Thursday 3 October 2019

Mengenal Tgk. Ilyas Daud, Sang Inisiator Dan Ketua Kma Mesir Pertama

Oleh: Muhammad Shidqi*
Alm. Tgk. Ilyas Daud dalam sebuah memori. (Foto: Dok. KMA Mesir)
ialah daerah berkumpulnya duta Aceh yang sedang menimba ilmu di Negeri Lembah Nil. Di sisi lain ia juga merupakan replika Aceh di Bumi Para Nabi, sehingga di sinilah bawah umur Aceh mengasah kemampuan bersosialisasinya. 


Saat ini KMA berprogres dengan begitu cepat, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Teranyar, bawah umur Aceh yang berjumlah tak kurang dari 500-an ini berhasil meraih penghargaaan "Kekeluargaan Terbaik" se-Masisir. Namun, siapa sangka 40-an tahun silam jumlah mahasiswa Aceh yang menuntut ilmu di Mesir hanya berjumlah sepuluh orang: delapan mahasiswa dan dua mahasiswi. Meski demikian, mereka kerap berkumpul bersama untuk sekedar mempererat tali silaturahmi. 

Di suatu senja tahun 1974 muncullah perihal untuk menciptakan sebuah perkumpulan yang bermaksud untuk mempersatukan seluruh mahasiswa Aceh dan menjadikannya sebagai ajang curhat dan membuatkan suka dan sedih di perantauan. Ide tersebut ternyata menerima respon positif dari segenap putra-putri Aceh di Mesir kala itu. 

Beberapa hari kemudian kesepuluh Aneuk Nanggroe tersebut berkumpul untuk menindaklanjuti wangsit yang muncul beberapa hari yang lalu. Alhasil, mereka pun setuju merealisasikannya dengan membentuk sebuah komunitas yang sanggup menaungi seluruh putra-putri Aceh di Mesir. Komunitas ini dinamai Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA). 

Salah satu dari duta Aceh yang memprakarsai pembentukan KMA ketika itu ialah Tgk. Ilyas Daud, putra Bireuen yang kemudian menjadi nakhoda pertama . 

Tgk. Ilyas Daud dilahirkan pada tahun 1934 M, ia tumbuh besar di Desa Meunasah Dayah, Matang Glumpang Dua. Beliau mengawali pendidikannya di Kec. Kota Juang, Kab. Bireuen. Berdasarkan penuturan Tgk. Akhtiar Ismail, Tgk. Ilyas merupakan sobat karib dari Tgk. Hasan Tiro, maka seharusnya ia juga sempat mengecap pendidikan di Normal Islam Institute. 

Beliau mengawali pengembaraannya ke tanah Minang. Menurut kabar dari lisan ke mulut, sehabis beberapa ketika berada di Minang Tgk. Ilyas melanjutkan pengembaraannya ke India dan menetap di sana selama dua tahun sebelum berangkat ke Mesir. Dan sempurna di tahun 1957 ia menginjakkan kakinya di Negeri Para Nabi untuk yang pertama kali, hal ini dikuatkan oleh pernyataan Dr. Usman Husein yang menyampaikan bahwa Tgk. Ilyas ialah putra Peusangan yang ditunjuk oleh MASJUMI untuk melanjutkan studinya di Mesir dan datang di sana pada tahun 1957. 

Selama di Mesir, banyak hal sudah dilakukan oleh Tgk. Ilyas, perannya sudah diakui khalayak Masisir, bahkan Dubes pada ketika itu pun harus menaruh hormat kepadanya. Beliau pernah menjadi ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Mesir. Selain itu, ia juga pernah menjadi penyiar di sebuah stasiun radio di Kairo. 

Saat menginisiasi pendirian Tgk. Ilyas merupakan sesepuh di antara yang lain. Kala itu, ia sudah lulus dari Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar sejak tahun 1966. Maka tak heran kalau seluruh anak Aceh sangat hormat kepada beliau, bahkan mereka memanggilnya ‘Umdah’, yang bermakna ketua atau pemimpin. 

Di mata keponakannya, Tgk. Ilyas merupakan sosok yang sangat berkharisma dan tegas. Hal ini sanggup dilihat dari sikapnya dalam menanggapi undangan Tgk. Hasan Tiro untuk mendirikan Negara Aceh, sebagaimana diceritakan oleh Tgk. Akhtiar Ismail. Pernah suatu ketika Tgk. Hasan Tiro menyambangi Kairo dan mengajak Sang Umdah untuk mendirikan Negara Aceh, namun ia menolaknya dengan alasan ingin berkhidmat di dunia pendidikan. 

Setelah 37 tahun berkelana di Bumi Para Nabi, Tgk. Ilyas pun kembali dan mengabdi untuk tanah air. Tepatnya di tahun 1994 ia tetapkan untuk meninggalkan Mesir dan sejuta kenangannya. 

Setibanya di Aceh, hal pertama yang ingin dilakukan oleh Sang Umdah ialah menulis, apalagi ilmu filsafat yang menjadi spesialisasinya merupakan hal yang jarang diketahui ketika itu, dengan berbekal ilmu yang sudah didapatkan dari Universitas Al-Azhar juga ditambah dengan dua box kontainer kitab yang ia bawa pulang dari Mesir. Beberapa waktu kemudian barulah ia mendirikan Universitas Al-Muslim bersama Camat Matang kala itu, MA. Jangka. 

Namun di tahun 2003, ketika diberlakukan Darurat Militer terakhir di Aceh ia jatuh sakit dan dibawa ke Banda Aceh. Di sanalah ia wafat. Beliau tidak meninggalkan anak dan istri, alasannya ialah sampai maut menjemput ia belum sempat berkeluarga. 

Sosok Tgk. Ilyas merupakan eksklusif yang sederhana dan apa adanya. Meski merupakan salah satu pendiri Universitas Al-Muslim kala modern, namun ia sama sekali tidak meninggalkan namanya. Bahkan, kalau ditanya kepada orang-orang ketika ini hampir tidak ada satu pun yang mengenal atau mendengar nama beliau. 

Begitu besar dedikasi Tgk. Ilyas, cukuplah dan Universitas Al-Muslim sebagai buktinya. Pengorbanan ia untuk umat melebihi untuk dirinya sendiri. Semoga Allah Swt. mendapatkan segala amal ibadahnya dan menempatkan ia di daerah terbaik di sisi-Nya.[]

Note: Biografi ini ditulis menurut hasil wawancara saudara M. Nabil Akhtiar dengan Tgk. Zulkifli Ibrahim, keponakan Tgk. Ilyas Daud dan Tgk. Akhtiar Ismail, juga hasil wawancara penulis dengan beberapa narasumber yang pernah berjumpa dengan beliau. 

*Mahasiswa tingkat satu Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
banner
Previous Post
Next Post