Foto: Google Image |
Oleh: Muhammad Daud Farma
Sudah bukan hal yang langka lagi rasanya jikalau perut ini terasa melilit, lantaran lumrahnya bisa makan tiga kali sehari sedangkan kini hanya bisa makan dua kali sehari.Sudah menjadi hal yang biasa jikalau setiap pagi saya mendengar perutku keroncongan lantaran kurang makan. Makan kuliner pokok saja pun jarang, apalagi makan kuliner ringan,tambah jarang bahkan hampir tidak pernah. Hal ini kulakukan sebagai cara untuk menghemat pengeluaran uang kiriman dari orang tua, tetapi berhemat juga ada batasnya. Jangan terlalu hemat hingga memaksakan diri untuk menahan lapar dan dahaga yang dirasa.
Memikirkan hari esok memang ada baiknya. Namun jikalau bertahan untuk hari ini saja sudah tidak sanggup, maka janganlah memaksakannya untuk bertahan dari kelaparan itu sendiri. Keselamatan diri harus diutamakan, yaitu dengan cara yang bijak dan tidak menurunkan daya tahan tubuh kita sendiri. Berbicara wacana betapa banyaknya orang di luar sana yang hanya bisa makan sekali dalam sehari, bahkan mungkin tidak makan sama sekali, kemudian membandingkan dengan diri sendiri, itu ialah pemikiran yang salah!!
Mereka tidak menahan lapar dan tidak makan seharian bukan lantaran mereka sengaja, namun melainkan lantaran mereka benar-benar tidak mempunyai uang dan tidak ada apa pun yang bisa dimakan. Kita mempunyai uang yang bisa dipakai untuk membeli kuliner serta masih ada sesuatu untuk dimakan, kenapa tidak?? Jika kita berfikir wacana berhemat untuk membelanjakan duit lantaran khawatir tidak ada apapun untuk hari esok, itu salah!!
Karena jikalau untuk hari ini saja kita sangat membutuhkannya dan harus membelanjakannya maka hal itu harus terpenuhi. Haruslah kita disini bijak mempertimbangkan mana yang perlu dan mana yang lebih perlu, mana yang penting dan mana yang lebih penting, dan mana yang mendesak dan mana yang lebih mendesak. Hal itu sangat penting untuk kita pahami ketika kita jauh dari orang tua.
KUSYARI, begitulah goresan pena dan bacaannya. Istilah yang tak gila lagi untuk Mahasiswa asal Indonesia di Mesir atau familiar dengan nama Masisir, mereka sudah tak heran lagi ketika kata itu terdengar oleh mereka “Kusyari”. Ada apa dengan Kusyari? Kenapa harus Kusyari? Ya itulah yang muncul pertama kali di benakku untuk menuliskanya…
Tujuh bulan yang lalu, saya telah terbiasa dan terlatih untuk tidak makan tiga kali sehari, melainkan hanya dua kali sehari. Aku mulai terbiasa dengan hal itu ketika jauh dari orang renta yang telah melahirkan dan merawatku. Maklum, santri itu anti cemen. Kejadian ini bermula ketika Aku berada di Medan Sumatera Utara (Sumut) ketika itu saya tak sendiri, saya bersama sahabat satu dedikasi mengikuti ujian seleksi calon Mahasiswa Universitas ternama di Timur Tengah, yaitu Universitas Al-Azhar yang namanya telah menggaung di seluruh penjuru dunia.
Rencana untuk melaksanakan perjalanan ini sudah tersusun dengan matang, baik jasmani, rohani maupun materi. Tapi kali ini materi yang sakit, saya juga tak tahu entah apa sakitnya sehingga tak ada sepeserpun yang hadir dalam dompet lama nan sempit ini.
Teman dedikasi ku bekerjsama orisinil Jakarta yang nyantri di salah satu Pondok Modern yang populer dan terkemuka di Nusantara, tepatnya berada di Pulau Jawa. Enam tahun nyantri di Pulau Jawa kemudian mengabdikan diri di Pulau Sumatera wilayah Sumatera Utara tepatnya di Aceh Tenggara yang berprovinsikan Aceh merupakan satu hal yang belum pernah terbayang sama sekali di benaknya. Karena memang begitulah system pembelajaran yang ada di Pondok Modern yang mewajibkan bagi Alumninya untuk mengabdikan diri di Pondok cabang maupun Pondok alumni, tidak pribadi begitu saja mendapatkan Ijazah dan bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
Kebijaksanaannya dalam mengatur waktu makan mengambarkan Ia ialah orang yang hemat dalam membelanjakan uang sakunya dan mencar ilmu hidup sederhana. Aku lebih memahami wacana dirinya, lantaran kami begitu akrab ketika masa dedikasi di salah satu Pondok Pesantren di Aceh Tenggara. Kami sering pergi ke luar kota bersama ketika hari libur, Ia yang lebih sering mengajakku dengan seluruh fasilitas ditanggungnya sendiri. Termasuk ketika makan Mie Aceh di Kampung Karo pun ia yang rela membayar pesanan kami berdua.
Kedermawanannya mengambarkan bahwa ia termasuk orang yang berada. Tapi hari ini sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ketika hari ini kami sebagai musafir yang berada di kawasan rantau. “Haryo, nanti kalau ente bangun duluan, bangunin ana ya”, Pintaku padanya dengan logat bicara khas Kota Cane yang kental, tak jauh beda dengan logat bicara orang Batak. Pernah juga dikatakan bahwa nada bicaraku menyerupai logat bicara orang Jerman, Aku kaget ketika mendengar hal yang disampaikan Guru Kursus Bahasa Jepangku ketika itu. Beliau menanyakan padaku,….
”Farma, ungkapan rasa terimakasih dengan bahasa orisinil Aceh Tenggara bagaimana?” Tanya dia kepadaku sebagai muridnya.
“Mekhijin…” Jawabku dengan sedikit menjelaskan kepada dia bahwa yang kuucapkan tadi artinya terimakasih.
“Kok kedengaran menyerupai bahasa Jerman ya!!” Sahut dia dengan ekspresi yang serius dia katakana kepadaku. Aku tak kuasa menahan tawa yang sudah berada di ujung mulutku dan berhasil saya tahan lantaran pandangan mata dia yang penuh tanda tanya. Rasa besar hati pun muncul tiba-tiba dalam benakku, lantaran gres kali ini saya mendengar bahasa orisinil daerahku dikatakan menyerupai dengan Bahasa Jerman. Beliau tidak memuji, tetapi dia memang benar-benar bahwa hal itu memang serius dan jujur dia katakan. Hal itu terlihat terang dari mimic wajah dia yang polos serta tanpa ada tawa mengejek di bibirnya.
Mungkin hal itu terjadi lantaran dia sering mendengar dialog orang Jerman, sehingga bahasa daerahku yang memang belum pernah dia dengar sebelumnya dikaitkan dengan bahasa luar negeri. Aku pun sedikit gembira mendengarnya, kemudian "Doumo arigatou gozaimasu Sensei." Ucapku bahagia. (Terima kasih banyak Guru) . Kukatakan dalam bahasa Jepang, lantaran kelas kami pada ketika itu ialah kelas kursus bahasa Jepang. Kelas kami yang dikenal dengan sebutan Markas atau juga Japanese Language Center Sakura-Egypt (Jlc Sakura-Egypt).
