Monday 2 March 2020

Mempertahankan Nilai- Nilai Islami Dalam Fotografi


Kamis 12 September 2013, Zawiyah KMA kembali menyapa warga KMA. Dibawah komando Kepengurusan baru, Zawiyah menjadi program perdana dalam ketidakhadiran acara KMA periode 2013-2014. Tgk Abdul Hamid ketua LITBANG terpilih, dalam kata sambutannya berharap agar kajian zawiyah ini terus berkembang, sekaligus menjadi ladang luas untuk warga KMA dalam membuatkan ilmu yang telah diperoleh dibangku kuliah.

Selain dengan semangat baru, Zawiyah kali ini juga hadir dengan pembahasan yang berbeda. Adalah tgk Mujtahid, sang fotografer KMA mencoba membahas Fotografi dari segi nilai- nilai islam yang terabaikan. Pembahasan ini terbilang sangat menarik, selain aktual, ia juga dipaparkan oleh orang yang jago dibidangnya.

Oleh alasannya ialah tidak semua warga KMA yang hadir, berikut ini akan kami hadirkan sekilas isi dari makalah tersebut.

****

Pendahuluan
Saat ini semua orang sudah mengenal dunia fotografi, akan tetapi kebanyakan dari kita tidak pernah memperdulikan siapa sebenarnya penggerak fotografi tersebut. Sebagai seorang muslim yang hidup di zaman kini kita lebih mengenal istilah kamera sebagai media fotografi dari pada Qumrah. Sedikit dari kaum muslimin yang masih mengingat istilah Qumrah yang pernah dipopulerkan oleh seorang ilmuwan muslim berjulukan Hasan bin Haitsam.

Dalam perjalanan sejarah, banyak karya ilmuwan muslim yang terlupakan oleh kaum muslim sendiri. Sehingga banyak yang beranggapan perkembangan teknologi yang kita temukan kini merupakan hasil karya orang-orang barat nonislam. Ketidak tahuan kita terhadap sejarah memudahkan kaum barat menggiring opini publik yang menyampaikan islam sebagai agama terbelakang, sehingga kita tidak sadar bekerjsama islam telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan luar biasa di segala bidang termasuk dalam bidang sains.

Dalam perkembangan selanjutnya, fotografi yang mengalami perkembangnnya di barat, sedikit banyaknya terpengaruh dengan  kebudayaan tempat tersebut, mirip kebebasan tanpa batas dan erotisme yang jauh dari kesan islami, sehingga para penggila fotografi dari kalangan muslim terkadang mengkonsumsinya secara mentah tanpa men-filter terlebih dahulu. Sehingga nilai-nilai fotografi yang mereka konsumsi tidak sesuai dengan syariat islam.

Pengertian Fotografi
Fotografi (dari bahasa Inggris: photography, yang berasal dari kata Yunani yaitu "photos" : Cahaya dan "Grafo" : Melukis/menulis.) ialah proses melukis/menulis dengan memakai media cahaya. Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat paling terkenal untuk menangkap cahaya ini ialah kamera. Tanpa cahaya, tidak ada foto yang bisa dibuat.

Prinsip fotografi ialah memokuskan cahaya dengan derma pembiasan sehingga bisa memperabukan medium penangkap cahaya. Medium yang telah dibakar dengan ukuran luminitas cahaya yang sempurna akan menghasilkan bayangan identik dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan (selanjutnya disebut lensa).

Untuk menghasilkan intensitas cahaya yang sempurna demi menghasilkan gambar, dipakai derma alat ukur berupa lightmeter. Setelah menerima ukuran pencahayaan yang tepat, seorang fotografer bisa mengatur intensitas cahaya tersebut dengan mengubah kombinasi ISO/ASA (ISO Speed), diafragma (Aperture), dan kecepatan rana (speed). Kombinasi antara ISO, Diafragma & Speed disebut sebagai pajanan (exposure).

Di masa fotografi digital dimana film tidak digunakan, maka kecepatan film yang semula dipakai bermetamorfosis Digital ISO.

