunkan dari Surga” (HR. Muslim).
Apalagi keruntuhan raafi’ah (crane) terjadi pada sekitar pukul 17.23 waktu setempat, berarti di selesai hari Jum’at. Waktu inipun mempunyai keutamaan tersendiri, yaitu waktu yang mustajab untuk berdo’a.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً ، لَا يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ.
“Hari Jum’at itu dua belas pecahan waktu. Tidak ada seorang muslimpun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan Allah akan mengabulkannya untuknya. Maka carilah waktu tersebut pada selesai waktu (pada hari Jum’at) yang jatuh setelah ‘Ashar.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasaa`i, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).
Kejadian itupun terjadi pada bulan bulan zulqa’dah yang merupakan salah satu dari empat bulan haram. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia sedang berkhutbah di hadapan manusia, pada hari raya Idul Adha, ketika haji Wada’. Di antara yang dia sabdakan adalah
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ : ذُو الْقَعْدَةِ ، وَذُو الْحِجَّةِ ، وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبٌ ، شَهْرُ مُضَرَ ، الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ.  
Sesungguhnya zaman ini telah berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah membuat langit dan bumi, yang mana satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram. Tiga bulan yang (letaknya) berurutan, yaitu zu’qa’dah, zulhijjah, muharram, dan bulan rajab, yaitu bulan yang dikenal oleh suku Mudhar yang berada di antara bulan Jumada (Akhir) dan bulan Sya’ban.”  
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu mennjelaskan wacana keutamaan bulan-bulan haram,
ثم اختص من ذلك أربعة أشهر فجعلهن حراما ، وعظم حرماتهن ، وجعل الذنب فيهن أعظم ، والعمل الصالح والأجر أعظم .
“Kemudian Allah mengkhususkan empat bulan sebagai bulan-bulan haram dan Allah pun mengagungkan kemuliaannya. Allah juga menyebabkan perbuatan dosa yang dilakukan didalamnya lebih besar. Demikian pula, Allah pun menyebabkan amalan shalih dan ganjaran yang didapatkan didalamnya lebih besar pula” (Tafsir Ibnu Katsir: 3/26)
Kemuliaan tempatnya
Mereka meninggal di Masjid Haram dan di samping Ka’bah. Masjid Haram mempunyai keutamaan yang sangat tinggi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلَاةٌ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ 
Satu shalat di Masjidil Haram lebih utama dibandingkan seratus ribu shalat di daerah lainnya” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani).
Kemuliaan keadaannya
Pada ketika detik-detik jatuhnya raafi’ah (crane) tersebut, secara umum mereka sedang beribadah kepada Allah. Di antara mereka ada yang sedang duduk membaca Al-Qur’an, ada juga yang gres selesai melaksanakan Thawaf dan yang lainnya.
Mereka semua beribadah kepada Allah Ta’ala semata, merendahkan diri dan tunduk kepada-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِعَبْدٍ خَيْرًا عَسَلَهُ قِيلَ وَمَا عَسَلُهُ قَالَ يَفْتَحُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ عَمَلًا صَالِحًا قَبْلَ مَوْتِهِ ثُمَّ يَقْبِضُهُ عَلَيْهِ ”
“Jika Allah ‘Azza wa Jalla menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, maka Allah memperbagus kebanggaan untuknya di tengah-tengah masyarakat. Ada orang yang bertanya: “Apa maksud memperbagus kebanggaan untuknya? Beliau menjawab: Allah ‘Azza wa Jalla membukakan untuknya (kesempatan sehingga bisa) berzakat shaleh sebelum kematiannya, kemudian Allah cabut nyawanya dalam keadaan berzakat shaleh tersebut” (HR. Ahmad, dishahihkan Syaikh Al-Albani).
2. Mereka meninggal pada hari Jum’at
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa saudara-saudara kita yang meninggal dunia dalam bencana alam tersebut, mereka meninggal pada hari yang paling muliayaitu: Jum’at.
