Peserta dan pemateri Zawiyah berfoto bersama |
Studi Pengaruh Pemikiran Ibnu Arabi Terhadap Hamzah Fansuri
Pendahuluan
Di Aceh, anutan yang menyatakan Tuhan dan makhluk pada hakikatnya yakni satu berkembang lewat buku-buku dan syair-syair yang dituliskan Hamzah Fansuri. Perkembangannya lewat syair terlihat lebih efektif dalam membius pemikiran masyarakat Aceh ketika itu. Salah satunya disebabkan tradisi dan kemampuan baca-tulis masyarakat yang masih rendah, sehingga proses transfer ilmu lewat hikayat-hikayat menjadi pilihan.
Apa yang dilakukan Hamzah Fansuri dalam mengembangkan pemikirannya lewat syair-syair secara tidak eksklusif ia telah mengikuti pendahulunya, Ibnu Arabi. Konsep Tuhan yang terdapat dalam ayat-ayat dan hadis Nabi diterjemahkannya ke dalam bait-bait syair.
Dalam lembaga diskusi ilmiah Zawiyah yang berlangsung pada hari Selasa, 14/4/2015, kemudian pemikiran kedua tokoh tersebut dibedah. Kedua tokoh ini merupakan ulama sufi yang dikenal dengan pemikiran kontraversialnya, Wahdatul wujud. Namun keduanya hidup pada zaman, negeri, dan bahasa masyarakat yang berbeda.
Ibnu Arabi, nama aslinya Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath-Tha'iy Al-Hatimy Al-Mursy. Masyhur dengan Ibnu Arabi, Mahyuddin, Abu Bakar, Ibn Aflathûn (Plato), Syekh Akbar, dan juga Sulthân Al-‘Ârifîn. Lahir pada hari Senin, tanggal 17 Ramadhan 560 H./28 Juli 1165 M., di kota Mursiyah, Andalus, Spanyol. Beliau wafat pada malam Jum’at, tanggal 28 Rabiul Akhir 638 H./1240 M. di Damaskus.
Sementara Hamzah Fansuri merupakan penggerak dan perintis syair dalam bahasa Melayu. Namanya Hamzah bin Ismail. Ia dikenal dengan nama Hamzah Fansuri. Fansuri diambil dari nama kampung tempat ia dibesarkan. Tidak banyak gosip yang didapat perihal asal usulnya kecuali apa yang dikatakan oleh Abdurrahman Al-Ahmady, “bahwa ayah Syekh Hamzah Fansuri berjulukan Syekh Ismail Aceh.” Dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Muhammad Ali Al-Fansuri yakni saudaranya, dan Abdurrauf bin Muhammad Ali Fansuri As-Singkili (Syiah Kuala) yakni keponakanya.
Begitu juga dengan tanggal lahir dan wafatnya, tidak terdapat satu pun referensi yang menyatakan dengan jelas. Namun para peneliti setuju bahwa Hamzah Fansuri masih hidup hingga final masa kesulthanan Iskandar Muda (1607-1636 M.).
Yang sudah pasti, berdasarkan Ali Hasymi, ia hidup dalam masa pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1101 H./1589-1604 M.), hingga ke permulaan pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H./1607-1636 M).
Jadi sanggup diyakini bahwa ia hidup pada final kala ke-16 dan awal kala ke-17 Masehi. Setelah wafatnya, ia dimakamkan di Desa Oboh yang letaknya di pinggir sungai, Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam. Di sana, ketika ini terdapat kuburan seorang ulama dan penyair yang berjulukan Hamza Fansuri. Tertulis di kuburannya, “Ini kubur Hamzah Fansuri, mursyid Syekh Abdur Rauf.”
Wahdatul Wujud
Istilah wahdatul wujud belum dikenal pada masa dan sebelum Ibnu Arabi. Menurut William Chittick, istilah ini kemungkinan besar pertama kali diperkenalkan oleh Shadruddin al-Qunawi (w. 637 H./1273 M.), murid setia sekaligus anak tiri Ibnu Arabi, dan dipopulerkan oleh penulis-penulis sesudahnya semisal Ibn Sab‘in (w. 646 H./1248 M.), dan Afifuddin At-Tilmisan (w. 690 H./1291 M.).
Konsep wahdatul wujud yakni menyatakan hakikat wujud itu hanyalah satu, Allah Swt. Allah itu bukan alam dan alam bukanlah Allah. Dalam pandangan Ibn Arabi alam yakni penampakan diri (tajali) Al-Haqq, segala sesuatu dan segala insiden yang ada di alam ini yakni entifikasi (ta’ayyun) Al-Haqq.