“Iya, nte tidur duluan aja, jangan lupa shalat subuh dulu Ud. Nanti jam dua belas siang kita makan di luar ya Ud”. Jawabnya dengan bunyi pelan yang mengisyaratkan kepadaku bahwa ada yang sedang beristirahat di dalam kamar itu, dan juga mengambarkan bahwa Ia juga merasa sangat lelah, begitupun yang saya rasakan.
Sebelumnya tak pernah jadwal makan kami berubah. Subuh ini ada perubahan makan dari hari sebelumnya. Ia telah memutuskan bahwa makan sempurna pukul dua belas siang nanti. Ketika saya bertanya alasan merubah jadwal makan kita pagi itu ia tidak menjawab, dan ternyata ia sudah tertidur duluan,… “Asem juga nih orang, tadinya saya berpesan supaya ia yang membangunkanku nanti, tapi malah dirinya yang tertidur pulas duluan”. Kataku dengan bunyi berbisik menyerupai desisan angin di pagi itu. Sangking lelah yang kita rasakan, tidur hanya beralaskan tilam tipis dan udara dingin tak menghalangi rasa kantuk yang telah menyergap diri kita masing-masing.Tak berselang lama kita telah berada di antara hidup dan mati, bertemu dengan mimpinya masing-masing.
Jarak tempuh yang cukup jauh antara Kota Cane Aceh Tenggara dengan Medan Sumatera Utara, dengan hitungan kira-kira dan bisa lebih dari enam jam perjalanan jikalau menggunakan kendaraan beroda empat Bintang Tani Jaya (BTN). Berangkat pukul sebelas malam, dan hingga di tempat tujuan pukul lima pagi. Kami menentukan menginap di Pesantren Modern yang juga salah satu Pesantren terbesar sekaligus ternama di Medan Sumatera Utara. Lagi-Lagi Pesantren, saya sengaja tidak menuliskan nama pesantrenya, lantaran kekhawatiranku nanti dianggap promosi. Seakan tulisanku ini ialah brosur, saya mengantisipasikan hal tersebut.
Pesantren ini sudah kami anggap menyerupai Pesantren tempat kami menimba ilmu. Karena relasi antar eksekutif Pesantren ini dengan Pesantren ku di Kota Cane begitu erat. Gedung Indonesia lantai dua, salah satu ruangan adonan antara guru senior dan guru pengabdian. Penggabungan menyerupai itu mengambarkan tidak adanya perbedaan antara guru senior dan junior, senioritas ataupun prioritas. Walaupun kami sebagai guru pengabdian, etika bertamu haruslah tetap kami jaga. Sempat juga pernah merasa jengkel oleh perlakuan Pak Satpam penjaga gerbang masuk, mungkin lantaran belum kenal siapa kami dan apa kepentingan kami.
Kami sedang asyik-asyiknya membaca materi ujian untuk esok hari, kami duduk di gubuk layaknya santri yang sedang belajar. Sebenarnya kami juga salah, kami mencar ilmu di gubuk khusus untuk tamu, walaupun kami juga tamu, tapi Pak Satpam itu tidak tahu bahwa kami ialah tamunya juga. Kami dikira santri kelas lima Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiah (KMI). Kami diusir oleh Pak Satpam, disuruh pindah mencar ilmu ditempat lain, “Jangan mencar ilmu di gubuk khusus tamu”, teriak Pak Satpam. Meskipun menyerupai itu, kami bisa memakluminya, lantaran kami memang gres tiba dan Pak Satpam itu belum mengenal kami. Kami segera bergeser dari tempat itu meskipun kami sedang asyik membaca materi untuk ujian hari esok.
Hal itu masih terus berlanjut, pernah juga hal yang hampir sama terjadi ketika kami bertemu dengan Bu Satpam yang lebih menjengkelkan. Setiap kali kami keluar atau masuk pondok selalu ditanya ada kepentingan apa kami keluar, dan juga kami selalu dipersilahkan untuk mengisi buku tamu terlebih dahulu. Pada suatu waktu, salah satu dari Bu Satpam itu bertanya kepada kami, “Kalian dari mana dik? Ada perlu apa tiba kemari?” Tanya Bu Satpam itu. Temanku Haryo yang menjawab,”Kami Guru dedikasi dari Aceh Tenggara Bu, kami mau menginap di Gedung Indonesia. Kami kesini demgam tujuan untuk ikut ujian seleksi calon mahasiswa ke Mesir esok hari”. Mendengar klarifikasi Haryo tersebut, Bu Satpam jadi salah tingkah dan kentara ada penyesalan di wajahnya, menyesal atas sikapnya kepada kami beberapa waktu lalu. Segera saja Ia mempersilahkan kami masuk. Selama kurang lebih empat hari kami bermalam disitu, sering keluar-masuk pondok, akhirnya Bu Satpam itu hafal dan mengenali kami.
"Yo... Haryo, bangun cuy" Keempat kalinya kutarik-tarik tanganya. Akhirnya bangun juga. Jam menawarkan pukul sebelas lewat dua puluh lima menit, Ia bangun kemudian bergas untuk mandi. Aku sudah mandi duluan lima menit yang lalu.
“ Ayo Ud, kita segera makan di luar”. Katanya dengan penuh semangat dan mata berbinar. Tanpa ada sepetah kata pun yang keluar dari mulutku saya segera bangun berdiri dan keluar melewati pintu gerbang pondok putri. Alasannya lantaran jikalau lewat pintu gerbang pondok putra kita harus jalan keliling dahulu dengan jarak yang lebih panjang, tak ada rute lain kecuali harus berjalan memutar. Karena itu kami menentukan berjalan melewati pintu gerbang pondok putri lantaran lebih akrab dengan jajaran warung yang menjajakan banyak sekali macam sajian kuliner yang menciptakan perut selalu meronta-ronta minta segera diisi.
Kali ini ketika kami melewati depan pos satpam tak lagi diinterogasi oleh Bu Satpam menyerupai insiden kemarin, malah kami menerima senyum tulus yang tersungging di bibir beliau. Ketika hingga di luar, Haryo bercerita padaku,….
“Sebelumnya ana pernah tiba kemari sendiri, ketika mengantarkan berkas seminggu yang lalu. Ana makan sekali hanya dua kali, ana ndak makan pagi. Ana makan siang jam dua belas sempurna sebelum shalat dzuhur, dan makan malam jam tujuh. Hemat duit Ud” Katanya dengan polos.
“Oke cuy, ana setuju!!”. Kataku dengan penuh semangat tanda saya sependapat dengan Haryo lantaran menurutku Ia sangat bijaksana. Dan kekagumanku semakin bertambah ketika tahu caranya mengatuur waktu makan, hal itu menurutku patut dicontoh untuk melatih diri menahan lapar dan dahaga. Jujur, memang tidak terasa lapar jikalau tidak makan pagi dan menahannya hingga siang hari. Hitung-hitung sebagai latihan untuk puasa Bulan Ramadhan nanti.