Sedangkan dalam suatu hadits dijelaskan bahwa keadaan seorang hamba, saat-saat selesai menutup usianya, memperlihatkan nilai tersendiri,
إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَـوَاتِيْمُ.
Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya“. [HR Bukhari dan lainnya]
Diantara nilai dan makna yang khas itu yaitu ketika seorang muslim meninggal pada hari Jum’at!
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jum`at atau malam Jum`at, melainkan Allah akan menjaganya dari siksa kubur“. (HR. At-Tirmidzi) [1].
Semoga saudara-saudara kita yang meninggal dunia pada hari Jum’at tersebut, dijaga oleh Allah Ta’ala dari siksa kubur. Allahumma Amiin.
3. Mereka meninggal jauh dari daerah kelahirannya.
Orang yang meninggal dunia jauh dari daerah kelahirannya, maka akan diukur jarak dari daerah lahirnya hingga daerah meninggalnya, kemudian ukuran jarak tersebut diperuntukkan untuk ukuran tempatnya di Surga!
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Aash radhiyallahu ‘anhuma berkata:
Seseorang yang berkelahiran kota Madinah, meninggal di kota tersebut. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, kemudian bersabda:
يا ليته مات بغير مولده
Duhai seandainya dia mati bukan di daerah kelahirannya!
Para Sahabat bertanya: “Mengapa demikian, wahai Utusan Allah?
Beliau bersabda:
إن الرجل إذا مات بغير مولده قيس له من مولده إلى منقطع أثره في الجنة
Seorang (muslim) itu kalau meninggal dunia bukan di daerah kelahirannya, maka akan diukur baginya (jarak) antara daerah kelahirannya hingga daerah penghabisan umurnya, (lalu diberi seluas itu pula, daerah kembalinya) di Surga! [HR. An-Nasaa`i dan dihasankan oleh Al-Albani].
Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan untuk mereka keluasan daerah kembali di Surga sejauh jarak tanah kelahiran mereka di negara Indonesia hingga kota Mekah di Kerajaan Saudi Arabia. Allahumma Amiin.
4. Mereka meninggal di bawah reruntuhan
Meninggal lantaran tertimpa reruntuhan yaitu salah satu golongan yang dikategorikan kedalam mati syahid.
Berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia bersabda:
الشُّـهَدَاءُ خَمْسَةٌ: المَـطْعُوْنُ، المَـبْطُوْنُ، والغَـرْقُ وَصَاحِبُ الهَـدْمِ والشَّهِـيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Orang yang mati syahid ada lima, (yaitu) : orang yang (mati) terkena penyakit tha’un, sakit perut, orang yang tenggelam, orang yang terkena reruntuhan dan orang yang syahid di jalan Allah“.
Sedangkan termasuk dalam hadits ini yaitu reruntuhan raafi’ah (crane) yang menimpa saudar-saudara kita.
Semoga Allah Ta’ala menjadikan mereka termasuk golongan hamba-hamba-Nya yang mati syahid. Allahumma Amiin.
5. Setiap hamba akan dibangkitkan menurut kondisi meninggalnya!
Sekian banyak saudara-saudara kita tersebut, meninggal dalam keadaan beribadah kepada Allah Ta’ala.
Maka kita berharap semoga Allah Ta’ala membangkitkan mereka kelak dalam keadaan melaksanakan peribadatan, sesuai dengan kondisi meninggalnya mereka.
Karena Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ
“Setiap hamba akan dibangkitkan menurut kondisi meninggalnya” (HR Muslim no 2878)
Berkata Al-Munaawi dalam Faidhul Qadiir (6/457)
أي على الحال التي مات عليها من خير وشر
Maksudnya: sesuai dengan keadaan matinya, baik dalam keadaan baik maupun buruk.
Oleh lantaran itu, ketika ada seorang jama’ah haji yang meninggal di Arafah, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
فَإِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّياً
Karena sesungguhnya Allah akan membangkitkannya kelak di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah!”. [HR. Al-Bukhari dan Muslim].