Dari sini dipahami yang wujud (ada) hanyalah Allah, dan zat atau esensi yang mungkin berubah-ubah intinya tidak ada (‘adam). Menurut Ibnu Arabi dalam kitabnya Fuhus Al-Hikam, “Sesuatu yang wujud dengan dirinya sendiri maka wujud kita tidak bisa diserupakan dengan wujud-Nya. Karena tidak ada satu apapun yang serupa dengan-Nya. Wujud itu yakni Allah, Dia wajib wujud lantaran diri-Nya. Sementara insan wujud (ada) lantaran Rabb-nya. Inilah yang membedakan kita dengan diri-Nya. Antara Rabb dan marbûb (hamba) tidak bisa menyatu, Allah yakni Khâliq dan hamba itu makhluk.”
Wujud yang hakiki, yaitu Allah tidak mendapatkan perubahan, sementara wujud selain Allah yang selalu bisa berubah dengan banyak sekali kemungkinan yakni wujud khayaly (ilusi). Oleh karenanya wujud Allah itu tidak berbentuk, tetapi ber-tajali dalam banyak sekali bentuk yang terlihat dalam gambar-gambar bayangan-Nya. Allah akan dihukumkan (dipahami) sesuai dengan wajah atau bentuk yang tampil pada alam. Sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh akal, dirasa oleh indera, yang itu bersifat baharu dan banyak kemungkinan: mungkin ada dan mungkin tiada. Karena yang dilihat itu bukanlah wujud mutlak. Wujud mutlak hanyalah Allah.
Pada bentuk atau benda-benda yang ada dalam alam itu terdapat sifat ketuhanan (sifat ilahiyah). Yang ada dalam alam itu kelihatan banyak, tetapi bahwasanya itu satu. Tak ubahnya hal ini sebagaimana orang melihat dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya. Dalam cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya bahwasanya satu. Wajah bahwasanya satu, tetapi kalau engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak. Artinya, yang ada itu satu, yang banyak itu tak ada, yang kelihatan banyak dengan panca indera yakni ilusi.
Yang satu itulah wujud yang asli, dan asal dari wujud-wajud yang banyak di dalam cermin. Alam itu merupakan gambar dalam cermin dari wujud yang tetap, yaitu wujud Al-Haqq. Benda-benda yang ada pada alam yakni gambar di dalam cermin, pantulan dari zat aslinya satu yang disebut dengan al-‘akyan as-tsabitah (entitas yang tetap).
Seirama dengan Ibnu Arabi, proses penciptaan alam dari Zat Yang Satu ini oleh Hamzah Fansuri menjelaskan dalam beberapa tingkat atau tahapan. Peringkat pertama disebut ta’ayun awwal diibaratkan mirip laut. Apabila maritim itu berombak dan air maritim itu menguap (berasap) ke udara membentuk awan, maka uap air itu berada pada tingkatan kedua. Kemudian uap air yang membentuk awan itu mengalami proses kondensasi sehingga menurunkan air hujan yang turun diberbagai tempat di bumi. Air hujan ini merupakan tahapan ketiga.
Jika air hujan turun dihilir bumi disebut sungai. Air hujan yang membentuk sungai yakni tahapan keempat dan kelima yang disebut alam mitsal, yang di dalamnya terdapat penciptaan alam semesta, makhluk-makhluk, termasuk manusia. Penciptaan ini tiada berkesudahan dan tiada berhingga. Pada hasilnya sungai bermuara dan mengalir kembali ke maritim yang diibaratkan semua ciptaan-Nya akan kembali lagi kepada Tuhan.
Dalam semua tahapan tersebut terjadi 5 perubahan bentuk, namun zat air yang dasarnya dari maritim masih terkandung pada uap, awan, hujan, dan sungai. Sungai wujud dari proses tajalli terakhir merupakan proses penciptaan alam semesta yang sudah bisa dirasakan oleh indra manusia. Alam ini yakni hasil tajalli Allah pada tahapan kelima.
Wahdatul Wujud Dalam Syair Melayu
Karena Hamzah Fansuri orang pertama yang mengasaskan syair Melayu, bahkan syair sufi yang berisikan dogma wahdatul wujud maka pada goresan pena ini menampilkan beberapa syair miliknya untuk kajian konsep yang penuh kotroversial tersebut.
