Oleh: Tgk. Rahmat Zul Azmi |
play.google.com |
Kelahiran dan Asal-Usul.
Tengku Muda Waly dilahirkan di desa Blang Poroh, kecamatan Labuhan Haji, kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1917 M. Ayah dia berjulukan Syekh Haji Muhammad Salim bin Malim Palito, seorang da’i asal Batusangkar Sumatera Barat yang tiba ke Aceh Selatan untuk berdakwah dan mengajarkan agama.
Di tanah Aceh Selatan ini pula Haji Muhammad Salim berjodoh dengan Siti Janadat, putri seorang kepala desa. Demikianlah nasab Tengku Muda Waly, ayahnya seorang ulama dan ibunya seorang anak pemimpin masyarakat. Sewaktu Tengku Muda Waly masih berada dalam kandungan ibunya, Haji Muhammad Salim bermimpi bahwa bulan purnama telah turun ke pangkuan beliau, sebagai isyarat bahwa anak itu akan menjadi orang besar di kemudian hari.
Nama dia sewaktu kecil yaitu Muhammad Waly. Setelah dia berada di Sumatera Barat dalam shaf para ulama besar, maka dia dipanggil dengan gelaran Anko Mudo atau Tuanku Mudo Waly, atau Angku Aceh. Setelah dia kembali ke Aceh masyarakat memanggilnya dengan Tengku Muda Waly.
Perjalanan Pendidikan.
Beliau mendapat pendidikan keagamaan dari ayah kandung dia Haji Muhammad Salim, disamping juga berguru di sekolah Volks-School (sekarang setingkat dengan sekolah dasar). Setelah dia menamatkan Volks-School, dia diantarkan oleh ayahandanya ke sebuah pesantren di Ibukota Labuhan Haji, yaitu pesantren Jami’ah Al-Khairiyyah dibawah pimpinan Tengku Muhammad Ali atau yang masyhur dikalangan masyarakat Labuhan Haji dengan sebutan Tengku Lampisang Aceh Besar, sambil dia menyambung ke sekolah umum Vervolg-School (sekolah sambungan) selama 2 atau 3 tahun.
Setelah kurang lebih 4 tahun berguru di Jami’ah Al-Khairiyyah, dia diantarkan oleh orang tuanya ke pesantren Bustanul Huda di Ibukota Kecamatan Blang Pidie dibawah pimpinan Syekh Mahmud Aceh Besar. Di sini mulailah dia mempelajari kitab-kitab yang masyhur dikalangan ulama Islam mazhab Syafi’i, ibarat I’anah Al-Thalibin, Tahrir dan Mahally dalam ilmu Fiqh. Serta Alfiyah dan Ibnu ‘Aqil dalam bahasa Arab, demikian seterusnya dalam ilmu Tauhid dan lain-lainnya. Dan dia juga merupakan santri terpintar di pesantren tersebut.
Setelah beberapa tahun dia berguru di pesantren Bustanul Huda, dia mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikannya pada pesantren-pesantren terkemuka di Aceh Besar. Setelah dia mengungkapkan keinginannya pada ayahnya Haji Muhammad Salim, maka ayahnya pun gembira sekali. Apalagi dia telah melihat bahwa puteranya itu telah menamatkan banyak sekali kitab-kitab kenamaan.
Dalam artian, apabila dia Haji Muhammad Waly tidak berkehendak untuk melanjutkan studinya, namun dengan pengetahuan yang ada sudah sanggup dimanfaatkan untuk masyarakat serta sudah memenuhi kriteri untuk membuka sebuah forum pendidikan layaknya sebuah pesantren.
Perjalanan dia dari kampung halaman Desa Blang Poroh Labuhan Haji dibekali oleh ayahanda dia dengan sebu paun emas yang dari kepunyaan abang kandung wanita dia sendiri, yaitu Ummu Kalsum. Kakak dia merasa gembira sanggup memperlihatkan kalung emas miliknya itu lantaran melihat besarnya impian yang dimiliki oleh saudara kandung laki-lakinya itu.
