Tuesday 24 December 2019

Kopi Bang Dolah






Oleh: Farhan Jihadi

Rutinitas di sebuah warung kopi sangat ramai pagi itu. Aroma kopi arabika dari dataran tinggi Gayo menyebar hingga ke tengah jalan seakan mencoba merayu orang-orang untuk singgah sebentar, menyeruput kopi.

Suara penghuni warung tak kalah ramainya. Mereka sibuk dengan dialog masing-masing. Suara mereka serupa bunyi lebah madu dikala sarangnya dilempar. Berisik dengan nada berantakan, walau terkadang indah untuk didengar. Geliat warung kopi yang terletak di persimpangan desa itu mulai bernafas kembali sejak beberapa tahun lalu, dikala tenang tiba di Aceh.

Pada masa konflik, warung kopi itu dulu pernah dibakar suatu malam oleh mereka yang disebut sebagai orang tak dikenal. Warung kopi Bang Dolah itupun hangus terbakar. Tak ada yang tersisa selain puing-puing kehancuran dan beberapa sendok kopi yang menghitam.

Setelah damai, kini kondisinya jauh berubah. Sekarang warungnya lebih luas dan tidak lagi berdindingkan kayu ibarat tempo dulu. Dinding beton dibalut cat berwarna hijau muda membuatnya lebih cerah. Pengunjungnya pun kini jauh lebih ramai. Aura kebahagiaan memenuhi setiap sudut warung.

Seorang bapak dengan kaos hitam bergambar peta Aceh masuk warung. Sarung bermotif kotak-kotak menempel di pinggangnya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi dengan warna kulit sedikit lebih cerah dari warna bajunya. Matanya tajam menatap sekitar. Semua orang di warung memperhatikan dan menyapanya dengan wajah penuh keakraban. Senyumnya mengembang kemudian tertawa lepas dikala Bang Dolah pemilik warung membisikinya sesuatu.

Hampir saja tidak ada dingklik tersisa. Beruntung Bang Dolah menyimpan dingklik untuknya. Ia langganan tetap warung kopi itu. Bang Dolah kemudian meletakkan sebuah dingklik plastik berwarna hijau berdekatan dengan dapur peracik kopi sebagai tempat duduknya. Pagi itu ia lebih menentukan duduk sendiri menolak undangan beberapa mitra bergabung bersama mereka.

Katanya duduk dekat dapur peracik kopi lebih nyaman, lebih gampang baginya mencium aroma kopi. Alasannya klise, aroma khas kopi yang dipanaskan dalam suhu tertentu membuatnya nyaman.

Ia tak lagi absurd bagi penduduk kawasan itu. Orang-orang mengenalnya dengan nama Cek Mat. Dulu ia merupakan salah seorang kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ia bertanggung jawab terhadap salah satu sagoe (daerah), lebih tepatnya ia merupakan panglima sagoe. Sebagai panglima sagoe, ia bukan hanya disegani oleh kawannya sesama GAM tetapi juga ditakuti oleh Tentara Republik Indonesia.

Ia direkrut di sebuah pesantren tradisional pada dikala seorang anggota GAM bersembunyi di asramanya. Di asrama pesantren itu ia menyatakan niatnya untuk bergabung dan membantu usaha Gerakan Aceh Merdeka. Beberapa tahun setelahnya, ia diangkat menjadi panglima sagoe untuk daerahnya.

Cek Mat mempunyai sifat yang ramah dan gampang berbaur dengan masyarakat. Tak jarang ia juga sering membantu masyarakat. Cek Mat mempunyai latar belakang pendidikan dan agama yang berpengaruh dari pesantren tradisional sehingga terkadang ia juga mengisi ceramah-ceramah agama. Hanya sebagian masyarakat yang tau bahwa Cek Mat ialah panglima sagoe bagi kawasan mereka.

Pada masa konflik, Cek Mat ialah salah seorang yang paling dicari. Itu terjadi sehabis iring-iringan truk berisi puluhan pasukan tentara yang gres didatangkan dari Pulau Jawa diserang di daerahnya. Konon, belasan tentara gres tersebut tewas dalam serangan nahas itu. Cek Mat dan kelompoknya dituding sebagai dalang dalam insiden itu. Tentara murka besar. Mereka menyusupkan kepetangan untuk mencari tahu sosok Cek Mat untuk dibunuh tapi ia tak pernah ditemukan. Masyarakat melindunginya.