Sejak ketika itu saya mencar ilmu hidup sederhana ketika di rantau orang. Mulai hari itu saya sudah tahu persis apa yang nantinya harus saya lakukan ketika memulai perjalanan yang lebih panjang lagi, perjalanan panjang yang mengharuskan saya jauh dari orang tuaku. Aku harus meminimalisir pengeluaran uang supaya ketika uang saku ku menipis saya sudah tidak kaget lagi dengan keadaan tersebut. Entah kenapa tiba-tiba fikiran ku melayang jauh, menembus cakrawala dan melintasi dimensi waktu. Aku merasa berada di negeri impianku, Mesir….
“Kalaulah nanti di Mesir saya tak mempunyai uang lebih, maka sudah kuputuskan satu cara yang ampuh, yaitu mengurangi jatah makan. Kalaulah dengan hal itu uangku masih enggan hadir dalam dompet usangku, maka saya akan bekerja disana.” Kataku dengan yakin dan tekad yang bulat, ketika itu saya tidak sadar masih berada dalam warung Mie Aceh sembari menunggu terhidangnya pesanan yang telah kami pesan sepuluh menit yang lalu.
Sungguh hatiku tak tega jikalau harus bergantung pada kiriman uang dari orang tuaku. Di waktu saya masih di Pesantren uang bulanan dari orang tuaku tak pernah mangkir tiap bulannya.Tetapi keadaan perekonomian orang tuaku sangat pas-pasan, untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah adik-adikku saja pun hampir tidak cukup, kok teganya saya sebagai anak lelaki keluarga ini menambah beban orang tuaku dengan meminta biaya hidup ketika di luar negeri. Kok seenak udel ku saja berkeinginan untuk kuliah di luar negeri, tanpa memikirkan betapa susahnya orang tuaku mendapatkan sepeser demi sepeser uang untuk membiayai anak-anaknya, tanpa memikirkan adik-adikku juga harus bersekolah dan itupun butuh biaya yang tidak sedikit.
Akan tetapi, saya tak rela mengubur begitu saja mimpi yang telah lama ingin saya gapai. Aku mencoba meyakinkan kedua orang tuaku bahwa saya bisa dan niscaya bisa kuliah di luar negeri dengan mendapatkan beasiswa. Karena kegigihanku, ketika itu keyakinan Ayah dan Ibuku mulai tumbuh dan mendoakan anak lelakinya supaya segera sanggup meraih cita-citanya. Walaupun sempat Ibuku sedikit ragu dan melarangku untuk bermimpi kuliah di luar negeri lantaran alasan materiil yang tidak mendukung. Beliau merasa tak bisa jikalau harus mengirimkan uang saku pada ku setiap bulannya, menyerupai dulu ketika saya masih di Pesantren. Aku meyakinkan keduanya wacana keputusanku untuk menggapai cita-citaku yang satu ini tanpa merepotkan keduanya. Aku sangat yakin bahwa di Mesir nantinya ada tempat untukku mendapatkan Beasiswa tanpa harus meminta kiriman uang dari orang tuaku lagi. Masalah biaya hidup, saya akan mencari kerja di sana nantinya. Dengan tangan yang ku kepalkan di depan dada dan mengucap Basmalah saya memulai langkahku untuk mewujudkan cita-citaku.
***
"Daud..Daud..Buet!!!. Jak akhi luhukh nggo nde, ndak ko me Markas Darul Lughoh wakhi nde kin?". Suara salah satu kakak senior membangunkanku. (Daud..Daud.. Bangun!!!. Bentar lagi mau dzuhur ini, kau nggak ke Markas Bahasa hari ini?".
Tanpa berkomentar sedikitpun, saya pribadi bangun dari kasurku sembari mengambil handphone yang terletak di meja sebelah kasur ku. Kulihat jam di layar telah menawarkan pukul sebelas tiga puluh siang. Hari ini hari Ahad, pastinya bukan hari libur alias hari efektif masuk kelas. Berbeda sekali dengan yang diberlakukan di Tanah Airku yang waktu liburnya hari minggu. Terkadang terlintas banyak sekali tanya di benakku, mengapa Negeriku tidak menjadikan hari Jum'at sebagai hari libur? kenapa mesti hari minggu?. Hari jum'at ialah hari besar dalam islam, ibunya dari hari-hari yang lain dan termasuk hari raya kaum muslimin.
Kita memandang dari segi runtinitas, yang mana hari jum'at ialah hari dimana sholat jum'at dilaksankan, sedangkan hari ahad ialah harinya para non muslim untuk melaksanakan ibadah. Kenapa malah hari jumat kita disibukkan dengan urusan-urusan duniawi, kenapa tidak di hari ahad misalkan, kenapa tidak hari kamis ataupun hari-haru yang lainnya.
Andaikan saja Negeriku hari libur Nasionalnya ialah hari jumat. Subhanallah, pastilah Negeriku menjadi pelopor libur di hari jumat pertama di Benua Asia, kecuali selain Negeri Arab yang memang telah menggunakan kebijakan tersebut dari dahulu. Masya Allah. Bukan malah libur di hari ahad dan disibukkan dengan urusan duniawi di hari jumat. Ahh sudahlah, makin ngelantur saja diriku, biarlah hal ini menjadi urusan orang-orang besar di Negeriku.
Musim di Negeri yang berpasir ini masih belum stabil, terkadang panas, dingin, sangat dingin, bahkan terkadang juga gerimis.Walaupun bumi Kinanah ini merupakan salah satu negeri yang sangat jarang sekali bisa dijumpai rintik air hujan. Aku juga tak tahu apa penyebabnya, tiba-tiba bumi Kinanah ini diguyur gerimis meskipun sebentar. Meskipun hanya sebentar air hujan itu telah membahasahi bangunan yang dominan berbentuk kubus di sekelilingku, padahal seharusnya gerimis tak mampir di sini lantaran gres bulan kemarin turun hujan sedikit lebat yang mengambarkan pergantian panas ke ekspresi dominan dingin. Hal itulah yang menciptakan langkah kakiku terhenti sebentar, rasa malas pergi ke Markas Bahasa mulai menghampiriku. Karena melihat cuaca yang tak menentu dan cepat sekali berubah, panas berubah jadi dingin, atau panas tapi tiba-tiba gerimis, suasana yang sangat sempurna sekali untuk merebahkan tubuh dan memejamkan mata diatas kasur yang empuk. Bisa jadi alasan yang sempurna untuk tidak pergi ke Markas bahasa. Namun…
Aku segera melangkahkan kaki ku ke kamar mandi di pojok ruangan, mengambil air wudhu dan kemudian shalat Dhuhur di sebelah kasurku. Aku tidak mau kalah dengan rayuan setan yang terkutuk, saya tidak mau pelajaranku berlalu begitu saja lantaran ketidak hadiranku. Durhaka rasanya diriku kepada kedua orangtuaku jikalau saya tak hadir di Markas Bahasa hari ini. Sedangkan orang tuaku di serpihan bumi yang lain telah mengorbankan waktu dan tenaga yang begitu banyak untuk membiayai kehidupanku. Tidaklah layak diriku disebut sebagai penuntut ilmu, jikalau tak hadir ke Markas hari ini hanya lantaran alasan malas keluar rumah, sedangkan Dosenku tak pernah tiba terlambat bahkan bisa dibilang tak pernah mangkir di setiap pertemuan.
