Friday 22 November 2019

Harun Ar-Rasyid Dan Surat Usul Perang Romawi

Peta Kekhalifahan Daulah Abbasiyah (deviantart.com)
Oleh: Ahmad Qusyairi*

Ia berjulukan Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid bin Muhammad Mahdi bin Abdullah Mansur bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Harun lahir di Kota Ray pada 17 Zulhijjah 145 H. Ia merupakan khalifah kelima sesudah meninggal saudaranya Al-Hadi tanggal 15 Rabiul Awwal 170 H.

Harun dibaiat pada Rabi’ul Awwal 170 H, umurnya ketika itu 25 tahun, dan berkuasa 23 tahun yang berhasil membawa Daulah Abbasiyah menjadi bersinar dan kemakmuran.


Para sejarawan banyak yang mengungkapkan, Harun selalu melaksanakan shalat sebanyak 100 rakaat setiap hari, ia juga bederma dari saku sendiri setiap hari 1000 dirham hingga dia meninggal. Harun yaitu sosok khalifah yang sangat mecintai ilmu dan bahagia kepada orang-orang berilmu. Ia sangat tidak menyukai perdebatan dalam duduk masalah agama. Tidak ada satu kalimat pun dikala nama Rasulullah Saw disebutkan dihadapannya, Harun selalu bersalawat.

Harun khalifah yang gampang menangis atas dosa-dosa yang dilakukannya, jikalau ada yang memuji, ia senantiasa menawarkan uang dalam jumlah besar. Maka masuk akal saja banyak penyair disampingnya, salah satu penyair yang sangat populer pada masa itu yaitu Abu Nawas.

Pada tahun 189 H Harun Ar-Rasyid mendapatkan surat dari Kaisar Romawi Naqfur (masa kekuasaan 186-196 H). Surat yang diterima berisi ihwal penghapusan kesepakatan antara Romawi dan Abbasiyah yang sebelumnya ditandatangani oleh Khalifah Ketiga al-Mahdi –Ayah Harun Ar-Rasyid– dan Ratu Arine dikala memimpin. Ketika pemerintahan Ratu Arine berganti kepada Putra Mahkota Naqfur, ia membatalkan secara sepihak perjanjian kedua negara tersebut.

Sebelumnya, Romawi selalu membayar upeti kepada pemerintahan Abbasiyah sebagai bentuk perjanjian penghentian peperangan –yang sebelumnya dimenangkan oleh pemerintahan Abbasiyah– dan sebagai pegakuan terhadap pemerintahan Abbasiyah. Naqfur tidak terima. Ia dengan besar kepala beranggapan bahwa Romawi lebih tangguh dari Abbasiyah. Naqfur lantas mengirim surat kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid sebagai bentuk permintaan perang terhadap Daulah Abbasiyah.

“Sang ratu telah meletakkanmu ditempat yang tinggi sebagai burung besar dan posisinya menyerupai burung kecil, ratu juga telah menumpahkan hartanya kepadamu, itulah kelemahan wanita. Apabila Kamu membaca surat ini, maka kembalikan apa yang telah Kamu peroleh sebelumnya, kembalikanlah semua. Jika tidak, maka pedanglah yang akan menuntaskan permasalahan antara saya dan Kamu”

Membaca surat tersebut Harun Ar-Rasyid murka besar dan membalasnya cukup tegas “Bismillah, dari Harun Amirul Mukminin kepada Naqfur Kalburrum. Sungguh saya telah membaca surat Kamu wahai anak Kafir. Jawabannya apa yang kau lihat, bukan yang kau dengar.”

Pada hari itu juga Harun Ar-Rasyid bergegas berangkat dan masuk dalam wilayah Romawi. Ia berhasil merebut beberapa benteng hingga puncaknya ia merebut kota Heraclia. Melihat kerugian yang sangat besar di pihak Romawi, Naqfur meminta dilakukan perdamaian kembali dengan cara membayar upeti dua kali lipat setiap tahunnya.

Pada tahun itu juga Harun Ar-Rasyid menebus semua kaum muslimin yang sebelumnya ditawan di wilayah Romawi sehingga tidak tersisa seorang tawananpun.

Beberapa tahun sesudah itu ar-Rasyid bergerak menuju Khurasan. Ia berbicara kepada pengantarnya yang berjulukan Shabah ath-Thabari. 

“Wahai Sabah, Engkau tidak akan melihat saya lagi sesudah ini”

“Semoga Allah mengembalikan Engkau dalam kedaan sehat dan selamat” Ujar Shabah.

“Saya rasa Engkau tidak tau apa yang ada padaku” Kemudian Harun membuka belahan perutnya yang diikit dengan kain. Harun berkata, “Ini yaitu penyakit yang saya sembunyikan kepada siapapun, pada waktu itu ia mengucapkan selamat tinggal dan berangkat ke Juryan.”

Pada tahun 192 H bulan Sya’ban, Harun Ar-Rasyid berangkat dari Baghdad untuk memadamkan pemberontakan Ra’fik bin Lais ketika hingga di kampung Sambat, akrab Thus. Sakitnya semakin parah sehingga menyebabkannya meninggal pada bulan Jumadil Akhir 193 H, pada umurnya 84 tahun.[]

Sumber:
1. As-Suyuthi: Tarikh al-Khulafa', Hal. 226
2. Tarikh At-Thabari, Jilid. 8, Hal. 144-145, 307
3. Ibnu Atsir: Kamil fi Tarikh, Jilid. 5, Hal. 63
4. Ibnu Katsir: Rusul Muluk, Hal. 78-79


*Penulis yaitu mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah, Universitas Al-Azhar, Kairo.
banner
Previous Post
Next Post