Fotografi Dalam Pandangan Islam
Permasalahan fotografi erat kaitannya dengan dilema tashwir, sebagian ulama mengharamkan tashwir menurut hadits-hadits yang melarang tashwir tersebut, mirip hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas
( كلّ مصوّر في النار, يجعل له بكلّ صورة صوّرها نفس فيعذبه في جهنم )
Artinya : " setiap mushawwir akan masuk neraka, setiap gambar yang dihasilkannya akan dihidupkan, dan dengannya ia akan diazab" (H.R. Muslim)

Dan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah

( أشدّ الناس عذابا يوم القيامة الذين يضاهئون بخلق الله )
Artinya : '' Orang yang paling berpengaruh siksaanya di hari tamat zaman ialah para pelukis yang meniru-niru penciptaan Allah '' (H.R. Bukhari)

Juga masih banyak hadits lainnya yang menjelaskan perihal pengharaman tashwir, akan tetapi dua hadits tersebut sudah mewakili dalil para ulama yang mengharamkan tashwir dengan illah Al mudhahah atau Tasyabuh bikhalqillah dan setiap mushawwir akan diazab di dalam neraka Jahannam.

Adapun mengenai fotografi terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama, sebagian ulama beropini bekerjsama fotografi sama hukumnya dengan tashwir. Namun diantara para ulama yang menyamakan aturan fotografi dengan tashwir ada yang mengharamkannya secara mutlak dan ada juga yang membolehkannya hanya untuk keperluan darurat, mirip untuk foto paspor ataupun kartu tanda pengenal.

Diantara ulama yang mengharamkan fotografi secara mutlak ialah Syeikh Bin Baz, dia menyampaikan dalil-dalil yang mengaramkan tashwir juga berlaku dalam fotografi. Karena fotografi sanggup menjadikan sifat al ghuluw dari seorang fotografer yang merupakan sifat tidak terpuji, juga awal dari sebuah kemusyrikan dan fotografi juga menyerupai perbuatan orang  musyrik. Sebab pengharaman lainnya adalah, fotografi merupakan sebuah perbuatan yang sia-sia dan  menghabur-hamburkan uang.

Sedangkan Syeikh Ali Al Shabuny dalam kitabnya Tafsir Ayat Al Ahkam mengatakan, walaupun secara sharih dalil-dalil yang mengharamkan tashwir tidak mengandung  pengharaman fotografi, akan tetapi secara budpekerti dan bahasa fotografi masih dalam ruang lingkup tashwir, seorang fotografer juga disebut mushawwir dan foto yang dihasilkan disebut shurah. Oleh alasannya ialah itu fotografi hanya dibolehkan dalam kepentingan darurat dan untuk kemaslahatan saja, mengingat ada imbas negatif sangat besar yang ditimbulkan oleh fotografi sebagaimana yang kita lihat selama ini foto-foto yang tidak layak terpampang di banyak sekali majalah.

Adapun jumhur ulama muakhkhirin mirip Syekh Bakhit Muthi'i, Syekh Jadul Haq Ali Jadul haq, Syekh Muhammad Ali Al Sais, Syekh Yusuf Al qardhawi, Syekh Mutawalli Sya'rawi, Syekh Ramadhan Bouty dan Syekh Ali Jum’ah, mereka menghalalkan fotografi selama tidak menyimpang dari syariat islam.

Para ulama yang beropini bekerjsama fotografi tidak haram mengatakan, dalil-dalil pengharaman taswir tidak meliputi kepada pengharaman tashwir. Sebagaimana kita ketahui bekerjsama foto yang dihasilkan oleh proses fotografi merupakan rekaman bayangan, dan lebih menyerupai dengan video. Oleh alasannya ialah itu illah mudhahah dan attasyabuh bikhalqillah tidak terdapat dalam fotografi.

Syeikh Muhammad Ali Al Sais mengibaratkan foto yang dihasilkan oleh media fotografi, menyerupai seorang yang bangun di depan cermin kemudian cermin tersebut memantulkan sebuah gambar. Apakah gambar yang dipantulkan oleh cermin tersebut bisa dikatakan sebuah gambar yang dilukiskan oleh seseorang? Tentunya tidak. Demikianlah citra cara kerja sebuah kamera yang menyerupai cara kerja cermin dalam memantulkan gambar.