Di penghujung shalat dzuhur ku kali ini saya bermunajat kepada_Nya."Rabbanaa Aatinaa Fiddunyaa Hasanah wafil A-akhiroti hasanah waqinaa 'adzaabannaar". Diakhir do'aku, kemudian kututup dengan membaca....
"Alhamdulillahi Robbil 'aalamiin" sesudah besholawat kepada Nabi Muhammad SAW dan bertahmid kepada Allah SWT.
Segera kukenakan kemeja merahku, kemudian kugendong tas renselku. Aku pun pamit ke kakak senior yang ada didalam Rumah....
"Hano be kekhine Bang, laus be saya nde... Assalaamu'alaikum…" Kataku penuh semangat.
(Tinggal dulu ya Bang, saya pergi dulu nih...Assalaamu'alaikum…”).
"Wa'alaikum salam…” ngidah ngidah ni dalan Daud!." jawab mereka serempak. (“Wa’alaikumsalam…hati-hati di jalan Daud!”).
Satu menit lebih dua belas detik saya hingga di pintu gerbang lantai bawah. Biasanya kalau saja bukan hari yang mengharuskan ku masuk kelas atau pulang sesudah kelas, saya butuh sekiranya dua menit untuk menuruni tangga, apalagi menaikinya niscaya hingga tiga menit. Karena kakiku niscaya terasa lelah dan berat.
Tapi kali ini terasa berbeda dengan sebelumnya, kakiku terasa enteng, saya merasa lebih mantab dan yakin menjalani hari ini. Setelah tiga menit menjejakkan kaki di jalanan Egypt ini saya telah bertemu dengan jalan cabang tiga sesudah jalan lurus dari rumah yang ku tempati, ada tiga jalan yang kini berada di depanku. Jalan kedepan, belokan kekanan dan belokan kekiri. Walaupun saya sering melewati jalan ini, terkadang langkahku sempat terhenti sejenak untuk berpikir dan memilih. Kalau saya berbelok ke arah kanan, saya akan menjumpai warung sepanjang pinggir jalan raya, kalau saya berbelok ke sebelah kiri, saya akan melewati tempat parkir umum dan tidak ada warung yang menjajakan banyak sekali kuliner kecuali di simpang tiga jalan besar sana. Akhirnya saya menentukan jalan tengah, lantaran didepan mataku sudah berdiri warung Kusyari yang membuatku sedikit menelan ludah dan berfikir sangat sayang untuk melewatkannya.
Kusyari ialah salah satu kuliner khas warga Mesir, namun bukan kuliner pokok bagi penduduknya. Makanan pokok penduduk mesir ialah gandum yang sudah diolah menjadi kuliner serupa roti yang biasa disebut ‘isy. Dalam kusyari terdiri dari nasi, kacang hijau, sambal dan bumbu-bumbu lain khas Mesir. Rasanya yang sangat susah dilupakan menciptakan semua orang yang pernah merasakan kuliner ini niscaya akan ketagihan dan ingin mencobanya lagi dan lagi. Masih banyak kuliner penduduk Mesir yang mempunyai cita rasa yang tinggi, menyerupai Kibdah yang di dalamnya sanggup kita jumpai hati unta, sapi, kambing, dan ayam kemudian dibubuhi sambal dan dibalut menggunakan ‘isy (roti gandum).
Kuftah, berupa daging yang sudah digiling halus dan dibalut dengan 'isy. Selanjutnya ada Ruj bil bashol, yaitu nasi yang dimasak dengan susu, dikatakan ruj bil bashol yang berarti nasi dengan susu. Ada juga Tho'miyyah bil bidh, yaitu sejenis sayuran yang digiling halus, dicampur tepung plus bumbu-bumbu laniya yang digoreng, kemudian dibalut dengan 'isy dan diberi telur ayam yang sudah matang. Dan masih banyak lagi kuliner orang Mesir yang enak-enak yang memanjakan pengecap penikmatnya, dan dijamin semua akan ketagihan, dan yang menakjubkan ialah, para penjaga dan koki yang mengolah kuliner tersebut ialah kaum laki-laki, ini menjadi salah satu bukti bahwa orang Mesir sangat menghormati dan mengasihi kaum hawa.
Tak lupa juga, warung makan yang ada di Mesir sangat jauh berbeda dengan warung yang ada di Indonesia. Bedanya jikalau disini penjual ialah raja, bukan pembeli yang
menjadi raja. Di Indonesia, harga pesanan ialah sudah termasuk dengan harga tempat. Maksudnya disini ialah jikalau makan di warung yang ada di Indonesia, ketika misalkan memesan nasi dengan harga delapan ribu rupiah terserah pembeli mau di makan di tempat atau di bungkus harganya tetap sama. Berbeda jauh dengan di Mesir, harga pesanan berbeda dengan harga tempat. Misalkan kita memesan Kusyari seharga tiga Pound Egypt, kalau hanya punya uang pas jangan coba-coba untuk makan di tempat, lantaran harga beli yang awalnya hanya tiga pound bisa menjadi tiga pound setengah.
"Ya Shodiiq emileih, enta kuweys?" tanyaku kepada penjaganya dengan bahasa arab 'ammiyahnya orang Mesir. Penjaga yang sudah tak gila lagi dengan kehadiranku menyambut kedatanganku dengan ramah. (Wahai Sobat,apa kabar? Kamu okey?). Dia tersenyum dan menjawab...
"Alhamdulillah ana kuweys ya shodiiqii…" Jawabnya gembira. (Alhamdulillah, saya oke).
"Mumkin bi istnain geneih?" tanyaku kembali. (Mungkin dua pound?). Aku hanya memesan dua pound saja, dengan ukuran mangkok yang sedang dan Alhamdulilah bisa mengenyangkan dan sanggup mengobati rasa lapar yang mencubiti perutku.
"Ayyuwamumkin ya Shodiiqii" jawabnya. (Ya Mungkin saja wahai saudaraku).
ada banyak alasan mengapa saya menentukan warung ini sebagai tempat mengisi kekosongan perut ku. Pertama lantaran harga tempat di sini tidak dihitung, jadi menjadikan diriku lebih menentukan untuk makan di tempat. Kedua lantaran suasana di sini serta terhitung sepi dari pengunjung, berbeda dengan yang ada di pinggir jalan raya. Di sana selalu saja sesak oleh pembeli, sehingga jikalau menginginkan membeli di sana harus rela sabar dan antri dengan tertib. Yang ketiga lantaran sambutan hangat dari sang juru masak, saya telah dianggap menyerupai sahabat dekatnya. Berbeda dengan warung lainnya yang kebanyakan sang juru masak terkesan hambar dan bersifat dingin dengan pelanggannya.