Dalam syairnya, Hamzah Fansuri menyatakan:
Kenal dirimu hai anak ratu
Ombak dan air asalnya satu
Seperti manikam muhith dan batu
Inilah tamsil engkau dan ratu
Dalam syair di atas, Hamzah Fansuri mengibaratkan Allah dan segala ciptaannya laksana maritim dan ombak, maritim disebutkan sebagai ratu (mâlik), dalam hal ini ratu untuk seluruh jagad raya ini, yaitu Allah, wujud yang Haqq. Adapun perumpamaan ombak, yaitu insan dan seluruh makhluk yang lain yakni ciptaan-Nya dalam bentuk yang berbeda dengan-Nya, dan itu disebut ‘akyan al-mumkinât (zat yang banyak kemungkinan berubah).
Lebih lanjut, Hamzah Fansuri dalam kitabnya, “Syarab al-‘Asyiqin,” menjelaskan, “Hai thalib, alam ini mirip ombak, keadaan Allah mirip laut, sungguhpun ombak lain daripada laut, kepada hakikat tiada lain daripada laut. ‘Qala Allahu Ta’ala: Innallaaha Ta’ala khalaqa Âdama ‘ala shûratih.’ Selain itu Rasullah juga pernah bersbada, ‘Allah mengakibatkan Adam atas rupa-Rahman. Karena Rahman disebutkan sebagai Laut, maka Adam disebutkan sebagai buih.”
Tentang Allah yakni wujud mutlak dan al-maujud al-haq, sementara alam yakni tajali dari wujud Allah, Hamzah Fansuri mempertegas dalam sebuah syairnya dengan menyampaikan bahwa insan itu diam-diam Allah dan Allah itu diam-diam manusia, insan yakni ‘alam mukhtasharah (alam mikrokosmos), dan alam yakni wujûd al-mumkinât. Antara wujûd al-mumkinât dan wajûd al-Haqq satu yaitu satu wujud. Artinya pada hakikatnya wujud itu satu.
Hamzah menyebutkan dalam syairnya:
Kata guru kita yang budiman
Al-insanu sirri dengarkan firman
Wa-ana sirruhu terlalu ‘iyan
Pada sekalian kita berjulukan insan
Terkait dengan hubungan Allah dengan manusia, atau antara hamba dengan Rabb, Hamzah Fansuri menjelaskan:
Sabda rasul Allah Nabi kamu
Li ma’a Allahi sekali waktu
Hamba dan Tuhan menjadi satu
Inilah ‘arif berjulukan tahu
Apa yang disampaikan Hamzah dalam syairnya tersebut banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan syair-syiar Ibnu Arabi. Salah satu syairnya yang hampir sama maknanya dengan syair Hamzah Fansuri di atas adalah:
الـــــرب حــــق والعـبـــد حـــــق يا ليت شـعري من المكلَّفْ
إن قلتَ عبد فذاك رب أو قـــلت رب أنـــَّى يكــلّــَـف
Tuhan yakni benar-nyata, hamba juga benar-nyata
Aduhai siapa yang dibebani kewajiban
Jika engkau katakan "hamba,"dialah “Tuhan”
Dan kalau engkau katakan “Tuhan” mengapa dibebani kewajiban
Doktrin wahdatul wujud mengingkari akan wujud alam lahir, lantaran wujud yang hakiki hanyalah Allah. Semua ciptaan merupakan bayangan dari wujud yang bahwasanya (al-Haqq). Ibnu Arabi menyampaikan bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam ini baik itu langit, bumi, jin, manusia, malaikat, binatang, flora pada hakikatnya tidak ada, yang ada hanyalah Allah. Semua itu ada lantaran entitas (‘ain) wujud-Nya.
Karena wahdatul wujud merupakan pemikiran sufi yang diasaskan oleh Ibnu Arabi, maka sudah terang bahwa anutan wahdatul wujud yang dibawa dan diajarkan Hamzah Fansuri merupakan efek dari Ibnu Arabi. Karena memang Hamzah sangat gemar banyak membaca buku-buku karya Ibnu Arabi. Bahkan anutan tasawuf wahdatul wujud berkembang di seluruh asia tenggara cikal bakalnya yakni dari Hamzah Fansuri yang lahir dan hidup di Aceh. Aceh yakni pintu masuknya Islam pertama kali di tempat Asia Tenggara.
Pemateri: As’adi Muhammad Ali
Moderator: Fazlur Ridha