Oleh; Ibnu Hafif Al-Irsyadi
google image |
Hal ini sangat didukung dengan kondisi Indonesia yang seakan menganjurkan rakyatnya untuk berpikir praktis. Lihat saja iklan-iklan di televisi maupun di jalanan, semuanya seakan berkata, “kalau ada yang mudah mengapa harus susah.” Belum lagi perjalanan politik bangsa yang dipenuhi dengan adegan membayar dan terpilih, sangat mudah untuk sanggup berkuasa.
Tidak berhenti disitu, praktisisme bahkan sudah menjalar ke dunia pendidikan. Sudah menjadi diam-diam umum, ujian nasional yang seharusnya menjadi tolak ukur kesuksesan siswa, malah menjadi ajang tunjuk kehebatan suatu instansi pendidikan.
Bayangkan seorang guru rela membeli kunci balasan demi meluluskan seluruh anak muridnya. Bukan hanya guru, di beberapa daerah malah kepala sekolah yang turun tangan. Alasanyannya klise, menjaga wibawa sekolah, guru, bahkan murid itu sendiri. Sangat praktis, mencar ilmu bertahun-tahun dan lulus hanya dengan susunan karakter yang ditulis dalam secarik kertas kecil untuk menjawab ujian. Betapa mudahnya untuk lulus. Yang tidak sekolah pun sanggup melakukannya.
Lucu memang, tapi begitulah faktanya. Praktisisme menjadi jalan hidup lebih banyak didominasi masyarakat modern, terkhusus Indonesia. Padahal dalam dunia yang sudah berumur ini, tidak ada yang praktis. Semua butuh proses, semuanya perlu kepada perjuangan. Sesuatu yang didapatkan dengan instan akan cepat hilang, begitulah aturan alam.
Allah membuat dunia bukan sehari, namun selama enam hari. Walaupun Dia sanggup menciptakannya dalam sekejap mata, Kun fayakun! Tanya kenapa? Proses. Muhammad Saw. diutus menjadi Rasul sesudah berumur 40 tahun dan berdakwah selama kurang lebih 23 tahun. Kenapa tidak pribadi saja diangkat ketika masih lebih muda dan lebih segar, kan waktu berdakwahnya jadi lebih banyak? Tanya kenapa? Proses.
Proses yang panjang inilah yang menjadi salah satu modal kesuksesan Rasulullah dalam berdakwah. Buktinya berkat proses tersebut, Islam bertahan sampai detik ini dan menyebar hampir diseluruh permukaan bumi.
Mau jadi apa jikalau semua sanggup didapatkan dengan praktis? Manusia akan berjalan dalam kelemahan, alasannya tidak ada proses jatuh ketika batita dulu. Islam akan hilang dimakan jaman. Bahkan goresan pena ini tidak akan ada, alasannya insan jadi malas menulis, sehingga karakter dan angka tidak pernah ditemukan. Mereka lebih suka berbicara, kan lebih praktis, untuk apa menulis.
Dan jikalau begitu, maka aturan alam akan menghancurkan umat manusia.
Sebenarnya ada manfaat dari hal yang praktis, yaitu kehancuran yang instan. Silahkan mencoba dan selamat menikmati praktisnya kebinasaan. Intinya, mau mudah dan hancur atau menikmati proses dan tersenyum di akhir. Ya menyerupai fase kepomong bagi kupu-kupu, jikalau ia keluar sebelum waktunya ia akan mati beberapa sentimeter dari kepompong tersebut. Tidak percaya? Coba saja sendiri di rumah.
*Penulis ialah Pimred Website KMA