Pukul dua belas lewat tiga puluh tiga menit, saya sudah berdiri tegak di jalan raya simpang tiga arah stasiun Darrosah dengan perasaan lega lantaran kebutuhan perutku telah terisi dengan Kusyari senilai dua pound tadi.
Satu menit saya masih tetap berdiri menunggu tumpangan yang mengantarkanku ke tempat tujuan, menit kedua akhirnya Bus Delapan Puluh Coret pun datang.Terkadang saya merasa heran, tak menyerupai biasanya Bus yang berwarna cabai merah ini tiba sempurna waktu. Bus ini biasa kami sebut kaleng sarden lantaran di dalamnya terdapat banyak penumpang, dan warna bus yang berwarna merah cabe, sesuai dengan bungkus sarden. Cocoklah sebutan yang telah biasa kami pakai tersebut.
Bus Delapan Puluh Coret bersimbolkan angka delapan dan titik satu di sampingnya dan ditulis menggunakan goresan pena arab dengan garis miring di tengah-tengahnya. Bus ini menjadi alat transportasi paling diminati oleh kalangan mahasiswa Al-Azhar, khususnya yang bertempat tinggal di Hay ‘Asyir dan sekitarnya lantaran harganya yang sangat terjangkau oleh kami, kalangan mahasiswa Bumi Kinanah. Berbeda dengan bus yang lain, misalkan Bus Dua Puluh Empat Jim yang mengharuskan kami untuk dua kali ganti bus dan menghabiskan dua pound untuk sekali jalan. Sedangkan untuk Bus Dua Puluh Empat Coret tidak perlu dua kali ganti bus, lantaran stasiun pemberhentiannya akrab dengan tempat kuliah kami, yaitu kampus Al-Azhar. Keistimewaan lainnya yaitu, kami hanya perlu mengeluarkan ongkos satu pound saja untuk membayar tadzkiroh (tiket) menuju tempat kuliah kami.
Aku segera masuk kedalam bus kaleng sarden itu, meloncat dengan gesit kedalam seolah-olah ada turnamen yang diadakan di dalam Bus warna cabai merah ini. Begitulah supir bus yang mengabdikan dirinya di Bumi Kinanah ini, mereka tidak akan berhenti lama dan tidak menuruti penumpang yang geraknya lambat masuk kedalam bus, niscaya mereka tinggal. Misalnya, kita tidak menunggu di halte bus, kemudian kita stop untuk berhenti, kalaulah busnya berhenti lima meter dari kita, maka kita harus berlari secepat mungkin untuk bisa naik ke dalam bus. Anggap saja kita sedang mengikuti perlombaan lari estafet. Kalu tidak lari atau hanya berjalan santai, ya wassalam kita akan ditinggal oleh rombongan bungkus sarden itu.
"Alhamdulillah, Busnya masih sepi." gumamku dalam hati seraya mengelus dada. Mendapatkan tempat duduk didalam bis ialah suatu kenikmatan yang harus disyukuri.
Kita bisa mendapatkan tempat duduk itu kalaulah kita menunggu di stasiun pemberangkatan pertama, menyerupai Mahattoh Darrosah (Stasiun Darrosah). Kalau menunggu di sekitar pelataran parker bus, kita akan mendapatkan tempat duduk, lantaran bisnya masih parkir ditempat dan menunggu penumpang. Atau juga menunggu ditempat yang tidak terlalu jauh dari Mahattoh. Aku lebih menunggu ditempat yang tidak terlalu jauh dari Mahattoh. Aku menunggu di simpang tiga sebelah kanan yang mengarah ke Madiinatul Bu'uts. (Asrama Mahasiswa Asing) atau juga disebut waafidiin.
Baru saja lima menit Bus delapan puluh coret melaju melewati Madinatul Bu'uts (Asrama bagi Mahasiswa Asing), dan bus delapan puluh coret pun berhenti sempurna didepan jawazat, akrab dengan Ma'had Al-Azhar. Jawazat ialah tempat perpanjangan Pasport maupun Visa bagi Mahasiswa ataupun non Mahasiswa Asing yang tinggal di Mesir. Sehingga bus delapan puluh coret pun kini sudah dipenuhi dengan penumpang yang gres masuk, mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak, anak sekolah, Mahasiswa maupun Mahasiswi, dan suasana ribut, sesak, pengap dan bunyi nyaring sang kernet mulai terdengar nyaring sebagai tanda bahwa Ia sedang meminta ongkos pada para penumpung. Kukeluarkan satu pound dari saku kemeja merahku yang sudah saya persiapkan semenjak di rumah tadi.
Orang-orang yang tadinya duduk didepan, khususnya pria dengan penuh keikhlasan mempersilahkan penumpang ibu-ibu yang sudah renta untuk duduk di tempat yang semula mereka gunakan untuk duduk bersandar.Yang muda mempersilahkan yang tua. Dan ada juga Mahasiswa mempersilahkan Mahasiswi yang masih berdiri untuk duduk di dingklik yang telah mereka tempati. Begitulah etika dan kebiasaan penumpang bus di Negeri Pasir ini. Meskipun bekerjsama banyak yang ingin duduk di dingklik paling belakang untuk menghindari supaya tidak berdiri dan supaya masih bisa tetap dengan posisi duduk dari awal masuk hingga nanti hingga tujuan yang diinginkan. Namun dingklik paling belakang dengan bentuk memanjang itu hanya bisa memuat lima orang saja. Dan menyerupai hari-hari sebelumnya, saya juga termasuk dalam penumpang bus yang menginginkan duduk di kursi paling belakang itu, lantaran saya mulai naik bus di tempat yang tidak jauh dari Mahattoh (Stasiun). Setelah saya mendapatkan tempat duduk yang menurutku paling nyaman, saya memandang ke luar jendela dengan bus yang masih terus melaju dengan kecepatan standar.
Pada beberapa hari sebelumnya kedua mataku menangkap bayangan sosok orang yang menangis hampir meraung di bus yang saya naiki ini. Dan ternyata tangisan itu berasal dari seorang ibu-ibu renta yang membawa berlembar-lembar kertas yang dibagikan kepada para penumpang Bus Delapan Puluh Coret. Ibu itu menangis dan berharap ada orang yang merasa iba kepadanya dan menolong dirinya.
Baru hari kemarin saya sanggup mengetahui isi dari lembaran yang dibagikan oleh ibu renta itu, lantaran gres kali itu lembaranya hingga di tanganku. Disana tertulis dengan aksara arab yang isinya sepenggalan hadist, dan juga kata-kata permohonan dan pemberitahuan bahwa ia sedang membutuhkan uang. Hadits itu berisi wacana keutamaan orang bersedekah. Di paragraf kedua tertulis bahwa ia membutuhkan uang untuk biaya suaminya yang sedang sakit parah, tapi tidak dijelaskan sakitnya apa. Batinku sempat menangis melihat ibu itu menangis, kulihat ia mengambil kembali kertas yang telah ia bagikan tadi, namun hanya ada beberapa orang yang bisa memberinya uang, kebanyakan tidak sanggup memberinya uang. Demikian juga diriku yang tak bisa memberinya uang,karena uang disakuku sisa satu pound lagi untuk ongkosku pulang kerumah nanti.