Dari pendapat ulama di atas kita bisa menyimpulkan bekerjsama pendapat ulama yang menghalalkan fotografi lebih erat dengan realita fotografi yang berbeda dengan tashwir. Oleh alasannya ialah itu, aturan dasar fotografi itu ialah mubah (tidak haram) selama tidak melanggar nilai-nilai yang ada di dalam syariat islam.

Mempertahankan Nilai-Nilai Islam
Selaku muslim kita harus sadar akan kemajuan yang pernah dicapai oleh ilmuwan kita di masa lalu. Kita melihat bagaimana orang-orang barat dulu berkiblat ke timur sampai-sampai pakaian yang mereka gunakan juga menggandakan ala timur, namun yang disayangkan di zaman kini kaum muslim berbalik berkiblat ke barat.

Dengan alasan kemajuan, kaum muslim dengan gampang mengikuti budaya fotografi yang berkembang di barat, tanpa men-filter-nya terlebih dahulu. Sebagai seorang muslim kita harus menjaga jati diri dikala dihadapkan dengan perkembangan yang mengusung kebebasan, erotisme dan lain sebagainya yang jauh dari kesan islami.

Selayaknya media fotografi kita manfaatkan dalam hal kebaikan dan juga kemaslahatan. islam bukanlah agama yang mengekang pemeluknya dengan perkembangan zaman, islam tidaklah demikian. Islam menunjukkan kebebasan bagi pemeluknya dalam mengikuti zaman akan tetapi dengan syarat tidak bertentangan dengan nilai-nilai dalam syariat islam itu sendiri.

Apakah dengan mempertahankan nilai-nilai islam dalam fotografi sanggup menghambat kreatifitas seorang fotografer? Tentu tidak. Justru dengan nilai-nilai islami tersebutlah kreatifitas kita tersalurkan dengan baik dan diridai Allah, sehingga setiap kreatifitas muslim berjalan di atas rida Allah.

Seorang fotografer yang bergerak di bidang modeling, kalau ia mengikuti modeling ala barat, maka ia akan mengagungkan kebebasan dan tidak menghiraukan batasan aurat yang boleh dieksploitasi oleh fotografer tersebut dari seorang model. Namun tentunya sebagai seorang fotografer islam, kita memang tidak tidak boleh untuk berkreasi, namun kita memiliki batasan- batasan kemuliaan yang harus dihortmati. Demikianlah Islam mengajarkan umatnya, berkreasi tanpa harus menumbalkan nilai-nilai islam.

Oleh alasannya ialah itu wajarlah para ulama islam berbeda pendapat dalam memandang aturan fotografi itu sendiri. Walaupun mereka berbeda akan tetapi tujuan mereka sama, yaitu menjaga kaum muslim dari nilai-nilai islam itu sendiri. Namun diantara mereka ada yang mutasyaddid dan aja juga yang tasamuh.
Sebagai kaum muslim kita patutlah berbangga telah memeluk agama yang mengajarkan kita sebuah jati diri yang harus kita jaga di manapun kita berada.]


****

Makalah yang berisi sekitar tiga belas halaman ini menerima sambutan hangat dari anggota Zawiyah, ini terlihat dari partisipasi anggota dalam menyimak dan berargumen, menanggapi isi goresan pena yang disampaikan oleh penulis.

Menjelang maghrib tiba, diskusipun ditutup dengan isyarat dari Musyrif Zawiyah. Tgk. Azwani Putra salah satu penerima yang hadir berujar ”Banyak ilmu dan maklumat-maklumat gres yang bias dipetik dari zawiyah, agar Zawiyah terus eksis dan iltizam kedepannya insya Allah”.

Semoga. (HN)


Download Makalah Mempertahankan Nilai- Nilai Islami Dalam Fotografi
banner
Previous Post
Next Post