Penutup

Nasehat dan hiburan yang sederhana ini, semoga besar manfa’atnya.
Semoga Allah Ta’ala menerima ibadah saudara-saudara kita yang meninggal dunia dalam bencana alam tersebut, mengampuni dosa-dosa mereka dan memuliakan daerah kembalinya mereka.
Dan semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kesabaran kepada para keluarga korban dan mengganti sesuatu yang hilang dari mereka dengan yang lebih baik darinya.
Demikian pula, tak lupa kita berdo’a semoga Allah Ta’ala menolong pemerintah RI dan pemerintah KSA supaya lancar urusan mereka dalam menuntaskan problem ini.
Sebagaimana juga kita berdo’a semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kaum muslimin seluruh dunia untuk bersatu mensikapi problem ini dengan berilmu dan bijak serta sebetulnya menolong mereka yang sedang kesusahan. Allahumma Amiin.
___
Catatan kaki
[1] Syaikh Al-Albani menyatakan hasan atau shahih, setelah dikumpulkan jalan-jalan periwayatannya.
***
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id

Wednesday, 18 December 2019

Musibah Ialah Sebab Dosa Kita (1)

Musibah Ialah Sebab Dosa Kita (1)
Berbagai peristiwa alam terjadi di negeri yang kita cintai ini Musibah Adalah Karena Dosa Kita (1)


Berbagai peristiwa alam terjadi di negeri yang kita cintai ini, dari mulai gempa, angin kencang, longsor, banjir, dan banyak sekali macam wabah penyakit serta banyak sekali bentuk krisis, baik krisis ekonomi, keamanan, maupun akhlak. Semua itu, satu persatu, silih berganti tiba menjelang, belum akibat tertangani problem yang satu, muncul problem yang lain.
Ada apa gerangan? Simaklah sebuah kabar yang mustahil salah dan pasti benarnya, yang berasal dari Allah Ta’alaAllah Ta’ala berfirman :
وَما أَصابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِما كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيرٍ
“Dan segala peristiwa alam yang menimpa kalian yaitu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kalian)” (QS. Asy-Syuuraa: 30).
Ibnu Katsiir rahimahullah menjelaskan,
وقوله وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم أي مهما أصابكم أيها الناس من المصائب فإنما هو عن سيئات تقدمت لكم ويعفو عن كثير أي من السيئات ، فلا يجازيكم عليها بل يعفو عنها، ولو يؤاخذ الله الناس بما كسبوا ما ترك على ظهرها من دابة
“Dan firman-Nya (yang artinya) dan segala peristiwa alam yang menimpa kalian yaitu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian maksudnya wahai manusia! peristiwa alam apapun yang menimpa kalian, semata-mata lantaran keburukan (dosa) yang kalian lakukan. “Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kalian)” maksudnya yaitu memaafkan dosa-dosa kalian, maka Dia tidak membalasnya dengan siksaan, bahkan memaafkannya. Dan jika sekiranya Allah menyiksa insan disebabkan perbuatannya, pasti Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun (Faathir: 45) (Tafsir Ibnu Katsiir: 4/404).
Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas,
يخبر تعالى، أنه ما أصاب العباد من مصيبة في أبدانهم وأموالهم وأولادهم وفيما يحبون ويكون عزيزا عليهم، إلا بسبب ما قدمته أيديهم من السيئات، وأن ما يعفو اللّه عنه أكثر، فإن اللّه لا يظلم العباد، ولكن أنفسهم يظلمون وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ وليس إهمالا منه تعالى تأخير العقوبات ولا عجزا.
“Allah Ta’ala memberitahukan bahwa tidak ada satupun peristiwa alam yang menimpa hamba-hamba-Nya, baik peristiwa alam yang menimpa tubuh, harta, anak, dan menimpa sesuatu yang mereka cintai serta (musibah tersebut) berat mereka rasakan, kecuali (semua peristiwa alam itu terjadi) lantaran perbuatan dosa yang telah mereka lakukan dan bahwa dosa-dosa (mereka) yang Allah ampuni lebih banyak.
Karena Allah tidak menganiaya hamba-hamba-Nya, namun merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Dan jika sekiranya Allah menyiksa insan disebabkan perbuatannya, pasti Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun, dan menunda siksa itu bukan lantaran Dia teledor dan lemah” (Tafsir As-Sa’di: 899).
Al-Baghawi rahimahullah menukilkan perkataan seorang tabi’in pakar tafsir Ikrimah rahimahullah,
ما من نكبة أصابت عبدا فما فوقها إلا بذنب لم يكن الله ليغفر له إلا بها، أو درجة لم يكن الله ليبلغها إلا بها .
“Tidak ada satupun peristiwa alam yang menimpa seorang hamba, demikian pula peristiwa alam yang lebih besar (dan luas) darinya, kecuali lantaran alasannya yaitu dosa yang Allah mengampuninya hanya dengan (cara menimpakan) peristiwa alam tersebut (kepadanya) atau  Allah hendak mengangkat derajatnya (kepada suatu derajat kemuliaan) hanya dengan (cara menimpakan) peristiwa alam tersebut (kepadanya)” (Tafsir Al-Baghawi: 4/85)
(Bersambung)
***
[serialposts]
Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah
Sumber : Muslim.or.id