Mataku sibuk mencari, telingaku mencoba untuk menyimak dengan seksama bunyi tangisan didalam Bus yang kudengar beberapa hari kemarin, saya ingin mendengarnya hari ini, tetapi saya tidak melihat dan tidak mendengar tangisan itu. Aku hanya mendengar bunyi kernet bus yang sedang meminta ongkos pada para penumpang. Kuniatkan dari rumah untuk bederma kepadanya, tetapi saya tidak menemukanya. Aku hanya melihat para penumpang yang sedang asyik dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang membaca Al-Qur'an, diktat kuliah, koran dan ada juga yang mendengarkan mp3 Al-Qur'an untuk mengulang hafalan, yaitu Mahasiswa berwajah Afrika yang berasal dari Negeria yang sedang duduk disamping kiriku.
Sementara Aku sedang membaca tempelan-tempelan kertas yang betuliskan banyak sekali ayat pilihan dan hadits-hadits pilihan serta kata-kata mutiara untuk mengingat dan lebih mendekatkan diri dengan Allah SWT dan bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Melihat suasana yang sedang dan akan selalu berlangsung di sini saya merasa senang, takjub, tentram dan menenangkan kalbu. Bukan hanya didalam Bus kita akan sanggup menjumpai suasana menyerupai itu. Ada juga ketika ada antrean yang panjang, maka disana akan terlihat ialah barisan orang-orang yang membaca. Bukan hanya didalam Bus saja kita bisa melihat dan membaca goresan pena yang ditempel itu, akan tetapi juga ada di toko-toko, rumah makan, didepan rumah, taksi, gedung-gedung sekolah, tembo-tembok dipinggir jalan dan di Mall sekalipun goresan pena menyerupai itu akan sanggup kita jumpai.
Ada beberapa goresan pena yang sering kulihat dan kubaca, yaitu, "Udzkurillah".Kata perintah untuk individual yang membacanya, yang artinya, "Ingatlah Allah". Ada juga, "Hal Shollaita 'alannabiyyi shollallahu 'alaihi wasallama alyauma??", kata tanya, yang artinya, "Sudahkan Kamu bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW hari ini??". Dan masih banyak lagi kata kata-kata ingatan dan bermanfaat lainya yang akan kita lihat. Sehingga saya pun menyampaikan dan menamakan bahwa goresan pena itu ialah penenang jiwa dan pengobat hati.
"Hayyussaadis...,hayyussaadis....Yallaa Ukhruj!." Suara kernet bus yang mengagetken ku dan para penumpang lain. Suara nyaringnya itu terkadang meelahirkan sebuah canda. Dan ia suka bergurau dengan Mahasiswa asal Asia, terutama Indonesia. Katanya Orang Indonesia itu murah senyum. Pernah kukatakan padanya bahwa orang Indonesia memang murah senyum, tapi kalau terlanjur sakit hati, maka kesannya akan fatal. Orang Indonesia terlalu larut dengan perasaan, bisa dikatakan sensitif. Kalau murka maka hingga berhari-hari tidak mau saling menyapa dan saling tidak memaafkan. Begitu kujelaskan padanya. Diapun menimpal dengan penjelasanya.
"Kenapa menyerupai itu?!, sungguh itu tidak baik. Kita ini orang Muslim yang bersaudara, tidak ada permusuhan dan dendam!", jelasnya, beserta dibacakanya penggalan ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk bersilaturrahmi dan hadist wacana larangan memendam dendam. Akupun kagum padanya yang banyak tau hadist dan ia juga hafal Al-Qur'an. Begitulah Orang Mesir, kernet Bus sajapun hafal Al-Qur'an. Memang benar katanya, orang Mesir tidaklah pendendam. Aku sering melihat insiden yang membuatku kagum.
Mengingatkan saya pada suatu malam didepan rumah kami, terjadi perkelahian antar anak muda. Mereka berduel dengan menggunakan botol soda, salah satu dari mereka ada yang terkena pukulan botol soda itu, botol soda itu dipukulkan dikepala lawanya, sehingga botol itupun pecah. Kemudian tak lama mereka selesai tabrak hantam, mereka dipisahkan dan disuruh duduk berjauhan. Kira-kira sepuluh menit sesudah kejadian, mereka yang berkelahi tadi duduk dan minum kopi bersama.
"Wah...! Kok bisa ya?" gumamku didalam hati. Dulu pertama kali melihat insiden menyerupai itu, saya tidak percaya bahwa mereka benar-benar telah berdamai, menurutku mereka akal-akalan akur. Akan tetapi, sesudah beberapa kali saya melihat insiden menyerupai itu, saya gres percaya bahwa orang Mesir itu tidak pedendam.
Aku segera turun dari Bus, kemudian bergegas pergi menuju gerbang utama Markas Darul Lughoh (Markas Bahasa).
Bus itu tidak berhenti didepan gerbang Markas Bahasa, lantaran Jalurnya berbeda. Kecuali Bus itu dari Hayyu 'aasyir, maka kemungkinan besar ia akan berhenti dan menunggu didepan gerbang.Tiga menit berjalan, saya hingga didepan gerbang.Tas ransel yang selalu setia menemaniku saya lepaskan dari gendonganku, dan diperiksa oleh penjaga gerbang masuk. Pak satpam. Penjagaan yang begitu ketat, tujuannya untuk menghindari ancaman yang bisa-bisa berakibat fatal, dan dikhawatirkan dibawa didalam tas. Karena sudah pernah terjadi ledakkan di pintu gerbang masuk, dan Oknumnya tidak diketahui.
Tepat pada pukul 13.00 waktu kota Cairo, saya sudah tiba didalam kelas. Kusalami beberapa sahabat yang sudah hadir terlebih dahulu. Begitulah kebiasaan kami, siapa yang gres tiba didalam kelas, dia akan menyalami yang sudah hadir terlebih dahulu darinya, begitu juga ketika pulang. Hal itu tidak diwajibkan oleh dosen, akan tetapi begitulah kebiasaan kami sebagai yang menimba ilmu agama. Sepuluh menit lagi pelajaran akan dimulai, biasanya Dosen akan tiba lima menit sebelum pelajaran dimulai. Hari ini saya tiba sedikit terlambat lantaran macet, kalaulah saya tiba sesudah dosen, saya niscaya sudah tercatat tidak hadir walaupun wujudku ada didalam kelas. Adanya saya dianggap tidak ada, lantaran terlambat. Kami pun sangat menghindari hal itu. Kalaulah bukan lantaran macet, saya akan tiba di Markas Bahasa lima belas menit sebelum pelajaran dimulai, bahkan harus menunggu didepan pintu masuk, lantaran kelas tidak akan dibuka kecuali pada waktu yang telah ditentukan.
"Assalaamu'alaikum warohmatullaahi wabarokatuh." bunyi Ustadz Ahmad Ibrohim dengan penuh semangat.
"Wa'alaikum Salaam warohmatullahi wabarokatuh." sahut kami dengan lebih semangat lagi.
"Kaifa Haalukum ya Syabaab?" lanjut beliau. (Apa kabar kalian wahai pemuda?).