Damai datang, ia kembali ke kehidupan normalnya. Ia menentukan menjadi petani dan guru agama di desanya. Penghasilannya tak seberapa dibandingkan dengan teman seperjuangannya. Kawannya sesama GAM banyak telah sukses menjadi pejabat dan petinggi di beberapa kawasan di Aceh.

Ia juga beberapa kali diajak untuk turun dalam dunia politik ibarat yang digeluti oleh sebagian besar kawannya itu namun ia menolak. Sikapnya tegas. Ia lebih menentukan menjadi masyarakat biasa. Jauh dari lingkar kekuasaan dan politik. Tiada seorangpun yang sanggup membujuknya. Niatnya tidak berubah, sama ibarat niat awalnya bergabung dengan GAM untuk mewujudkan cita-citanya melihat kehidupan rakyat Aceh menjadi yang lebih baik. Bukan untuk tujuan yang lain.

Tiada seorang pun yang sanggup mengubah pendiriannya itu. Ia selalu punya balasan menarik jikalau seseorang mengajaknya bergabung dalam dunia politik ibarat dikala Bang Dolah menggodanya di warung kopi itu untuk terjun dalam politik.

"Mat, jikalau kamu mendaftar sebagai calon bupati atau seorang anggota dewan maka semua masyarakat niscaya akan memilihmu. Saya yakin akan menang mutlak."

"Tidak Dolah, saya tau politik di negeri kita ibarat apa. Sekarang lihat, para koruptor yang ditangkap itu dulunya mereka ialah aktifis dan sebagian lagi mahasiswa yang dulu aktif memperjuangkan hak-hak rakyat. Sekarang mereka menginjak-injak rakyat. Aku tidak ingin ibarat itu Dolah," ujar Cek Mat menjelaskan.

"Tapi saya yakin kamu tidak akan berubah, apalagi ibarat mereka itu."

"Kau belum tau Dolah, coba lihat lagi kawan-kawanku di pemerintahan. Mereka mengkritik pemerintah sebelumnya tapi mereka sendiri lebih jelek dalam memimpin. Bahkan mereka melupakan janji-janji manis politik mereka dulu."

"Aku tidak mau suatu dikala saya melupakanmu Dolah. Melupakan warga kampung ini. Ini suatu kejahatan besar bagiku Dolah. Apalagi jikalau hingga melupakan warung kopimu ini." lanjut Cek Mat menjelaskan kemudian tertawa.

"Tapi katanya politik itu sanggup mensejahterakan rakyat"

"Iya, ia sanggup mensejahterakan rakyat tapi tak jarang menginjak rakyat dengan banyak sekali topeng termasuk menggunakan topeng kesejahteraan. Politik negeri kita itu ibarat kopi hitam dalam gelasku ini. Gelap. Jika satu atau dua tetes susu kamu celupkan dalamnya tetap warnanya hitam. Bahkan satu sedokpun belum cukup dan jikapun kamu campurkan susu sebanyak kopi hitam ini warnanya akan menjadi coklat, tapi tidak dengan politik negeri kita. Ia tetap akan hitam. Kamu mengertikan maksudku Dolah...?"

"Ya, saya mengerti Mat"

"Taukah kamu Dolah, alasannya ialah kurang baik melekat, buah jatuh dari pohonnya. Karena ekonomi yang kurang baik, rupiah juga jatuh. Itu aturan alam namanya. Sekarang kita lihat politik. Lihat pejabat kita, mereka yang tidak sanggup memimpin malah kini ngotot dan memaksa diri untuk naik lagi 2017 nanti sebagai calon pejabat. Antara pejabat dan penjahat dekat persamaannya di negeri kita. Tahukah kamu mengapa mereka naik lagi Dolah. Apa tujuan mereka...?"

"Yang niscaya mereka bukan mau kopiku Mat." Dolah menjawab sambil tertawa. Setelah insiden itu, Bang Dolah tak lagi menggodanya untuk bergabung dalam politik. Bang Dolah harus menyerah, Cek Mat bukan tipe orang yang gampang dirayu jikalau tekadnya sudah bulat. Pendiriannya tak sanggup digoyang apalagi dirobohkan.

"Kukatakan padamu Mat, harga kopiku hari ini tidak naik untukmu," bisik Dolah setiap Cek Mat melangkah masuk ke dalam warung kopinya.
banner
Previous Post
Next Post