Setelah beberapa hari dalam perjalanan dia dan temannya yang berjulukan Tengku Salim hingga di Banda Aceh. Dan tidak lama sesudah itu mereka berniat untuk mengikuti pendidikan di pesantren besar Krueng Kale, yang dipimpin oleh Haji Hasan Krueng Kale.
Pada waktu dia hingga di pesantren Krueng Kale tepatnya di pagi hari, Syekh Hasan Krung Kale sedang mengajar kitab-kitab agama. Di antara kitab yang dibaca ialah sebuah kitab dalam ilmu balaghah, Syarah Jauhar Al-Maknun.
Beliau mengikuti syarahan dan bacaan-bacaan yang disampaikan oleh Syekh Hasan pada hari itu. Setelah selesai pelajaran dia mencicipi bahwa pelajaran-pelajaran yang dibaca dan disyarah oleh Haji Hasan Krueng Kale, berdasarkan dia tidak lebih dari pengetahuan yang dia miliki dan apabila dia membaca kitab-kitab tersebut, maka dia akan sanggup mensyarahnya sebagaimana yang telah disampaikan oleh Syekh Hasan tersebut.
Walaupun demikian, dia tetap mengganggap Syekh Krueng Kale selaku guru juga, meskipun mendengar pelajaran dia hanya beberapa jam saja. Oleh lantaran itu, dia hanya menghabiskan satu hari saja di pesantren Krueng kale tersebut. Beliau senantiasa dengan temannya Tengku Salim mencari pesantren lain yang sekiranya betul-betul sanggup menambah pengetahun yang ada yang telah mereka miliki. Hingga akhirnya, antara dia dan temannya berpisah demi mencari pesantren yang sanggup memenuhi impian mereka.
Pada zaman itu pula populer seorang ulama lain di Aceh Besar, meskipun kealimannya di bawah Syekh Hasan Krueng Kale, akan tetapi kemasyarakatannya dikenal lebih luas dari beliau, yaitu Syekh Hasballah Indrapuri. Dan dia Syekh Hasballah Indrapuri ini mempunyai sebuah pesantren di tempatnya di Indrapuri Aceh Besar. Pesantren ini lebih menonjol dalam ilmu Al-Qur’an, yakni ilmu-ilmu yang berkaitan dengan qira’at dan lain sebagainya.
Tengku Muda Waly mencicipi bahwa ada sebagian ilmu agama yang dia masih belum mendalaminya, yaitu ilmu Al-Qur’an dalam pengertian diatas. Meskipun ilmu ini secara dasar telah dia pelajari dari ayahnya, namun dia masih merasa belum cukup dalam ilmu pengetahuan ini. itulah salah satu lantaran yang menjadi dorongan dia untuk masuk ke pesantren indrapuri tersebut.
Sesampai dia di pesantren tersebut, dia melihat bahwa di pesantren tersebut telah ada sistem madrasah yang mempunyai dingklik dan meja. Ini berarti suatu perubahan gres yang dia lihat. Kebetulan pada ketika itu ada seorang ustad yang sedang mengajar di kelasnya. Pada ketika ustad tersebut membaca sebuah kitab kuning, Tengku Muda Waly menunjuk tangan, bahwa bacaannya itu tidak benar dan syarahan yang diucapkan juga tidak benar.maka Tengku Muda Waly meluruskan baris-baris kitab berdasarkan ilmu bahasa Arab dan membetulkan syarahan dan makna ibarat kehendak pengarang kitab itu sendiri.