"Alhamdulillah, Inna bilkhoir ya Ustadz..." Wa kaifa Antum ya Ustadzunaa?" Tanya kami kembali. Kami memanggil dia dengan sebutan Ustaadz. (Alhamdulillah, kami kabar baik ya Ustaadz, dan bagaimana dengan engkau wahai Ustadz kami?).
"Alhamdulillah, Ana bilkhoir Aidhon ya Abnaa'i." jawab beliau.
(Alhamdulillah, Saya juga kabar baik wahai Anak-anakku). Kemudian dia memulai pelajaran dengan membaca basmalah kemudian membaca do'a dan bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Seraya bunyi kami yang mengikuti dengan nyaring. Begitulah kebiasaan dia dalam mengajar, baik memulai pelajaran maupun mengakhirinya.
Didalam kelas kami yang berjumlah tiga puluh satu orang. Kami dari Indonesia yang jumlahnya lebih banyak dibanding yang lain, ada yang berasal dari Negeria (Negro), Rusia, India, Afganistan, Pakistan, Turkey, Suria, Brunei Darussalam, Kamboja, Thailand dan Malaysia.
Mahasiswa dari kelas kami berasal dari banyak sekali Negara. Ruangan yang bernomerkan empat belas, bisa dilihat dari kertas yang tertempel didepan pintu juga angka empat belas yang bertuliskan dalam versi arab. Berbagai macam ragam Negara, bahasa, suku, ras dan tabiat berkumpul di Negeri Para Ulama ini.Walaupun banyak sekali suku, tapi kalau didalam kelas kami berbahasa satu yaitu bahasa Arab Fushah, tidak diperbolehkan bahasa arab ‘Ammyyah, apalagi berbicara dengan bahasa Daerah masing-masing. Itu pada ketika didalam ruangan kelas saja, kalau sudah diluar kelas, berbicara berdasarkan bahasa masing-masing diperbolehkan.
Tidak jarang Dosen memuji dan mengacungkan jempol untuk Mahasiswa Indonesia yang ada diruang empat belas lantaran etika yang santun dan murah senyum. Maaf jikalau berlebihan, tapi begitulah kenyataanya. Dan juga pernah beberapa hari yang lalu, Dosen kelas sebelah masuk kedalam ruangan kami, nama dia ustadz Muhammad Humaida. Beliau melihat dan memperhatikan bahwa, hanya orang-orang Negeria yang sering menjawab pertanyaan dari Dosen kami. Ustadz Ahmad Ibrohim. Lalu dia berkata, "Wahai orang indonesia, kenapa kalian membisu saja? kenapa hanya orang Negeria saja yang menjawab?". Kemudian Ustadz Ahmad Ibrohim menyangkal beliau, "Wahai Saudaraku, mereka memang jarang menjawab, akan tetapi ketahuilah bahwa, diantara mereka ada Syaikh Al-Azhar."Beliau menunjuk salah satu temanku yang penampilanya menyerupai seorang syaik, berjubah putih dan menggunakan kopiah Azhary, dan ia memang hafal tiga puluh Juz, dia berasal dari Aceh. Namanya Muhammad Rofi'. Setelah mendengar klarifikasi ustadz Ahmad Ibrohim, dia kelihatan senyum dan mengacungkan jempol. Lalu segera melangkahkan kaki keluar meninggalkan kelas kami sesudah memberi salam dan berpamitan.
Begitu juga dengan Mahasiswa yang berasal dari Negeria. Dosen kami tidak bosan mengangkat jempol kanan dia lantaran kecerdasan dan akal mereka ketika menjawab pertanyaan. Dan secara keseluruhan, dia beri jempol lantaran ruangan kami yang selalu ceria, tidak ada terlihat sedikitpun dari dia memilah diantara kami, semuanya dia anggap menyerupai anak kandung dia sendiri.
Dua jam tak terasa telah berlalu, kini adzan ashar pun dikumandangkan dari Masjid Az-Zahra, salah satu masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kelas kami.
Kalau bunyi adzan dari masjid telah terdengar, maka Dosen juga menyuruh salah satu mahasiswa untuk mengumandangkan adzan didepan pintu. Lagi-lagi Mahasiswa Indonesia yang disuruh untuk mengumandangkan adzaan didepan pintu. Setiap kelas niscaya ada satu orang yang berdiri didepan pintu untuk mengumandangkan adzan.Setelah adzan dikumandangkan,
semua Mahasiswa keluar dari kelas untuk menunaikan ibadah sholat Ashar.
Ada yang sholat di Masjid Az-Zahra dan ada juga yang sholat dibawah tangga, dibawah tangga lantai pertama yang sudah terbentang dua sajadah panjang.
Lima belas menit pun berlalu, semua Mahasiswa kembali lagi kedalam kelas untuk mengikuti satu jam pelajaran selanjutnya.
"Have You prayer..? Where you prayer before?" tanyaku pada salah satu temanku yang berasal dari Negeria, namanya Adam Isah yang telah masuk lebih awal dariku. (Sudahkah kau menunaikan shalat..? Dimana kau shalat sebelumnya?)
"Yes I have prayer, and Me prayer in the Mosque." jawabnya sambil mengeluarkan handphonenya. (Ya, saya sudah sholat, dan saya sholat di Masjid). Aku sengaja bicara denganya menggunakan bahasa inggris. Karena didalam kelas, saya berbicara pelan, untuk menghargai sahabat yang lain. Aku ingin melatih kemampuan berbahasaku supaya menjadi lebih baik, baik itu arab maupun inggris. Aku menentukan sahabat Negeria yang mau kuajak berbicara bahasa inggris, adapun bahasa arab, sangat banyak lawan bicara yang bisa kuajak bicara, terutama orang Arab Mesir.
Orang Negeria, selain mereka pintar dan fasih berbahasa arab, mereka juga pintar dan fasih berbahasa inggris. Aku menentukan yang namanya Adam isah, lantaran ia duduk disampingku. Aku tidak akan berbincang denganya kecuali dengan bahasa inggris, tapi jikalau didalam kelas kami tetap berbahasa arab. Kalaupun bicara menggunakan bahasa inggris, kami akan bicara pelan supaya tidak mengganggu sahabat yang lain. Aku banyak mencar ilmu darinya.
Setelah pembacaan Absensi kehadiran, pelajaran pun ditutup dengan membaca hamdalah, kemudian do'a.Sama menyerupai ketika mengawali pelajaran. Jarum jam telah menawarkan tujuh belas lewat seperempat, mengambarkan berakhirnya kelas hari ini. Seluruh Mahasiswa keluar dari dalam kelas dan kemudian menuju gerbang utama. Ada yang dijemput dengan Bus khusus. Ada yang lari-lari kecil demi mendapatkan Bus dan ada juga yang berjalan layaknya angsa angsa berjalan dengan anak-anaknya.
Aku dan temanku Adam serta beberapa orang didepan kami yang berjalan santai seakan menikmati perjalanan menuju gerbang, mungkin sedikit mengalahkan pelanya angsa angsa berjalan ketika sedang dengan anak-anaknya. Jarak dari kelas ke gerbang utama memakan waktu sekitar lima menit, itupun kalau jalanya cepat. Kali ini kami menghabiskan sepuluh menit untuk berjalan sambil ngobrol dan penuh canda tawa.
