Friday 27 September 2019

Agamaku Yaitu Tenang

Oleh : Ali Akbar Al-Fata*

Image Source: Theworldnews.net

kring … kring …” 

Seperti biasa, setiap pagi Jumat Mark selalu mengantar surat kabar langgananku ke rumah-rumah di tempat blok tempatku tinggal. Menggunakan sepeda jadulnya, ia mengayuh menembus jalanan, mengantar surat kabar ke setiap rumah. Aku pun membuka pintu sedikit, hanya sekedar biar tanganku muat mengambil surat kabar tersebut. Aku sungguh tak tahan dengan suhu udara pagi hari, sanggup dibilang itu ialah musuh terbesarku.


Setelah menyiapkan sereal cokelat favoritku, saya duduk di depan televisi menonton info cuaca terkini di kota Christchurch, kota yang telah menjadi tempat tinggalku selama dua tahun belakangan ini. Hari ini saya sedang badmood kuliah. Yah, saya bukan mahasiswa yang patut dicontoh. Sebagai salah seorang mahasiswa di universitas ternama sekelas Canterbury, saya terbilang malas. Padahal saya mengambil jurusan teknik mesin di universitas tersebut. Bukannya sombong ya, tapi bersama-sama saya kebetulan saja sanggup kuliah di sini, di Christchurch, Selandia Baru. Sedari dulu, tak ada niat khusus untuk ke sini. Tapi, ya saya sudah disini, mau apalagi kalau bukan berjuang? Haha. 

Setelah menyantap serealku hingga habis, saya menyuci mangkok dan kembali duduk di depan televisi. Pastinya sehabis makan, paling nikmat rasanya membuka smartphone kesayangan. Namun, menelusuri beranda facebook di pagi hari sepertinya bukan hal yang bagus. Melihat info dari tanah air saja sudah menyayat hatiku, mulai dari permasalahan agama, hingga ke grebek-grebek rumah artis. Semuanya menciptakan otakku mau meledak saja rasanya. Akhirnya ku putuskan untuk menutup smartphone-ku. 



Tak terasa sehabis melihat bualan di media sosial, jam sudah menyampaikan pukul 10.30, waktu Christchurch. Hari ini Jumat dan saya harus segera ke masjid. Hidup di Negara minoritas muslim tidak menghalangiku ke masjid. Ya, setidaknya seminggu sekali pada hari jumat saja. Hanya 1% saja penduduk Selandia Baru yang beragama Islam. Namun lagi, hal ini sedikitpun tidak menghalangi semangat muslim di sini untuk menjalankan kegiatan Islam sehari-hari. Aku pribadi bergegas mandi, dan siap-siap untuk ke masjid. 



Aku tinggal di tempat Riccarton, namun saya berencana untuk shalat ke masjid di tempat Canterbury, yang sanggup ditempuh dengan memakai bus. Sesampai di masjid, ibarat biasa saya pribadi shalat tahiyyatul masjid. Meskipun sepele, tapi saya sangat bersyukur dengan keberadaan masjid di Christchurch. Khususnya di tempat Canterbury, erat dengan tempat tinggalku. Keberadaan mesjid ini menerangkan hidupnya Islam, walaupun hanya layaknya secercah cahaya dalam gelap, saya tetap melaksanakan shalat tahiyyatul masjid sebagai rasa syukurku. 


Azan berkumandang dengan merdunya, walaupun pengeras bunyi belum boleh diarahkan keluar, namun lantunan azan di dalam mesjid saja sudah sangat indah. Syekh Bahadir sebagai khatib pun menaiki mimbar. Imigran asal Turki ini menyerukan perdamaian dalam ceramahnya, alasannya ialah itulah hakikat Islam; tidak mengenal kekerasan. Di dalamnya hanya ada kata “damai”. Syekh Bahadir pun mengimami kami shalat Jumat sehabis khutbah. 

Setelah shalat, saya jarang pribadi keluar. Bukannya untuk berzikir atau apa. Hanya saja, biasanya di masjid ini dibagikan masakan gratis. Mahasiswa mana yang tidak mau makan gratis? Aku juga sering bercengkrama dengan sahabat muslim lainnya selesai shalat Jumat, alasannya ialah dekapan ukhuwah begitu terasa di negeri rantau ini. Sembari duduk, saya melihat kerumunan orang di depan pintu masjid. 

Oh my God! ini mustahil terjadi ....” Pekik seorang lelaki paruh baya diantara kerumunan tersebut. 

“Allahu Akbar ….” Teriak yang lain. 

Aku mendekati mereka dengan rasa ingin tau yang tak terbendung lagi. 

Excuse me ... apa yang terjadi?” Tanyaku dengan nada penasaran. 

Don’t you know?! kamu tau masjid An-Noor?"

Aku mengangguk.

"Saat sedang shalat Jumat, jamaah masjid tersebut ditembak secara membabi buta oleh seseorang. Dan ia dengan sengaja melaksanakan live streaming di akun facebook-nya saat melaksanakan hal itu! He’s sick, he's really sick!” Pekik seorang pemuda. 

“Begitu pula mesjid Lindswood!” Tambah perjaka lain. 


Whaat? ditembak?” Tanyaku lagi, masih tak percaya. 



Dia pun menjawab, “cek saja smartphone-mu, niscaya sudah viral” 


Benar saja, info ini benar adanya dan sudah jadi top trending topic. Aku benar-benar terdiam. Kemanusiaanku mengamuk, otakku kepanasan, darahku mendidih, dan perasaan-perasaan lain mulai sesak memenuhi diriku. Namun pada akhirnya, semua hanya terekspresi pada satu hal, yaitu air mata yang menetes membasahi wajah. Ya, air mata atas kesedihan dan kemarahanku. 