Dari situlah ustad dan murid-murid kelas mulai mengenal seorang anak muda yang gres tiba ke pesantren dan mempunyai ilmu pengetahuan agama yang mendalam. Maka ustad itupun mengajak dia ke rumahnya dan memerintahkan kepada pengurus untuk mempersiapkan asrama kawasan tinggal beliau. Beliau sangat bersyukur kepada Allah Swt. lantaran pada hari itu juga perbekalan dan persiapan yang dia bawa telah habis sama sekali. Maka dengan penyambutan pengurus pesantren terhadap dia pada hari itu, melegakan perasaan beliau, sehingga dia tidak perlu memikirkan duduk perkara perbelanjaan.
Pimpinan pesantren yang dipimpin oleh Tengku Syekh Hasballah Indrapuri setuju untuk mengangkat Tengku Muda Waly sebagai salah seorang guru pesantren yang dianggap senior untuk membantu Tengku Syekh Hasballah Indrapuri.
Mulailah Tengku Muda Waly mengajar di pesantren tersebut dalam kurun waktu tiga bulan tanpa mengenal waktu, pagi, siang, dan malam. Dan dalam selama Tengku Muda Waly mengajar, dia tidak pernah sakit, bahkan semangat dan impian semakin bergelora untuk terus mendapat ilmu pengetahuan yang lebih banyak lagi.
Begitulah dari bulan ke bulan hingga mencapai lebih dari setahun dia di pesantren indrapuri. Sehingga dia semakin dikenal dan masyhur dikalangan para santri dan pesantren-pesantren disekitarnya.
Akhirnya lembaran sejarah hidup dia mulai berubah ke tingkat yang lebih memilih pada sejarah hidup dia di kemudian hari. Hingga datanglah proposal dari seorang pemimpin masyarakat, yaitu Tengku Hasan Geulumpang Payong. Beliau merupakan seorang pemimpin masyarakat yang menghendaki adanya pembaharuan di kalangan para ulama Aceh, pengembangan ilmu keagamaan di Aceh dan umat Islam Aceh.
Setelah Tengku Hasan memperhatikan Tengku Muda Waly, terkandunglah niat dan perasaan dalam hati beliau, bahwa perjaka ini perlu ditingkatkan pengetahuan dan pendidikannya, bahkan jikalau perlu dikirim ke Al-Azhar Mesir. Tetapi oleh lantaran di sumatera barat sudah populer ada seorang cendikiawan yang telah menamatkan pendidikannya di Al-Azhar dan Darul Ulum, Kairo, Mesir. Beliau yakni Ustad Mahmud Yunus dan dia juga telah mendirikan sebuah perguruan tinggi di Padang berjulukan Normal Islam School.
Oleh lantaran itu Tengku Hasan mengirim Tengku Muda Waly ke Normal Islam, sebagai jenjang pendahuluan sebelum melanjutkan ke Al-Azhar Mesir. Di sinilah asal mulanya dia berangkat meninggalkan Aceh menuju Sumatera Barat dengan menaiki kapal laut.
Setelah dia hingga ke Normal Islam, dia mendaftarkan diri sebagai salah seorang pelajarnya di sekolah itu dan memperkenalkan dirinya bahwa dia yaitu pelajar dari Aceh yang diutus untuk menyambung pelajarannya di sekolah Normal Islam tersebut.
Lebih kurang tiga bulan dia berguru di Normal Islam dan jadinya dia mengundurkan diri dengan hormat. Keluar dari forum pendidikan itu dengan beberapa alasan, diantaranya lantaran ilmu agama yang diajarkan di Normal Islam terlalu sedikit, sebaliknya pelajaran umum lebih banyak. Beliau juga diperintahkan untuk beradaptasi dengan peraturan sekolah, diantaranya harus menggunakan dasi, celana panjang, dan berolah raga.
Setelah dia keluar dari Normal Islam, dia bertemu dengan Isma’il Ya’qub, orang Aceh yang telah lama tinggal di Sumatera Barat. Isma’il Ya’qub inilah yang menganjurkan kepada Tengku Muda Waly untuk tidak pribadi pulang ke Aceh, bahkan mengajaknya untuk “jalan-jalan” dulu keliling Sumatera Barat, barangkali ada manfaatnya.