Kami sengaja tidak lari untuk ikut mengejar Bus dencis sarden merah yang biasanya sudah banyak yang parkir didepan gerbang. Kesengajaan kami berjalan santai lantaran kami tidak mau berebut untuk bersempit-sempit didalam bus. Selain tidak mau berdesak-desakan, kami juga berniat ingin menikmati betapa indahnya pemandangan dari jendela beling Bus disaat matahari akan terbenam, keindahan yang sanggup menenagkan jiwa dan berimajinasi untuk melukiskanya. Lalu-lalang kendaraan beroda empat itu terlihat begitu rapi, tenang dan teratur.Tidak menyerupai siang harinya, yang penuh dengan macet. Burung-burung merpati yang berbaris diatas bangunan-bangunan rumah, jembatan dan pinggiran jalan tol. Sinar mentari yang menyihir menyerupai disulap menimbulkan keindahan yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Tidak terasa, kami sudah tiba didepan gerbang utama. Kami hanya mendapati satu bus lagi yang parkir di pinggir jalan, kami pun segera masuk. Aku duduk ditengah, lantaran bangkunya kosong, belum ada yang menempati. Mungkin hanya belasan orang yang didalam Bus kaleng sarden itu. Aku menentukan tidur, saya sudah tak kuasa menahan letih dan perutku sudah keroncongan. Aku belum makan pagi dan siangnya hanya makan Kusyari seharga dua pound, yang hanya sanggup mengganjal perut untuk sebentar saja.
Aku tidak makan pagi lantaran memang menyerupai itu sudah menjadi hal yang biasa bagi kami, para mahasiswa Masisir pada umumnya, terkhusus dirumah kami yang jadwal masak hanya dua kali sehari. Aku juga tidak makan siang lantaran piket masak belum menanak nasi. Biasanya yang piket akan memulai masak sesudah sholat dzuhur, kemungkinan akan selesai satu setengah jam. Pernah saya mengusulkan ke kakak senior untuk mempercepat waktu masak, dengan menjelaskan bahwa saya masuk kelas pada siang harinya dan mereka juga bekerjsama tahu dan memahaminya. Paginya ku usulkan, malamnya pribadi diadakan rapat keluarga, keluarga kecil kami. Keluarga yang hidup penuh dengan keharmonisan. Walaupun hanya tujuh orang jumlah kami satu rumah, hal penting sekecil apapun akan dimusyawarahkan, lantaran musyawarah ialah cara yang terbaik untuk menuntaskan suatu agenda, pekerjaan, keluhan ataupun permasalahan. Alhamdulillah, semua sepakat dengan usulanku wacana dimajukannya waktu memasak, yaitu pada pukul sepuluh pagi dan berjalan selama satu minggu. Namun satu ahad berikutnya, kembali lagi menyerupai biasa. Ada yang sibuk di pengajian, ada yang kuliah pagi, ada yang aktif dikaligrafi, ada yang aktif organisasi dan lain sebagainya. Sehingga tidak sempat untuk masak lebih cepat saya pun memaklumi itu.
Aku tidak menyangka bahwa, impianku setahun yang kemudian pada ketika makan siang bersama temanku Haryo. Serta kebiasaan yang Haryo dan Aku lakukan kini terjadi lagi dibumi Kinanah ini. Aku harus menahan diri untuk tidak makan pagi dan akan makan pada siang harinya bahkan terkadang makannya sesudah pulang kuliah, yaitu pada sore harinya.
Makan siang di warung nasi Indonesia bersama Haryo setahun yang lalu, kini digantikan makan siang diwarung Kusyari di Negeri para Nabi. Aku tersenyum mengingat insiden setahun yang lalu, lantaran tak meyangkaa bahwa lamunanku dulu, dan kini benar terjadi disini, hanya saja saya belum berani memulai kerja, lantaran diriku masih terhitung gres di Negeri ini. Aku tetap bersyukur bahwa saya bisa menuntut ilmu di Negeri Nabi Musa ini.
Alhamdulillah, saya sudah mengejar Negeri impianku, kini saatnya saya harus mewujudkan mimpiku dengan rajin mencar ilmu dan tetap berusaha semaksimal mungkin.
"Darrosah...darrosah...darrosah." bunyi kernet bus membangunkanku, mengambarkan bahwa sudah hingga di staiun Darrosah.
Aku melihat kiri dan kananku, tak kutemukan wajah Adam, ternyata dia sudah turun duluan di simpang tiga yang mengarah ke Asrama Mahasiswa Asing, yaitu MAdiinatul Bu’uts. Dari stasiun Darrosah tidak jauh lagi menuju rumah tempat tinggalku.
Hari sudah semakin sore dan ekspresi dominan sudah mulai memanas.Suasana lampu yang warna -warni menyinari gelapnya malam di ekspresi dominan panas ini begitu indah, apalagi dipandang dari atas genteng rumah kami.Subhaanallah, sungguh indah ciptaan-Nya.
"Tok, tok, tok.. Assalaamu'alaikum...Iftahil baab..!" suaraku mengetuk pintu sembari memberi salam pada yang berada dalam rumah. (Assalaamu'alaikum, buka pintunya..!). Aku tahu mereka ada didalam, sepatu dan sandal mereka ada didepan pintu. Itu tandanya mereka sudah menarik diri dari kesibukkan masing-masing hari ini, bagi yang pergi tadi pagi, adapun yang dirumah, berarti tidak pergi kemanapun hari ini.
"Wa'alaikum salaam...Tafaddhol ya Akhii". Jawab salah satu kakak senior sambil memutar kunci dan membukakan pintu untukku. (Wa'alaikum salam...Silahkan wahai saudaraku). Kakak senior itu senyum dan senang melihatku, menyambut kedatanganku yang seakan sudah lama tidak berjumpa. Begitulah kebiasaan yang saling kami lakukan sesama penghuni satu rumah. Kebiasaan yang sudah tak jarang lagi kita temui, walaupun berkunjung ke rumah Masisir yang lainya. Pasti mereka sambut dengan penuh khidmat.
Aku salami mereka semua yang ada didalam rumah. Ingin rasanya pribadi merebahkan diri diatas kasur, lantaran betapa lelah dan lapar yang kurasa. Namun perutku yang sudah lama kerocongan mengingatkanku bahwa saya butuh asupan karbohidrat.
Alhamdulillah, akhirnya makan siang juga, walaupun waktunya berbeda. Ternyata kuliner yang piket hari ini jauh lebih yummy dari Kusyari yang sempat ku beli siang tadi, mungkin lantaran lidahku masih terbiasa dengan pengecap Indonesia alias belum terbiasa makan masakkan orang Mesir. Harus banyak sabar dan bersyukur, walaupun harus menahan lapar hingga sore hari dan siangya hanya makan Kusyari. Keep enjoy and happy.
"Laayukalli fullahu Nafsan illa Wus'ahaa".
{Allah tidak membebani seseorang melainkan kesanggupanya, Al-Baqarah:286}.