Setelah itu, sehari penuh saya melamun seribu bahasa. Bukan alasannya ialah ketakutan, sedikitpun tidak ada rasa takut. Aku mengerti tujuan dari agresi terror ini ialah untuk mengembangkan ketakutan. Dan maaf saja Bung! Hal itu sama sekali tidak besar lengan berkuasa padaku. Yang ada hanya kemarahan yang berapi-api pada sang penembak. Hufttt...

Keesokan harinya, tiba-tiba saya ingin kuliah. Mungkin alasannya ialah kejadian kemarin, saya terdorong untuk lebih maju. Perjalanan ke Universitas Canterbury ditempuh dengan bus selama 15 menit saja. Sesampai di kampus, saya duduk ibarat biasa. Mendengarkan mata kuliah Termodinamika yang merupakan hal paling menjijikkan bagi mahasiswa teknik mesin. Namun, saya mendengar dengan seksama. 



Mata kuliah Termodinamika selesai. Rasanya ibarat melepas helm yang digunakan berjam-jam, lega sekali. Tiba-tiba saya didatangi temanku Dominic. 



“Hey Akbar… I’m so sorry for that tragedy. Itu benar-benar kriminalitas, saya turut berbela sungkawa.” Ujarnya. 


“Yeah... Thanks Dominic.” Jawabku dengan nada agak sedih. 

“Siapapun di dunia ini dilarang diperlakukan ibarat itu, apapun agama dan rasnya. Karena ini ialah duduk kasus kemanusiaan, kau hanya perlu menjadi insan untuk paham bahwa hal itu sangat menjijikan, shit!” Dominic berkoar dengan hebatnya, hingga seisi kelas melihat. Aku? Seperti biasa, hanya membisu saja. 

“That’s bullshit...!" Teriak bunyi lain dari sisi kanan kelas. Dan iya, itu ialah Timothy, seorang idealis yang sekelas denganku. 

“Yang dilakukan penembak itu tidak sepenuhnya salah! Pada satu sisi, itu ialah kesalahan imigran muslim sendiri. Mereka hidup di Negara orang lain, dan tiba berbondong-bondong. Hanya merugikan saja! Lagipula mereka kan minoritas, masuk akal saja diperlakukan ibarat itu. Kalau mau nyaman, ya ... silahkan meninggalkan Negara ini!” Jelasnya. 

Orang ibarat ini bagusnya ditanggapi dengan kepala dingin, alasannya ialah kalau ditanggapi dengan kemarahan, maka beliau akan lebih menjadi-jadi. 

“Oh, Dear Timothy... My beloved brother. Listen, kau tidak tahu bahwa teroris itu ialah seorang supremasis kulit putih dan anti dengan imigran club. Dan pemikiranmu tadi, persis ibarat apa yang dipikirkan para teroris pada umumnya. Apakah kau seorang supremasis kulit putih juga? Dan lagi, perdana menteri Selandia Baru, juga mengecam kejadian ini dan mengkategorikan ini sebagai bentuk terorisme. Lantas apa hakmu membenarkan kejadian ini, sementara pemimpinmu saja berkata lain?” Timpalku dengan tukas. 

Lagi-lagi dengan wajah sombongnya Dia berpendapat, “Akbar… kau tidak mengerti betapa banyak dampak imigran di negeri ini, yang berujung pada kerugian ekonomi negara!” 



“Kalau memang berdampak negatif, tentu saja pemerintah akan bertindak, dengan mengeluarkan dekret khusus untuk hal itu. Seperti yang dilakukan negara-negara Eropa Timur lainnya, saat menolak kuota wajib imigran Suriah beberapa tahun yang lalu. Dan lagi pula, siapa laki-laki yang entah dari mana tiba-tiba membasmi imigran itu, what's his business for this?!” 


“Sudah-sudah, ini tidak akan ada habisnya!” Dominic mencoba melerai. Aku pun pergi sehabis merasa sedap-sedap keren sehabis menyampaikan hal-hal tadi. 



Dalam perjalanan pulang, saya berpikir panjang. Islam ialah agama damai. Perdamian ialah salah satu asasnya, tidak pernah ada paksaan untuk memeluknya. Mereka yang hidup di negaranya, hidup kondusif tentram dengan syarat dan ketentuan sesuai dengan aturan Islam itu sendiri. Namun untuk kasus ini, saya merasa mereka yang benar-benar insan niscaya kemanusiaannya bergejolak juga. Karena hakikatnya insan harus hidup dalam damai. 

Selain itu, hal yang mengganggu pikiranku ialah cara orang-orang memperlakukan minoritas. Bahkan dalam lingkungan Muslim sendiri, minoritas seringkali diperlakukan tidak adil. Peristiwa penembakan tempo hari itu, tentu saja membuatku kepanasan. Namun, saya sangat berharap semua orang sanggup mengambil pelajaran.

Ketika kita melihat saudara muslim kita di Christchurch diperlakukan ibarat ini, hendaknya kita mengimplementasikan kemarahan kita ke dalam perlakuan baik kepada minoritas di negeri kita tercinta. And the last, my very reliable quote for you, all my dear Muslim Brothers, “Balaslah air tuba dengan air susu”.[]

*Penulis ialah Mahasiswa tingkat 1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar.





banner
Previous Post
Next Post