Pada suatu sore Tengku Muda Waly mampir di surau sebuah kampung untuk sembahyang maghrib, yaitu surau kampung Jao. Sudah menjadi kebiasaan di surau itu bahwa sesudah sembahyang Maghrib jama’ah di surau mengadakan pengajian dipimpin oleh seorang ustad. Ternyata apa yang disyarahkan oleh ustad tersebut kurang tepat, maka tampillah Tengku Muda Waly membetulkannya sehingga ustad tersebut mengakui kesilapannya. Hal ini menarik perhatian jama’ah, sehingga para jama’ah beserta ustad tersebut meminta dia untuk tiba ke surau itu setiap sore mengimami shalat dan mengajarkan ilmu agama.
Begitulah dari hari ke hari, Tengku Muda Waly semakin populer dan masyhur dari surau ke surau, masjid ke masjid, bahkan populer di kalangan para ulama di kota padang pada ketika itu, termasuk salah seorang ulama besar, yaitu Syekh Haji Khatib Ali. Hingga dia tertarik dengan Tengku Muda Waly, kemudian menjodohkannya dengan salah seorang keluarganya, Rasimah. Dari perkawinan itu lahirlah Muhibuddin dan Halimah. Hal ini mengakibatkan dia semakin populer di kalangan ulama ahlu al-sunnah wa al-jama’ah.
Mulailah dia berkenalan dengan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan lain-lainnya. Hubungan dia dengan Syekh Muhammad Jamil Jaho pada mulanya yaitu korelasi antara guru dan murid, di mana Tengku Muda Waly tiba ke Jaho yaitu untuk berguru kitab padanya. Namun lantaran tertarik dengan kualitas keilmuan yang ada pada Tengku Muda Waly, jadinya dia menikahkan Tengku Muda Waly dengan salah seorang putrinya, yaitu Rabi’ah Jamil. Dari perkawinan ini lahirlah Ahmad Waly dan Mawardy Waly.
Pada masa-masa itulah Tengku Muda Waly beserta istrinya yang kedua, Rabi’ah Jamil berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Selama tiga bulan di tanah suci Tengku Muda Waly mengambil kesempatan untuk menimba ilmu dari ulama-ulama yang mengajar di Masjidil Haram. Beliau juga sempat bertemu dan berinteraksi dengan ulama-ulama Mesir yang sedang menunaikan ibadah haji. Dari sinilah dia semakin tertarik dengan Al-Azhar, walaupun impian itu tidak pernah kesampaian. Beliau dan istrinya pun kembali ke Sumatera Barat.
Tengku Muda Waly mencicipi bahwa ilmu agama dia dari banyak sekali disiplin ilmu dalam pesantren dan perguruan tinggi Islam telah sanggup dikenal masyarakat dan dibanggakan. Bahkan para ulama besar Minangkabau pun mengakui kualitas ilmu yang dia miliki. Meskipun demikian, semua ilmu pengetahuan itu belum sanggup menenangkan hati beliau, sehingga jadinya dia mengambil langkah untuk memasuki jalan tasawwuf, yaitu Tariqat Naqsyabandiyah.
Demikianlah sejarah ringkas perjalanan kehidupan Tengku Muda Waly sebagaimana yang dinarasikan oleh Tgk. Muhibbuddin Muda Waly, anak dia yang juga seorang ulama besar Aceh yang meraih gelar doktor dari Universitas Al-Azhar dalam bukunya yang berjudul “Ayah Kami".
Baca juga sejarah singkat dia selanjutnya: Profil Singkat Syekh Muda Waly Al-Khalidy, Ulama Pembaharu Pesantren di Aceh (2)
Oleh:
Tgk. Rahmat Zul Azmi; Mahasiswa S2 Fak. Syariah Islamiyah, Universitas Al-Azhar.
Lihat juga: